oleh: Herlangga Juniarko
jendela itu berkata: sekata tanggal nada
janda dan duda telah bersatu dalam campuran mesiu!
dan kuledakkan mereka dalam petasan yang dibeli
anakanak setelah mendapat angpao dari ibunya
jangan beli petasan, berbahaya! kata ibu itu
terlambat. bombom mini itu
sudah meletus di tangan seorang anak
kala malam hendak berganti segala
jendela itu berkata padaku: kematian
memang sekata dengan tanggal dan jantung nada
31 Desember 2012
Monday, December 31, 2012
Cinta dalam Setengah Blues
oleh: Nezar Patria
Cinta, katamu, adalah tangga nada
dan kau pun mulai menyusun not buta
Kudengar piano itu berdenting, garing
Ada suara saksofon, monoton
Mungkin kau tak mengerti
Cinta bukan partitur biasa
Tak bisa dimainkan dari la
Lalu berhenti sebelum si
2012
Cinta, katamu, adalah tangga nada
dan kau pun mulai menyusun not buta
Kudengar piano itu berdenting, garing
Ada suara saksofon, monoton
Mungkin kau tak mengerti
Cinta bukan partitur biasa
Tak bisa dimainkan dari la
Lalu berhenti sebelum si
2012
Friday, December 28, 2012
Asal-Usul Polisi Tidur, 1
oleh: Binhad Nurrohmat
Jalan raya itu dahulu mulus dan rata
motor yang lewat kebut-kebutan aja.
Lantaran marah, masyarakat sirna akalnya
jalan raya itu benjol-benjol dihakimi massa.
Wednesday, December 26, 2012
Ada Apa Dengan Cinta
oleh: Rako Prijanto
Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Baru sekali ini aku melihat karya surga dalam mata seorang hawa
Ada apa dengan cinta
Tapi aku pasti akan kembali
Dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya
Bukan untuknya
Bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja
2002
*dari Film "Ada Apa Dengan Cinta" (2002)
Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Baru sekali ini aku melihat karya surga dalam mata seorang hawa
Ada apa dengan cinta
Tapi aku pasti akan kembali
Dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya
Bukan untuknya
Bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja
2002
*dari Film "Ada Apa Dengan Cinta" (2002)
Tuesday, December 25, 2012
Drama Penyaliban Dalam Satu Adegan
oleh: Subagio Sastrowardoyo
- "Disinilah aku bergantung
Domba hitam terbantai di tiang
Perempuan malang bersimbah debu
meratap. Merataplah sepatut seorang
ibu meratap kematian anak sulung
Tapi merataplah tanpa kegusaran terhadap
mereka yang menyeret aku dari lurung ke lurung
yang menombak dan memaku aku di tiang gantung
Manusia itu baik. Kelaliman hanya kesesatan
sesaat yang akan luluh dalam penyesalan.
Bagi nabi, pemikir dan penyair hanya ada satu jalan
untuk menghadapi kekejaman. Bagi kami tak ada senjata,
gigi, kuku atau pedang. Hanya penyerahan dan cinta
kepada manusia dan keyakinan akan kebenaran.
Jangan bimbang. Darahku yang berceceran
dari luka tubuhku akan mendekatkan mereka
kepada keinsafan: mereka telah membunuh sesama insan
yang juga mengenal gembira, rindu dan luka
Mereka akan berhenti mengancam, malahan akan mencampakkan diri
ke bumi karena menyadari kekejian budi
Ibu, maafkan mereka. Mereka tidak sadar
apa yang mereka perbuat. Tidakkah kau dengar
mereka berkeluh dan mundur ke kota dengan teriak
penyesalan"?
- "Aduh anak,
Aduh putera bapak yang tunggal. Begitu banyak
pengorbanan yang dilakukan, begitu banyak sudah bunuh diri
buat keagungan martabat manusia. Tapi penindasan
terus menindih dan punah keindahan mimpi.
Lihatlah,
Keluh mereka adalah kutuk yang dilontarkan ke mukamu
Dan mundur ke kota adalah untuk berpesta menyambut kematianmu"
- "Bunda, penglihatanmu kabur oleh air mata"
- "Tidak, hanya hatimu yang lemah oleh cinta manusia
Cinta Tuhan lebih kejam. Ia meruntuhkan alam lata
untuk melahirkan manusia perkasa"
- "Demi Allah!
Berilah aku senjata. Beri aku gigi
dan kuku dan pedang untuk memerangi
kebengisan ini. akan kugigit dan robek
perut jahanam dan penggal setiap kepala
yang tunduk ke bumi. Beri aku hidup lagi.
serta pembalasan satu ini. Gusti!"
1962
*dari antologi "Dan Kematian Makin Akrab"
- "Disinilah aku bergantung
Domba hitam terbantai di tiang
Perempuan malang bersimbah debu
meratap. Merataplah sepatut seorang
ibu meratap kematian anak sulung
Tapi merataplah tanpa kegusaran terhadap
mereka yang menyeret aku dari lurung ke lurung
yang menombak dan memaku aku di tiang gantung
Manusia itu baik. Kelaliman hanya kesesatan
sesaat yang akan luluh dalam penyesalan.
Bagi nabi, pemikir dan penyair hanya ada satu jalan
untuk menghadapi kekejaman. Bagi kami tak ada senjata,
gigi, kuku atau pedang. Hanya penyerahan dan cinta
kepada manusia dan keyakinan akan kebenaran.
Jangan bimbang. Darahku yang berceceran
dari luka tubuhku akan mendekatkan mereka
kepada keinsafan: mereka telah membunuh sesama insan
yang juga mengenal gembira, rindu dan luka
Mereka akan berhenti mengancam, malahan akan mencampakkan diri
ke bumi karena menyadari kekejian budi
Ibu, maafkan mereka. Mereka tidak sadar
apa yang mereka perbuat. Tidakkah kau dengar
mereka berkeluh dan mundur ke kota dengan teriak
penyesalan"?
- "Aduh anak,
Aduh putera bapak yang tunggal. Begitu banyak
pengorbanan yang dilakukan, begitu banyak sudah bunuh diri
buat keagungan martabat manusia. Tapi penindasan
terus menindih dan punah keindahan mimpi.
Lihatlah,
Keluh mereka adalah kutuk yang dilontarkan ke mukamu
Dan mundur ke kota adalah untuk berpesta menyambut kematianmu"
- "Bunda, penglihatanmu kabur oleh air mata"
- "Tidak, hanya hatimu yang lemah oleh cinta manusia
Cinta Tuhan lebih kejam. Ia meruntuhkan alam lata
untuk melahirkan manusia perkasa"
- "Demi Allah!
Berilah aku senjata. Beri aku gigi
dan kuku dan pedang untuk memerangi
kebengisan ini. akan kugigit dan robek
perut jahanam dan penggal setiap kepala
yang tunduk ke bumi. Beri aku hidup lagi.
serta pembalasan satu ini. Gusti!"
1962
*dari antologi "Dan Kematian Makin Akrab"
Malam Natal
oleh: Acep Zamzam Noor
Hanya dingin
Mengalir dalam diam
Ilusi hujan:
Lonceng gereja gemetaran
Angin gemetaran
Ilalang gemetaran
Siapa gerangan
Yang datang?
Hanya dingin
Mengalir dalam diam
1979
*dari https://www.facebook.com/acepzamzam.noorii/posts/523241711034287
Hanya dingin
Mengalir dalam diam
Ilusi hujan:
Lonceng gereja gemetaran
Angin gemetaran
Ilalang gemetaran
Siapa gerangan
Yang datang?
Hanya dingin
Mengalir dalam diam
1979
*dari https://www.facebook.com/acepzamzam.noorii/posts/523241711034287
Balada Penyaliban
oleh: W.S. Rendra
Yesus berjalan ke Golgota
disandangnya salib kayu
bagai domba kapas putih.
Tiada mawar-mawar di jalanan
tiada daun-daun palma
domba putih menyeret azab dan dera
merunduk oleh tugas teramat dicinta
dan ditanam atas maunya.
Mentari meleleh
segala menetes dari luka
dan leluhur kita Ibrahim
berlutut, dua tangan pada Bapa:
- Bapa kami di sorga
telah terbantai domba palling putih
atas altar paling agung.
Bapa kami di sorga
Berilah kami bianglala!
Ia melangkah ke Golgota
jantung berwarna paling agung
mengunyah dosa demi dosa
dikunyahnya dan betapa getirnya.
Tiada jubah terbentang di jalanan
bunda menangis dengan rambut pada debu
dan menangis pula segala perempuan kota.
- Perempuan!
mengapa kautangisi diriku
dan tiada kautangisi dirimu?
Air mawar merah dari tubuhnya
menyiram jalanan kering
jalanan liang-liang jiwa yang papa
dan pembantaian berlangsung
atas taruhan dosa.
Akan diminumnya dari tuwung kencana
anggur darah lambungnya sendiri
dan pada tarikan napas terakhir bertuba:
- Bapa, selesailah semua!
1957
*dari antologi puisi "Ballada Orang-orang Tercinta"
Yesus berjalan ke Golgota
disandangnya salib kayu
bagai domba kapas putih.
Tiada mawar-mawar di jalanan
tiada daun-daun palma
domba putih menyeret azab dan dera
merunduk oleh tugas teramat dicinta
dan ditanam atas maunya.
Mentari meleleh
segala menetes dari luka
dan leluhur kita Ibrahim
berlutut, dua tangan pada Bapa:
- Bapa kami di sorga
telah terbantai domba palling putih
atas altar paling agung.
Bapa kami di sorga
Berilah kami bianglala!
Ia melangkah ke Golgota
jantung berwarna paling agung
mengunyah dosa demi dosa
dikunyahnya dan betapa getirnya.
Tiada jubah terbentang di jalanan
bunda menangis dengan rambut pada debu
dan menangis pula segala perempuan kota.
- Perempuan!
mengapa kautangisi diriku
dan tiada kautangisi dirimu?
Air mawar merah dari tubuhnya
menyiram jalanan kering
jalanan liang-liang jiwa yang papa
dan pembantaian berlangsung
atas taruhan dosa.
Akan diminumnya dari tuwung kencana
anggur darah lambungnya sendiri
dan pada tarikan napas terakhir bertuba:
- Bapa, selesailah semua!
1957
*dari antologi puisi "Ballada Orang-orang Tercinta"
Sunday, December 23, 2012
(Tanpa Judul)
oleh: Soe Hok Gie
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa
(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa
(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)
Thursday, December 20, 2012
Tanah Air Mata
oleh: Sutardji Calzoum Bachri
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
1991
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
1991
Wednesday, December 19, 2012
Nasihat Malin Kundang
oleh: Soni Farid Maulana
"betapa mudah jadi penyair di negeri ini,"
ujar Malin Kundang sambil mengunyah kacang goreng,
sebelum seteguk kopi di sebuah café yang ramai
dikunjungi calon penyair, yang berkali-kali
kiriman sajaknya ditolak oleh berbagai media massa cetak.
"siapa bilang? Kalau gampang, tolong beri tahu aku
bagaimana caranya?" tanya seorang calon penyair,
yang mulai mahir nenggak wine dan bergelas-gelas bir.
"bikin jurnal," jawab Malin Kundang
sambil terus berkata, "tarik sejumlah kritikus,
juga penyair senior sebagai redaktur. Tiap terbit
kau bisa memuat sajak-sajakmu di situ. Bukan
hanya sajak, tapi juga esaimu.
setiap orang yang mengritik dirimu, jangan ragu
kau tolak sajak dan esai mereka di jurnalmu,"
jelas Malin Kundang, diseling batuk tiga kali.
"Yes! Itu ide cemerlang. Aku mau
jadi pemrednya. Aku jadikan jurnalku
laboratorium sastra. Aku jadikan diriku
tukang kebun kata-kata di negeri ini," ujar
calon penyair sambil mengusap-ngusap
kepalanya, dengan potongan rambut
yang cepak ala tentara
2000
*dari Antologi "Variasi Parijs van Java"
"betapa mudah jadi penyair di negeri ini,"
ujar Malin Kundang sambil mengunyah kacang goreng,
sebelum seteguk kopi di sebuah café yang ramai
dikunjungi calon penyair, yang berkali-kali
kiriman sajaknya ditolak oleh berbagai media massa cetak.
"siapa bilang? Kalau gampang, tolong beri tahu aku
bagaimana caranya?" tanya seorang calon penyair,
yang mulai mahir nenggak wine dan bergelas-gelas bir.
"bikin jurnal," jawab Malin Kundang
sambil terus berkata, "tarik sejumlah kritikus,
juga penyair senior sebagai redaktur. Tiap terbit
kau bisa memuat sajak-sajakmu di situ. Bukan
hanya sajak, tapi juga esaimu.
setiap orang yang mengritik dirimu, jangan ragu
kau tolak sajak dan esai mereka di jurnalmu,"
jelas Malin Kundang, diseling batuk tiga kali.
"Yes! Itu ide cemerlang. Aku mau
jadi pemrednya. Aku jadikan jurnalku
laboratorium sastra. Aku jadikan diriku
tukang kebun kata-kata di negeri ini," ujar
calon penyair sambil mengusap-ngusap
kepalanya, dengan potongan rambut
yang cepak ala tentara
2000
*dari Antologi "Variasi Parijs van Java"
Tuesday, December 18, 2012
Gunung Geulis
Kupandangi gunung geulis dengan mesra
Beserta ciuman panjang langit dan bumi
Kau tahu, kekasihku, mengapa mereka menyebutnya gunung geulis
Karena dahulu seorang bidadari telah tinggal di sana
Bersatu dan riang bersetubuh dengan alam
Dan kini, bidadari itu turun lagi dan menjelma kau
Tetapi bidadari itu hanyalah aku yang memilikinya
2012
Beserta ciuman panjang langit dan bumi
Kau tahu, kekasihku, mengapa mereka menyebutnya gunung geulis
Karena dahulu seorang bidadari telah tinggal di sana
Bersatu dan riang bersetubuh dengan alam
Dan kini, bidadari itu turun lagi dan menjelma kau
Tetapi bidadari itu hanyalah aku yang memilikinya
2012
Herlangga Juniarko
Ayat-ayat Kyoto
oleh: Sapardi Djoko Damono
/1/
segala yang mendidih dalam kepala
tidak nyata, kecuali sakura
dan kau — tentu saja
/2/
gerimis musim semi —
tengkorakku retak;
kau pun menetes-netes ke otak
/3/
kita sakura —
gugur sebelum musim semi
tak terlacak pula
*dari Antologi "Ayat-ayat Api"
/1/
segala yang mendidih dalam kepala
tidak nyata, kecuali sakura
dan kau — tentu saja
/2/
gerimis musim semi —
tengkorakku retak;
kau pun menetes-netes ke otak
/3/
kita sakura —
gugur sebelum musim semi
tak terlacak pula
*dari Antologi "Ayat-ayat Api"
Monday, December 17, 2012
Sebuah Tanya
oleh: Soe Hok Gie
Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.
kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi.
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat
lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tau dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita
apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu
manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru
Selasa, 1 April 1969
Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.
kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi.
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat
lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tau dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita
apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu
manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru
Selasa, 1 April 1969
Perpisahan
oleh: Acep Zamzam Noor
Kau meninggalkanku dengan rambut
Yang terbungkus kabut
Langkahmu kunangkunang
Diantara kegelapan yang mengepung malam
Aku pun melepasmu tanpa kepak elang
Tanpa lolongan anjing di kejauhan
2003
Kau meninggalkanku dengan rambut
Yang terbungkus kabut
Langkahmu kunangkunang
Diantara kegelapan yang mengepung malam
Aku pun melepasmu tanpa kepak elang
Tanpa lolongan anjing di kejauhan
2003
Saturday, December 15, 2012
Lelucon Menjelang Kematian
: Gus Dur
oleh: Agus Noor
1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.
Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan segera melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga. “Jangan gegabah. Kita mesti hati-hati, pada apa yang belum kita mengerti,” jawab Presiden. “Pasti saya akan ambil keputusan, tapi nanti.”
Dan kau, juga aku, pada akhinya tahu: seorang penyair pernah mengatakan, hidup hanya menunda kekalahan. Maka, bagi Presiden itu, hidup hanya menunda keputusan.
2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya, ruhmu.
“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, seperti pada bait puisi. “Tapi, bila boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember, bukan? Hari yang ranum dan bahagia. Saya tak ingin siapa pun yang merayakan kelahiran Tuhan, berduka karna kematian saya.”
Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.
3/
Seperti dalam puisi, gerimis pun mempercepat kelam. Langit penuh kesedihan. “Sebelum mati, ijinkan saya berpesan,” katamu. “Jangan Kau biarkan orang-orang saling dorong atau berdesakan saat pemakaman. Apalagi sampai ada yang mati terinjak atau pingsan.”
Kenapa, kata-Ku.
“Karna nanti malah dikira orang antri rebutan sumbangan…”
4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.
“Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya tak terlalu suka puisi. Kau tahu, penyair lebih rumit dari sopir bajaj. Di jalanan, kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya sopir bajaj dan Tuhan. Tapi kalau penyair menulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu, apa yang ditulisnya itu.”
Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup, seperti ada perih puisi.
Ya, katamu, selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.
5/
Seperti ada yang perlahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.
“Tuan Tuhan, bukan?”
Tunggu sebentar. Gus Dur lagi tidur
2010
oleh: Agus Noor
1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.
Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan segera melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga. “Jangan gegabah. Kita mesti hati-hati, pada apa yang belum kita mengerti,” jawab Presiden. “Pasti saya akan ambil keputusan, tapi nanti.”
Dan kau, juga aku, pada akhinya tahu: seorang penyair pernah mengatakan, hidup hanya menunda kekalahan. Maka, bagi Presiden itu, hidup hanya menunda keputusan.
2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya, ruhmu.
“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, seperti pada bait puisi. “Tapi, bila boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember, bukan? Hari yang ranum dan bahagia. Saya tak ingin siapa pun yang merayakan kelahiran Tuhan, berduka karna kematian saya.”
Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.
3/
Seperti dalam puisi, gerimis pun mempercepat kelam. Langit penuh kesedihan. “Sebelum mati, ijinkan saya berpesan,” katamu. “Jangan Kau biarkan orang-orang saling dorong atau berdesakan saat pemakaman. Apalagi sampai ada yang mati terinjak atau pingsan.”
Kenapa, kata-Ku.
“Karna nanti malah dikira orang antri rebutan sumbangan…”
4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.
“Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya tak terlalu suka puisi. Kau tahu, penyair lebih rumit dari sopir bajaj. Di jalanan, kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya sopir bajaj dan Tuhan. Tapi kalau penyair menulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu, apa yang ditulisnya itu.”
Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup, seperti ada perih puisi.
Ya, katamu, selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.
5/
Seperti ada yang perlahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.
“Tuan Tuhan, bukan?”
Tunggu sebentar. Gus Dur lagi tidur
2010
Friday, December 14, 2012
Belajar Membaca
oleh: Sutardji Calzoum Bachrie
kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
1979
*dari Antologi puisi "Kapak"
kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
1979
*dari Antologi puisi "Kapak"
0 Derajat
oleh: R. Abdul Aziz
Penguin yang mengajarkanku menulis puisi
mengajakku masuk kedalam kulkas
Di luar, api sudah berkobar pada cahaya
siap melepuhkan kulit irimu
melelehkan es krim coklat anakmu dan
menjemur celana dalam isterimu
Bersama sebotol sirup jeruk
dan berbutir telur milik induk ayam
yang ternyata diadopsi oleh isterimu
untuk membuatku kenyang
Kita berdiskusi tentang apa itu kutub selatan
yang terlalu gerah untuk menemukan salju
2012
Penguin yang mengajarkanku menulis puisi
mengajakku masuk kedalam kulkas
Di luar, api sudah berkobar pada cahaya
siap melepuhkan kulit irimu
melelehkan es krim coklat anakmu dan
menjemur celana dalam isterimu
Bersama sebotol sirup jeruk
dan berbutir telur milik induk ayam
yang ternyata diadopsi oleh isterimu
untuk membuatku kenyang
Kita berdiskusi tentang apa itu kutub selatan
yang terlalu gerah untuk menemukan salju
2012
Thursday, December 13, 2012
Adalah Bayang-bayang Bianglala yang Kita Tatap Dalam Gamang
oleh: Upita Agustine
Adalah bunga
Adalah bulan
Adalah bintang
Adalah angin
Adalah air
Adalah batu
Adalah mata
Adalah rambut
Adalah tangan
Adalah hati
Adalah bayang-bayang bianglala yang kita tatap dalam gamang
Padang, 1975
Adalah bunga
Adalah bulan
Adalah bintang
Adalah angin
Adalah air
Adalah batu
Adalah mata
Adalah rambut
Adalah tangan
Adalah hati
Adalah bayang-bayang bianglala yang kita tatap dalam gamang
Padang, 1975
Wednesday, December 12, 2012
Envoi
oleh: Soni Farid Maulana
akhirnya kau temukan aku meninggal
dalam pangkuan malaikat maut yang menangis
di arah kiblat. Ingin aku bertanya, apa yang kau
temukan di kamar tidurku yang berantakan
diporak-porandakan badai minuman keras?
Keduniawian adalah minuman keras bagiku
aku tahu, hanya kebisuan yang menyemak
dalam rongga dadamu. Pada hematku aku merasa
lebih baik di tempat di mana aku berada sekarang
meski aku belum tahu arah mana yang akan kujelang,
kiri atau kanan.
ditinggalkan atau meninggalkan
adalah jam kematian yang tak bisa ditangguhkan
laju detiknya. Kopor-kopor doa yang kau siapkan
untukku; itu lebih baik -daripada kau- sibuk
menenggelamkan diri dalam palung airmata
yang kelam
2006
*dari antologi puisi "Angsana"
akhirnya kau temukan aku meninggal
dalam pangkuan malaikat maut yang menangis
di arah kiblat. Ingin aku bertanya, apa yang kau
temukan di kamar tidurku yang berantakan
diporak-porandakan badai minuman keras?
Keduniawian adalah minuman keras bagiku
aku tahu, hanya kebisuan yang menyemak
dalam rongga dadamu. Pada hematku aku merasa
lebih baik di tempat di mana aku berada sekarang
meski aku belum tahu arah mana yang akan kujelang,
kiri atau kanan.
ditinggalkan atau meninggalkan
adalah jam kematian yang tak bisa ditangguhkan
laju detiknya. Kopor-kopor doa yang kau siapkan
untukku; itu lebih baik -daripada kau- sibuk
menenggelamkan diri dalam palung airmata
yang kelam
2006
*dari antologi puisi "Angsana"
Dalam Kereta
oleh: Chairil Anwar
Dalam kereta.
Hujan menebal jendela
Semarang, Solo..., makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa,
Sayatan terus ke dada.
15 Maret 1944
Dalam kereta.
Hujan menebal jendela
Semarang, Solo..., makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa,
Sayatan terus ke dada.
15 Maret 1944
Tuesday, December 11, 2012
Konflik Antar Agama
Belum lama ini telah terjadi
peperangan di jalur Gaza antara Israel dan Palestina. Ini bukan pertama kalinya
terjadi di wilayah itu, sejak dulu Israel dengan gencarnya selalu memperluas
wilayahnya dan merebut sedikit demi sedikit wilayah Palestina. Sehingga pada
akhirnya kini wilayah Palestina sebagian besar sudah jatuh ke tangan Israel.
Perebutan wilayah disana pun telah
menghabiskan banyak darah, nyawa dan materi. Sehingga berbagai macam cara telah
dilakukan oleh pihak dunia untuk menghentikan peperangan itu dengan cara damai.
Tetapi semua itu selalu saja kandas di tengah jalan.
Sebenarnya, tanah hanyalah alasan
bagi kedua belah pihak untuk saling berperang. Ada alasan paling inti yang
sudah bukan menjadi rahasia umum lagi dan alasan itu adalah agama.
Sejak zaman dahulu agama memang
selalu menjadi hal paling sensitif karena sedikit saja menyentuhnya maka emosi
bisa naik dan terjadilah bentrokan. Padahal tak seharusnya terjadi hal demikian
yang hanya disebabkan oleh suatu hal khayalan seperti agama.
Agama merupakan petunjuk yang
diturunkan Tuhan untuk memuntun manusia, itulah definisi dari agama. Tetapi
agama pulalah yang merupakan pemutus hubungan manusia. Hal itu
Pengakuan
oleh: Asrul Sani
Akulah musafir yang mencari Tuhan
Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama
kabut pagi
Akulah yang telah berperi
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan
Ah, bumi yang mati,
Lazuardi yang kering
Bagaimana aku masih dapat,
Menyayangkan air mata berlinang dari kembang
kerenyam yang kering
Sedang kota-kota dan rumah-rumah bamboo lebih
rendah dari wajah lautan
Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata
telah hampir terkatup,
Karena murtad. karena tiada percaya
Karena lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas
berganti-ganti bentuk
Dari suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan,
Tuhan yang berkata
Akulah musafir yang mencari Tuhan,
Dalam negeri batu retak
Lalang dan api yang siap bertemu
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu,
Dari seorang pencari rupa,
Dari rupa yang tiada lagi dikenalmya
Perawan ringan, perawan riang
Berlagulah dalam kebayangan
Berupawarena
Berupa wareni,
Dan berlupalah sebentar akan kehabisan umur
Marilah bermain
Marilah berjalin tangan
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip
Lebih samar dari sinar surya senja
Kita akan bermain,
Dan tidur pulas, sampai
Datang lagi godaan:
"Akulah musafir yang mencari Tuhan”
Bogor, 22 Februari 1949
Akulah musafir yang mencari Tuhan
Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama
kabut pagi
Akulah yang telah berperi
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan
Ah, bumi yang mati,
Lazuardi yang kering
Bagaimana aku masih dapat,
Menyayangkan air mata berlinang dari kembang
kerenyam yang kering
Sedang kota-kota dan rumah-rumah bamboo lebih
rendah dari wajah lautan
Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata
telah hampir terkatup,
Karena murtad. karena tiada percaya
Karena lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas
berganti-ganti bentuk
Dari suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan,
Tuhan yang berkata
Akulah musafir yang mencari Tuhan,
Dalam negeri batu retak
Lalang dan api yang siap bertemu
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu,
Dari seorang pencari rupa,
Dari rupa yang tiada lagi dikenalmya
Perawan ringan, perawan riang
Berlagulah dalam kebayangan
Berupawarena
Berupa wareni,
Dan berlupalah sebentar akan kehabisan umur
Marilah bermain
Marilah berjalin tangan
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip
Lebih samar dari sinar surya senja
Kita akan bermain,
Dan tidur pulas, sampai
Datang lagi godaan:
"Akulah musafir yang mencari Tuhan”
Bogor, 22 Februari 1949
Monday, December 10, 2012
Mozaik
oleh: Hasta Indriyana
Kita adalah pelangi, aku air kamu cahaya
Seperti hijau, aku kuning kamu biru. Lalu
Bidadari turun bumi pun mandi warna
Kita adalah anak-anak, melihat lengkung
Langit sambil bernyanyi. Aku nada kamu kata
Menjadi lagu dari pecahan kesedihan-kesedihan
*dari buku "Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta"
Kita adalah pelangi, aku air kamu cahaya
Seperti hijau, aku kuning kamu biru. Lalu
Bidadari turun bumi pun mandi warna
Kita adalah anak-anak, melihat lengkung
Langit sambil bernyanyi. Aku nada kamu kata
Menjadi lagu dari pecahan kesedihan-kesedihan
*dari buku "Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta"
Saturday, December 8, 2012
Dongeng Sebelum Tidur
oleh: Goenawan Mohamad
"Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu Nonsens".
Itulah yang dikatakan baginda kepada
permaisurinya, pada malam itu. Nafsu diranjang
telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi
dan sprei
"Mengapa tak percaya? Mimpi akan meyakinkan
seperti matahari pagi".
Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma
menutup kembali kain ke dadanya dengan napas
yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.
"Batik Madrim, Batik madrim, mengapa harus, patihku?
Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih
dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?"
1971
*dari antologi puisi "Tonggak 3"
"Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu Nonsens".
Itulah yang dikatakan baginda kepada
permaisurinya, pada malam itu. Nafsu diranjang
telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi
dan sprei
"Mengapa tak percaya? Mimpi akan meyakinkan
seperti matahari pagi".
Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma
menutup kembali kain ke dadanya dengan napas
yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.
"Batik Madrim, Batik madrim, mengapa harus, patihku?
Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih
dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?"
1971
*dari antologi puisi "Tonggak 3"
Friday, December 7, 2012
Kau
oleh: Soni Farid Maulana
angsana dan gandasoli
yang kau tanam di pekarangan hatiku
tumbuh sudah dengan daun-daunnya yang lebat.
kau bilang,
jika kedua tanaman itu tumbuh subur
itu artinya: cinta kita memuncak
mendaki puting gairah seindah bulan merah.
kini kau dimana? Hanya desir angin
dan guguran dedaunan di pekarangan hatiku
diiringi bebunyian serangga,
sebelum tiba
musim penghujan.
langit kosong dan sepi
seperti sumur tua yang ditinggalkan
dengan sisa air yang nyaris kering
diteguk garang kemarau
yang menghanguskan
akar rumputan.
lalu api sunyi berkobar
dari gerbang langit tak dikenal
menjilat dan membakar angsana
dan gandasoli,
yang dulu kau tanam
di pekarangan hatiku, pada sebuah pagi
yang diberkahi cahaya matahari
dan kicau burung dari syair attar,
hafiz dan sana'i. Cintaku,
kau dimana ketika rindu
menyemak di dada
ketika ajal melepas kata
dalam dadaku.
2002
*dari antologi puisi "Angsana"
angsana dan gandasoli
yang kau tanam di pekarangan hatiku
tumbuh sudah dengan daun-daunnya yang lebat.
kau bilang,
jika kedua tanaman itu tumbuh subur
itu artinya: cinta kita memuncak
mendaki puting gairah seindah bulan merah.
kini kau dimana? Hanya desir angin
dan guguran dedaunan di pekarangan hatiku
diiringi bebunyian serangga,
sebelum tiba
musim penghujan.
langit kosong dan sepi
seperti sumur tua yang ditinggalkan
dengan sisa air yang nyaris kering
diteguk garang kemarau
yang menghanguskan
akar rumputan.
lalu api sunyi berkobar
dari gerbang langit tak dikenal
menjilat dan membakar angsana
dan gandasoli,
yang dulu kau tanam
di pekarangan hatiku, pada sebuah pagi
yang diberkahi cahaya matahari
dan kicau burung dari syair attar,
hafiz dan sana'i. Cintaku,
kau dimana ketika rindu
menyemak di dada
ketika ajal melepas kata
dalam dadaku.
2002
*dari antologi puisi "Angsana"
Kangen
oleh: W. S. Rendra
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayang wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.
1961
*dari Antologi Puisi "Empat Kumpulan Sajak"
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayang wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.
1961
*dari Antologi Puisi "Empat Kumpulan Sajak"
Thursday, December 6, 2012
Menulis Sajak Romantis
oleh: Sulaiman Djaya
Aku jatuh cinta pada hijau musim di wajahmu yang matang,
Dua matamu seperti sebuah rumah
Di pegunungan, yang jauh dan kesepian.
Setiapkali senja mempermainkan rambutmu,
Kuda-kuda liar tersungkur seperti detik-detik yang gugur.
Langkahku panjang sekali ketika ingin menemukanmu
Di antara timbunan waktu.
Di pagi hari, bila keheningan berciuman dengan matahari,
Burung-burung yang terbang seperti setiap kalimat
Yang kauucapkan. Siang pun patah berkali-kali
Ketika butiran-butiran kristal matamu menjelma puisi.
Aku telah lama lupa di mana dulu
Rambutku pernah memutih. Lumut-lumut biru tumbuh
Di kedua tanganku. Sesaat terjaga, semua yang dulu kuletakkan
Tetap setia sebagai udara yang terhampar.
2011
Aku jatuh cinta pada hijau musim di wajahmu yang matang,
Dua matamu seperti sebuah rumah
Di pegunungan, yang jauh dan kesepian.
Setiapkali senja mempermainkan rambutmu,
Kuda-kuda liar tersungkur seperti detik-detik yang gugur.
Langkahku panjang sekali ketika ingin menemukanmu
Di antara timbunan waktu.
Di pagi hari, bila keheningan berciuman dengan matahari,
Burung-burung yang terbang seperti setiap kalimat
Yang kauucapkan. Siang pun patah berkali-kali
Ketika butiran-butiran kristal matamu menjelma puisi.
Aku telah lama lupa di mana dulu
Rambutku pernah memutih. Lumut-lumut biru tumbuh
Di kedua tanganku. Sesaat terjaga, semua yang dulu kuletakkan
Tetap setia sebagai udara yang terhampar.
2011
Di Dalam Kereta
oleh: Yusran Arifin
Katamu, stasiun adalah isyarat keberangkatan dan kepulangan
bagi setiap perjalananmu
Tapi kau selalu datang dan pergi tanpa salam yang menyenangkan
hingga kabut selalu turun menyelimuti hangatnya percakapan
Melulu aku gelagapan meski telah kulengkapkan sejumlah perbekalan
doa-doa serta surat cinta warna merah muda
Tak ada tiket gratis di sini, desis masinis dengan wajah sedingin moncong senapan
Aku kian menggigil di ujung kepedihan bangku-bangku
Sedang gerimis yang mengantar langkahmu adalah bahasa lain
dari kekecewaan yang tak terucapakan
Lalu lengking peluit menjeritkan sebuah keberangkatan di hatiku
yang tak bisa ditahan
Sepanjang rel aku menghitung gerbong usia dengan lembar kalender
yang berjatuhan ke dasar jurang
Tak ada yang tersisa, kecuali gemuruh langkahmu membayangi ingatanku
sedang bangku-bangku dan pintu-pintu itu kian dingin dan membeku
tapi selau ada kunci lain bagi setiap rahasiamu
Aku terkejut ketika seorang perempuan tua terbakar kesia-siaan
dan itu yang paling kutakutkan
Dari lubang jendela hatiku ke arah langit masih sempat kubaca isyarat lain
Tapi masa depan tetaplah sebuah terowongan
Gelap dan dingin.
Tasikamalaya, 2010
Katamu, stasiun adalah isyarat keberangkatan dan kepulangan
bagi setiap perjalananmu
Tapi kau selalu datang dan pergi tanpa salam yang menyenangkan
hingga kabut selalu turun menyelimuti hangatnya percakapan
Melulu aku gelagapan meski telah kulengkapkan sejumlah perbekalan
doa-doa serta surat cinta warna merah muda
Tak ada tiket gratis di sini, desis masinis dengan wajah sedingin moncong senapan
Aku kian menggigil di ujung kepedihan bangku-bangku
Sedang gerimis yang mengantar langkahmu adalah bahasa lain
dari kekecewaan yang tak terucapakan
Lalu lengking peluit menjeritkan sebuah keberangkatan di hatiku
yang tak bisa ditahan
Sepanjang rel aku menghitung gerbong usia dengan lembar kalender
yang berjatuhan ke dasar jurang
Tak ada yang tersisa, kecuali gemuruh langkahmu membayangi ingatanku
sedang bangku-bangku dan pintu-pintu itu kian dingin dan membeku
tapi selau ada kunci lain bagi setiap rahasiamu
Aku terkejut ketika seorang perempuan tua terbakar kesia-siaan
dan itu yang paling kutakutkan
Dari lubang jendela hatiku ke arah langit masih sempat kubaca isyarat lain
Tapi masa depan tetaplah sebuah terowongan
Gelap dan dingin.
Tasikamalaya, 2010
Tuesday, December 4, 2012
Nota Bene: Aku Kangen
oleh: WS Rendra
Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.
Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.
Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.
Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.
Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978
Monday, December 3, 2012
Tentang Hidup
oleh: Supriyati
Milik manusia yang paling berharga adalah hidupnya
Hidup hanya diberikan satu kali saja
Karena itu ia harus hidup
Tanpa harus merasa malu atau takut
Pada masa lalunya
Maka hiduplah sedemikian
Sehingga tak akan ada siksaan
Selama bertahun-tahun tanpa tujuan
Dan arah yang pasti
Sehingga pada saatnya dipanggil dapat berkata:
1992
Milik manusia yang paling berharga adalah hidupnya
Hidup hanya diberikan satu kali saja
Karena itu ia harus hidup
Tanpa harus merasa malu atau takut
Pada masa lalunya
Maka hiduplah sedemikian
Sehingga tak akan ada siksaan
Selama bertahun-tahun tanpa tujuan
Dan arah yang pasti
Sehingga pada saatnya dipanggil dapat berkata:
"Seluruh hidup dan kekuatan saya
telah saya berikan bagi tujuan utama dunia ini
Yaitu kebebasan manusia"
1992
Senandung Malam Dalam Kamar
:Jo
Malam sedikit saja berganti
Juga matahari yang belum sempat tersingkap dari balik Gunung Geulis
Dan senandungku menyertaimu dari balik kamar kenangan
Jo, disini pula
Kartukartu magis masih berserakan beserta
Jebakanjebakan yang sempat ditinggalkan sang waktu kala subuh
Monstermonster masih menghantui dari kotak pandora
Jo, disini pula
Kita sering beradu sengit bagaikan naganaga yang sering kau lepaskan
Melawan keegoisan dari manusia berjubah serangga ini
Beradu melawan waktu hingga senja menikam
Sayupsayup dari balik pintu kamar
Sang izrail kembali mengetuk pintu itu
Untuk kesembilanbelas kalinya
Bandung, 3 Desember 2012
Malam sedikit saja berganti
Juga matahari yang belum sempat tersingkap dari balik Gunung Geulis
Dan senandungku menyertaimu dari balik kamar kenangan
Jo, disini pula
Kartukartu magis masih berserakan beserta
Jebakanjebakan yang sempat ditinggalkan sang waktu kala subuh
Monstermonster masih menghantui dari kotak pandora
Jo, disini pula
Kita sering beradu sengit bagaikan naganaga yang sering kau lepaskan
Melawan keegoisan dari manusia berjubah serangga ini
Beradu melawan waktu hingga senja menikam
Sayupsayup dari balik pintu kamar
Sang izrail kembali mengetuk pintu itu
Untuk kesembilanbelas kalinya
Bandung, 3 Desember 2012
Sunday, December 2, 2012
Di Stasiun Bandung
oleh: Dami N. Toda
inilah kota yang berlari untuk kita, Agneta
dengus kereta pulang untuk kembali berlari
inilah kebisuan licik mengintai tiap penumpang
pengantar hanya boleh sampai di mulut kereta
kembali pulang tersendat air mata perpisahan
kau tahu Agneta
dalam melupakan diri sendiri
buat menyebut namamu: Agneta, Agneta manis
kerongkonganku telah mereguk racun macam tuak
menyeringai pemabuknya?
kau bisu, Agneta
bisunya batu kuburan kepada angin
Agneta!
detik berkerumun dan kejaran di pintu
pengantin istirah, Agneta, Agneta manis
tempat dan waktu berpaling satu-satu
aku lelaki buru waktu sekarang
lepaskan pelukanku yang dingin
biarkan orang hidup melarikan dunianya ke Yogya, ke Surabaya
nah, Agneta, Agneta sayang
sudah jam berangkat
kubelai kemboja-kemboja rambutmu dengan kasih sayang
mengisahkan namamu di tiap persinggahan
kita mengatup tangan sekarang
sampai ketemu kembali
selamat tinggal
selamat berpisah
November 1964
inilah kota yang berlari untuk kita, Agneta
dengus kereta pulang untuk kembali berlari
inilah kebisuan licik mengintai tiap penumpang
pengantar hanya boleh sampai di mulut kereta
kembali pulang tersendat air mata perpisahan
kau tahu Agneta
dalam melupakan diri sendiri
buat menyebut namamu: Agneta, Agneta manis
kerongkonganku telah mereguk racun macam tuak
menyeringai pemabuknya?
kau bisu, Agneta
bisunya batu kuburan kepada angin
Agneta!
detik berkerumun dan kejaran di pintu
pengantin istirah, Agneta, Agneta manis
tempat dan waktu berpaling satu-satu
aku lelaki buru waktu sekarang
lepaskan pelukanku yang dingin
biarkan orang hidup melarikan dunianya ke Yogya, ke Surabaya
nah, Agneta, Agneta sayang
sudah jam berangkat
kubelai kemboja-kemboja rambutmu dengan kasih sayang
mengisahkan namamu di tiap persinggahan
kita mengatup tangan sekarang
sampai ketemu kembali
selamat tinggal
selamat berpisah
November 1964
Balada Andromeda dan Ahasveros
oleh: Ahasveros
Pengembaraan itu telah berakhir
Dengan sebuah hasrat dalam dada
Dan sebuah kembang berwarna di atas pohon keabadian
Sedang rumput-rumput terus bergoyang menunggu
Jam yang mendentangkan waktu
Selagi Ahasveros mencumbunya
Tanpa tatapan, sentuhan, dan pikiran
Hanya rasa di palung dada
Ahasveros mendatangi Andromeda dengan seribu kata
Sedang Andromeda masih mencari tenunan emas lampau yang telah rusak
Di balik ragu akhir pengembaraan
“Apakah ini yang tak sempat tergores dalam hidupku?”
—Ahasveros melayangkan simbol pada Andromeda—
Di mata Ahasveros terukir ragu
Dan Andromeda masih terjebak di sejarah lampau
Membatu mereka di atas besi rel yang panas
Dengan berbagai simbol muncul dari kepala mereka
“Apakah dia?”
Tuhan masih diam di atas batu ketidakpastian
Awan-awan cinta mulai menaungi besi yang memanas
Hujan turun menembus payung ragu mereka
Mereka saling berpandang, hanya sekali
Sudah itu tak ada lagi
Hanya sebuah suara yang ada
Dari dalam dada
Ahasveros meyakini akhir pengembaraan dunianya
Ia tahu, setelah dunia ia kelilingi
Untuk medapat rasa yang belum terjamah
Di balik palung dadanya
Andromeda masih memegang sisa tenunan emas lampau itu
Namun tak ingin terjebak dalam dunia kelam
Sedang dadanya sudah ingin menerima
Ragu masih ada di dadanya
“Apakah kau sungguh-sungguh?”
Ia memandang kembali mata Ahasveros
Di tangannya masih ada sebuah tenunan emas lampau
Dan segumpal awan harapan
Mata mereka bertemu kembali, lebih dalam
Sebuah cincin mulai melingkari jari Andromeda
Bersama sejuta harapan Ahasveros
Merangkai jemari Andromeda laksana kembang bermekaran
Senyum mereka mengembang dan tertanam dalam
Bagai akar di tanah gersang
Tuhan tersenyum dari langit
“Waktu belum sampai pada jam yang tepat”
Hujan berhenti seketika itu
Namun awan cinta semakin padat di atas sana
“Akankah kau menerimaku?”
—Ahasveros meragu kali itu—
Andromeda menerima sebuah cincin dengan sejuta makna
Sedang ragu mereka telah padam oleh hujan dari Tuhan
Waktu bergulir terus hingga jam tepat berdentang
Ahasveros menunggu sebuah tangan dari Andromeda
Dengan segumpal awan harapan
Bandung, 19 Mei 2012
Pengembaraan itu telah berakhir
Dengan sebuah hasrat dalam dada
Dan sebuah kembang berwarna di atas pohon keabadian
Sedang rumput-rumput terus bergoyang menunggu
Jam yang mendentangkan waktu
Selagi Ahasveros mencumbunya
Tanpa tatapan, sentuhan, dan pikiran
Hanya rasa di palung dada
Ahasveros mendatangi Andromeda dengan seribu kata
Sedang Andromeda masih mencari tenunan emas lampau yang telah rusak
Di balik ragu akhir pengembaraan
“Apakah ini yang tak sempat tergores dalam hidupku?”
—Ahasveros melayangkan simbol pada Andromeda—
Di mata Ahasveros terukir ragu
Dan Andromeda masih terjebak di sejarah lampau
Membatu mereka di atas besi rel yang panas
Dengan berbagai simbol muncul dari kepala mereka
“Apakah dia?”
Tuhan masih diam di atas batu ketidakpastian
Awan-awan cinta mulai menaungi besi yang memanas
Hujan turun menembus payung ragu mereka
Mereka saling berpandang, hanya sekali
Sudah itu tak ada lagi
Hanya sebuah suara yang ada
Dari dalam dada
Ahasveros meyakini akhir pengembaraan dunianya
Ia tahu, setelah dunia ia kelilingi
Untuk medapat rasa yang belum terjamah
Di balik palung dadanya
Andromeda masih memegang sisa tenunan emas lampau itu
Namun tak ingin terjebak dalam dunia kelam
Sedang dadanya sudah ingin menerima
Ragu masih ada di dadanya
“Apakah kau sungguh-sungguh?”
Ia memandang kembali mata Ahasveros
Di tangannya masih ada sebuah tenunan emas lampau
Dan segumpal awan harapan
Mata mereka bertemu kembali, lebih dalam
Sebuah cincin mulai melingkari jari Andromeda
Bersama sejuta harapan Ahasveros
Merangkai jemari Andromeda laksana kembang bermekaran
Senyum mereka mengembang dan tertanam dalam
Bagai akar di tanah gersang
Tuhan tersenyum dari langit
“Waktu belum sampai pada jam yang tepat”
Hujan berhenti seketika itu
Namun awan cinta semakin padat di atas sana
“Akankah kau menerimaku?”
—Ahasveros meragu kali itu—
Andromeda menerima sebuah cincin dengan sejuta makna
Sedang ragu mereka telah padam oleh hujan dari Tuhan
Waktu bergulir terus hingga jam tepat berdentang
Ahasveros menunggu sebuah tangan dari Andromeda
Dengan segumpal awan harapan
Bandung, 19 Mei 2012
Penyair Anwar
oleh: Afrizal Malna
Aku mengaji, anwar anwar
hidup dari pasar terbuka dalam tubuh
Orang tanah yang mengutip senja, anwar, anwar
Seperti kura, membuat cerita dari tiang-tiang pasir
Seperti telur, kalau langit adalah sebongkah batu
Aku tak pernah berjanji denganmu, untuk berkunjung
Di sebuah kota yang tak mengenal tubuhmu
Tersandar di sebuah tikungan, satu kilometer lebih cepat
Aku tak pernah berencana denganmu, anwar, anwar
Tapi kita di sini juga, sebuah foto menguning dalam dompet
Suara serdadu, bunyi ember, sisa-sisa rambut di kasur
Ucapanku telah jadi batu juga, anwar, anwar
Ada suara ibu
Seperti jalinan suara pada setiap benda
Anwar membuat kota asyik sendiri
Menyimpan diri dalam setiap kata
Jadi penyair di luar sana, anwar, anwar
Aku berlalu dari cerita
Seperti gumpalan tanah dalam mulutmu
1983
Aku mengaji, anwar anwar
hidup dari pasar terbuka dalam tubuh
Orang tanah yang mengutip senja, anwar, anwar
Seperti kura, membuat cerita dari tiang-tiang pasir
Seperti telur, kalau langit adalah sebongkah batu
Aku tak pernah berjanji denganmu, untuk berkunjung
Di sebuah kota yang tak mengenal tubuhmu
Tersandar di sebuah tikungan, satu kilometer lebih cepat
Aku tak pernah berencana denganmu, anwar, anwar
Tapi kita di sini juga, sebuah foto menguning dalam dompet
Suara serdadu, bunyi ember, sisa-sisa rambut di kasur
Ucapanku telah jadi batu juga, anwar, anwar
Ada suara ibu
Seperti jalinan suara pada setiap benda
Anwar membuat kota asyik sendiri
Menyimpan diri dalam setiap kata
Jadi penyair di luar sana, anwar, anwar
Aku berlalu dari cerita
Seperti gumpalan tanah dalam mulutmu
1983
Friday, November 30, 2012
Mata Penyair
oleh: Subagio Sastrowardoyo
Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kota. "Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu," kata penyair, "kecuali nyawaku ini yang teraniaya."
Rakyat yang miskin merangsak kemuka. "Kami ingin matamu!" teriak mereka. "Kami ingin matamu, yang bisa merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!"
Ada yang masih mau membela penyair itu. "Ingat, tanpa mata penyair menjadi buta!"
Tetapi rakyat yang putusasa tidak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya, dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia. Tetapi pasir yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka menjadi kecewa dan merebus dan melahap kedua bola mata itu. Dan tidak terjadi apa-apa.
Penyair yang buta itu duduk di jendela dan tertawa menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu indahnya. Begitu indahnya!
*dari Antologi "Dan Kematian Makin Akrab"
Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kota. "Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu," kata penyair, "kecuali nyawaku ini yang teraniaya."
Rakyat yang miskin merangsak kemuka. "Kami ingin matamu!" teriak mereka. "Kami ingin matamu, yang bisa merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!"
Ada yang masih mau membela penyair itu. "Ingat, tanpa mata penyair menjadi buta!"
Tetapi rakyat yang putusasa tidak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya, dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia. Tetapi pasir yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka menjadi kecewa dan merebus dan melahap kedua bola mata itu. Dan tidak terjadi apa-apa.
Penyair yang buta itu duduk di jendela dan tertawa menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu indahnya. Begitu indahnya!
*dari Antologi "Dan Kematian Makin Akrab"
Aku Tidak Bisa Menulis Puisi Lagi
oleh: Subagio Sastrowardoyo
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Nazi Jerman berjuta Yahudi
di lempar ke kamar gas sehingga
lemas mati.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Afrika Selatan pejoang-pejoang
anti-apartheid disekap berpuluh tahun
tanpa diadili.
aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Birma para pengunjuk rasa
bergelimpangan dibedili tentara
secara keji.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di jalur Gaza serdadu-serdadu Israel
mematahkan lengan anak-anak Palestina
yang melawan dengan batu.
Keindahan punah dari bumi
ketika becak-becak dicemplungkan
ke laut karena bang becak melanggar
peraturan DKI
ketika rakyat berbondog-bondong
digusur dari kampung halamannya
yang akan disulap jadi real estate
dan pusat rekreasi
ketika petani dipaksa tanam tebu
buat pabrik-pabrik,sedang hasil
padi dan kedelai lebih mendatangkan
untung dari rugi
ketika truk-truk dijalan raya dicegat
penegak hukum yang langsung meminta pungli
ketika keluarga tetangga menangisi kematian
anaknya korban tabrak lari.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak keindahan punah dari bumi.
*dari Antologi "Dan Kematian Makin Akrab"
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Nazi Jerman berjuta Yahudi
di lempar ke kamar gas sehingga
lemas mati.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Afrika Selatan pejoang-pejoang
anti-apartheid disekap berpuluh tahun
tanpa diadili.
aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Birma para pengunjuk rasa
bergelimpangan dibedili tentara
secara keji.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di jalur Gaza serdadu-serdadu Israel
mematahkan lengan anak-anak Palestina
yang melawan dengan batu.
Keindahan punah dari bumi
ketika becak-becak dicemplungkan
ke laut karena bang becak melanggar
peraturan DKI
ketika rakyat berbondog-bondong
digusur dari kampung halamannya
yang akan disulap jadi real estate
dan pusat rekreasi
ketika petani dipaksa tanam tebu
buat pabrik-pabrik,sedang hasil
padi dan kedelai lebih mendatangkan
untung dari rugi
ketika truk-truk dijalan raya dicegat
penegak hukum yang langsung meminta pungli
ketika keluarga tetangga menangisi kematian
anaknya korban tabrak lari.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak keindahan punah dari bumi.
*dari Antologi "Dan Kematian Makin Akrab"
Thursday, November 29, 2012
Celia
Celia, we know, is sixty-five,
Yet Celia's face is seventeen ;
Thus winter in her breast must live,
While summer in her face is seen.
How cruel Celia's fate, who hence
Our heart's devotion cannot try;
Too pretty for our reverence,
Too ancient for our gallantry!
Alexander Pope
Yet Celia's face is seventeen ;
Thus winter in her breast must live,
While summer in her face is seen.
How cruel Celia's fate, who hence
Our heart's devotion cannot try;
Too pretty for our reverence,
Too ancient for our gallantry!
Alexander Pope
Friday, November 23, 2012
Sajak Nopember
oleh: Sapardi Djoko Damono
Siapa yang akan berbicara untuk kami
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan berbicara atas nama kami
yang berjejal dalam kubur
bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak kami
kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air
kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi lebih dahulu
Siapa yang akan berbicara untuk kami
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental
tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan berbicara atas nama kami
yang berjejal dalam kubur
bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak kami
kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air
kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi lebih dahulu
Wednesday, November 21, 2012
Balada Kematian
oleh: Ahasveros
Dia, seorang lelaki
tangguh
Dari dunia kegelapan
yang begitu kelam
Di tangannya tato
kehidupan telah tergores kejam
Dan kerutan
perkelahian waktu telah membekas di wajah
Sekarang dia
terbaring lemah sendiri
Tiba-tiba Izrail
datang dengan tiga ratus pedang
Menghujam ke arah
lelaki itu
Menyobek-nyobek kulit
itu
Hingga lebam
Hingga berdarah-darah
“Aku tak akan
menyerah pada malaikat!”
Lelaki itu bangkit
dari pembaringan
Dibawa tameng
kegelapan yang disimpannya di neraka
Lalu ditahannya tiga ratus
pedang Izrail
Namun angin waktu
terus berhembus
Mengikis tameng itu,
sedikit demi sedikit
“Dan Tuhanmu telah
mengingatkan
bersiaplah akan
kematian yang datang”
Kata Izrail sedikit
mundur
Lelaki itu masih
bersiaga dengan datangnya kembali
Tentang tiga ratus
pedang kematian yang dibawa Izrail
Dan dalam sekejap
tiga ratus pedang itu datang
Menghantam tameng
lelaki itu
Dan retak telah
tergambar di tameng kegelapan
Kemudian dengan
sekali hantaman lagi
Izrail menghunuskan
pedang-pedangnya ke arah lelaki itu
Setelah angin waktu
berhembus sangat kencang
Lelaki itu terkapar
Dengan tiga ratus
pedang yang melukainya
Kejam
Dan tanpa ampun
Jin-jin dalam tameng
kegelapan itu
Kemudian pergi
mencari majikan yang lebih kuat
Meskipun akhirnya
akan remuk oleh tusukan Sang Izrail
Yang mengendalikan
pedang-pedang kematian yang maha dahsyat
2012
Aku dan Rantai
oleh: Ciu Cahyono
Temanku yang bernama Tukas masih berkeliling negeri. Ia memburu seekor nyamuk pembunuh Kilah, teman baiknya.
Tetanggaku yang bernama Dalih belum selesai diinterogasi polisi. Ia mengatakan bahwa otak pembunuhan Kilah tak lain adalah Tukas, dengan seekor nyamuk sebagai eksekutornya.
Pacarku yang tak mau namanya kusebut mengabari pagi ini. Ia mengaku pernah melihat seekor nyamuk satu meja dengan ketonggeng, di sebuah kafe di ibu kota.
Aku terkesiap. Aku telah melamar kerja pada seekor ketonggeng. Dan pekan depan aku jadi sopirnya.
2011
*dari antologi puisi "Aku dan Rantai"
Temanku yang bernama Tukas masih berkeliling negeri. Ia memburu seekor nyamuk pembunuh Kilah, teman baiknya.
Tetanggaku yang bernama Dalih belum selesai diinterogasi polisi. Ia mengatakan bahwa otak pembunuhan Kilah tak lain adalah Tukas, dengan seekor nyamuk sebagai eksekutornya.
Pacarku yang tak mau namanya kusebut mengabari pagi ini. Ia mengaku pernah melihat seekor nyamuk satu meja dengan ketonggeng, di sebuah kafe di ibu kota.
Aku terkesiap. Aku telah melamar kerja pada seekor ketonggeng. Dan pekan depan aku jadi sopirnya.
2011
*dari antologi puisi "Aku dan Rantai"
Monday, November 19, 2012
Senantiasa
oleh: Acep Zamzam Noor
Senantiasa kuhirup udara
Hembusan napasmu yang mesra
Lembut mengelus sukmaku
Yang letih dibakar dunia
Senantiasa kukobarkan cinta
Kepadamu. Terima kasih atas ruang dan waktu
Yang selalu engkau sediakan bagiku
Untuk bersujud mencium bumimu
Senantiasa kumaknai usia
Di belantara rahasiamu yang tak terkira
Aku jadi malu pada kebebasan
Kemerdekaan yang kini membelengguku
*dari antologi puisi "Tulisan Pada Tembok"
Senantiasa kuhirup udara
Hembusan napasmu yang mesra
Lembut mengelus sukmaku
Yang letih dibakar dunia
Senantiasa kukobarkan cinta
Kepadamu. Terima kasih atas ruang dan waktu
Yang selalu engkau sediakan bagiku
Untuk bersujud mencium bumimu
Senantiasa kumaknai usia
Di belantara rahasiamu yang tak terkira
Aku jadi malu pada kebebasan
Kemerdekaan yang kini membelengguku
*dari antologi puisi "Tulisan Pada Tembok"
Sunday, November 18, 2012
Bilakah Kau Akan Melintas Di Depanku
oleh: Taufik Ismail
Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Begitu benarkah lamanya
Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa
Tingkap angin makin ungu dalam nestapa
Fajar pun yang tak kunjung teraih
Begitu benarkah sukarnya
Kemarauku menggigil dalam nyala
Musim tempat berbagi yang perih
Tanganku inikah tangan dukana
menjulur-julur dari kemah berkibar badai
Suara tanah yang hama sepanjang bencana
Warna papa tergapai, sapuan tak sampai-sampai
Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Begitu benarkah jarak zamannya
Sangat ingin aku menyapamu dalam tegur
Dan kau balas dengan senyum menghibur.
1963
*dari antologi puisi "Tirani dan Benteng"
Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Begitu benarkah lamanya
Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa
Tingkap angin makin ungu dalam nestapa
Fajar pun yang tak kunjung teraih
Begitu benarkah sukarnya
Kemarauku menggigil dalam nyala
Musim tempat berbagi yang perih
Tanganku inikah tangan dukana
menjulur-julur dari kemah berkibar badai
Suara tanah yang hama sepanjang bencana
Warna papa tergapai, sapuan tak sampai-sampai
Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Begitu benarkah jarak zamannya
Sangat ingin aku menyapamu dalam tegur
Dan kau balas dengan senyum menghibur.
1963
*dari antologi puisi "Tirani dan Benteng"
Saturday, November 17, 2012
Rembulan di Matamu
oleh: Putu Gede Pradipta
masih erat kusimpan
begitu dengan ikhlasnya
sebuah kisah tentang
sepasang matamu itu
rembulan terbiasa
terbit disana
2011
masih erat kusimpan
begitu dengan ikhlasnya
sebuah kisah tentang
sepasang matamu itu
rembulan terbiasa
terbit disana
2011
Sajak Sebatang Pohon
oleh: Disa Tannos
Jika aku kehabisan daun, kau jangan berhenti berteduh. Ingatkan saja padaku bahwa di sini masih nyaman yang sama meski waktu tengah membuat semua hijauku luruh. Lalu biar kudengar kau berkata: musim-musim kering tak akan membuat nama yang terukir pada tubuhmu seperti remaja jatuh cinta kelak kehilangan pemiliknya.
Jika aku kehabisan daun, kau jangan ikut bersedih. Kuingatkan padamu bahwa di sini akan kembali rindang meski kini angin lebih mudah membikin matamu pedih. Lalu biar kaudengar aku berkata: musim-musim kering memang selalu membuatku cepat marah—bagaimana jika segala yang tak lagi hinggap kelak membuatmu tak betah?
–
Maka jika aku kehabisan daun, kau jangan berhenti berteduh. Ingatkan saja padaku bahwa kita tak perlu begitu takut pada sepi.
Lalu biar kudengar kau bersuara tanpa henti:
perdengarkanlah apapun selain langkah-langkah kaki.
*dari http://disatannos.wordpress.com/2012/02/29/sajak-sebatang-pohon-2/
Jika aku kehabisan daun, kau jangan berhenti berteduh. Ingatkan saja padaku bahwa di sini masih nyaman yang sama meski waktu tengah membuat semua hijauku luruh. Lalu biar kudengar kau berkata: musim-musim kering tak akan membuat nama yang terukir pada tubuhmu seperti remaja jatuh cinta kelak kehilangan pemiliknya.
Jika aku kehabisan daun, kau jangan ikut bersedih. Kuingatkan padamu bahwa di sini akan kembali rindang meski kini angin lebih mudah membikin matamu pedih. Lalu biar kaudengar aku berkata: musim-musim kering memang selalu membuatku cepat marah—bagaimana jika segala yang tak lagi hinggap kelak membuatmu tak betah?
–
Maka jika aku kehabisan daun, kau jangan berhenti berteduh. Ingatkan saja padaku bahwa kita tak perlu begitu takut pada sepi.
Lalu biar kudengar kau bersuara tanpa henti:
perdengarkanlah apapun selain langkah-langkah kaki.
*dari http://disatannos.wordpress.com/2012/02/29/sajak-sebatang-pohon-2/
Friday, November 16, 2012
Perempuan Berkacamata Kecap Manis
oleh: R. Abdul Aziz
Aku sebilah jantung kujang
menatap kerudung ninja penuh dendam
Sebab engkau, perempuan mentah bermata kecap manis
telah diiris hatinya dengan samurai
rela sebagai tubuh sore yang sementara,
ditunggu setelah siang pulang, dipuja sebelum malam datang
lalu terbengkalai menjadi serakan kata kata pujangga, pergilah
dengan kecepatan 150cc menuju kampus tua Padjadjaran
Pergilah, maka aku akan merindukanmu
dalam tajamnya asahan dendam
Namamu, yang diberikan ibumu, hanyalah sebaris kata
yang membuat 10.000 puisiku tak selesai
Tiada yang lebih mencintaimu seperti airmata,
melainkan aku lelaki berjantung kujang
2012
Aku sebilah jantung kujang
menatap kerudung ninja penuh dendam
Sebab engkau, perempuan mentah bermata kecap manis
telah diiris hatinya dengan samurai
rela sebagai tubuh sore yang sementara,
ditunggu setelah siang pulang, dipuja sebelum malam datang
lalu terbengkalai menjadi serakan kata kata pujangga, pergilah
dengan kecepatan 150cc menuju kampus tua Padjadjaran
Pergilah, maka aku akan merindukanmu
dalam tajamnya asahan dendam
Namamu, yang diberikan ibumu, hanyalah sebaris kata
yang membuat 10.000 puisiku tak selesai
Tiada yang lebih mencintaimu seperti airmata,
melainkan aku lelaki berjantung kujang
2012
Thursday, November 15, 2012
Mengikuti Langkah Kabut
oleh: Acep Zamzam Noor
Mengikuti langkah kabut dan jejak gerimis
Kulihat tanganmu menguraikan rambut musim semi
Dalam tarian paling sunyi. Dan matahari senja
Tenggelam dalam gerak paling inti
Dari pinggulmu. Ada yang hanyut dan tak tereja
Sepanjang pantai tubuhmu nampak berkilauan
Seperti lokan. Gaunmu yang tipis berkibaran
Mungkin pada cakrawala harus segera kukabarkan
Bahwa geliatmu meredakan gelombang dan eranganmu
Menahan topan. Ada yang luput dan tak terekam
Sedang angin yang kutangkap geraknya dan mega
Yang kuserap apinya dan kabut yang kuisap rahasianya
Tak kunjung paham. Pada bentangan langit malam
Kerling matamu menyelimuti bintang-bintang
Hingga padam. Ada yang gelap dan tak terungkapkan
*dari antologi puisi "Tulisan pada Tembok"
Mengikuti langkah kabut dan jejak gerimis
Kulihat tanganmu menguraikan rambut musim semi
Dalam tarian paling sunyi. Dan matahari senja
Tenggelam dalam gerak paling inti
Dari pinggulmu. Ada yang hanyut dan tak tereja
Sepanjang pantai tubuhmu nampak berkilauan
Seperti lokan. Gaunmu yang tipis berkibaran
Mungkin pada cakrawala harus segera kukabarkan
Bahwa geliatmu meredakan gelombang dan eranganmu
Menahan topan. Ada yang luput dan tak terekam
Sedang angin yang kutangkap geraknya dan mega
Yang kuserap apinya dan kabut yang kuisap rahasianya
Tak kunjung paham. Pada bentangan langit malam
Kerling matamu menyelimuti bintang-bintang
Hingga padam. Ada yang gelap dan tak terungkapkan
*dari antologi puisi "Tulisan pada Tembok"
Nava
oleh: E.L Hadiansyah
Untuk Kekasihku
Perempuan -dengan- kerudung cinta
Kukunjungi kau di sela-sela hujan.
Aku tetap menebak-nebak rambutmu, berharap libidoku naik, dan aku mencumbumu sedini mungkin.
Dingin ini seperti setan, hidungku mendengus-dengus menelusup segala angin
(dimana bau rambutmu?)
Mampus! Penciumanku rentakah?
Tidak-tidak, kerudungmu mengajariku cinta nona, menghadang dengusan yang dulu kumanjakan.
Selalu begitu
Aku ingin merayakanmu lebih dini, bahkan penisku lupa akal, dan ingin kupagut kau di bawah hujan, di bawah gersang, di antara keduanya. Aku menginginkan__
Kerudungmu membentuk lafazd.
Kusaksikan malaikat menutup payudaramu, dan rambutmu disaksikan Tuhan!
Aku lemah saraf.
-kerudungmu nona, kelak tanggalkan saja agar kita bisa berzina!!!
Nava, aku rindu kerudungmu.
2011
(diambil dari novel "Hujan di Bawah Bantal")
Untuk Kekasihku
Perempuan -dengan- kerudung cinta
Kukunjungi kau di sela-sela hujan.
Aku tetap menebak-nebak rambutmu, berharap libidoku naik, dan aku mencumbumu sedini mungkin.
Dingin ini seperti setan, hidungku mendengus-dengus menelusup segala angin
(dimana bau rambutmu?)
Mampus! Penciumanku rentakah?
Tidak-tidak, kerudungmu mengajariku cinta nona, menghadang dengusan yang dulu kumanjakan.
Selalu begitu
Aku ingin merayakanmu lebih dini, bahkan penisku lupa akal, dan ingin kupagut kau di bawah hujan, di bawah gersang, di antara keduanya. Aku menginginkan__
Kerudungmu membentuk lafazd.
Kusaksikan malaikat menutup payudaramu, dan rambutmu disaksikan Tuhan!
Aku lemah saraf.
-kerudungmu nona, kelak tanggalkan saja agar kita bisa berzina!!!
Nava, aku rindu kerudungmu.
2011
(diambil dari novel "Hujan di Bawah Bantal")
Untuk Evie Aprilianty
Goresan kerudung coklat yang sering kau pakai itu, Evie
Tak pernah lebih indah dari wajahmu yang
seringkali membayang di kaca jendela
Kala senja benar-benar pernah mempertemukan kita
Di kaca jendela kereta api yang membawa pula
kenangan yang menyesakkanmu
Dan nanti, kau tak akan pernah melihatnya lagi
Karena itu sungguh membuat hatimu yang lembut itu mampu berair
Sedang aku mungkin akan berkali-kali datang
ke sana untuk menikmati sedikit
cinta yang pernah kau beri padaku
Dan ketika telah sampai pada titik stasiun akhir
maka kita pun berpisah
Aku tersenyum padamu seraya berkata
“Aku mencintaimu” (dalam hati tentu)
Dan kau tak memalingkan wajahmu lagi
sekedar untuk mengirimkan rembulan yang telah tersimpan di matamu
2012
Tak pernah lebih indah dari wajahmu yang
seringkali membayang di kaca jendela
Kala senja benar-benar pernah mempertemukan kita
Di kaca jendela kereta api yang membawa pula
kenangan yang menyesakkanmu
Dan nanti, kau tak akan pernah melihatnya lagi
Karena itu sungguh membuat hatimu yang lembut itu mampu berair
Sedang aku mungkin akan berkali-kali datang
ke sana untuk menikmati sedikit
cinta yang pernah kau beri padaku
Dan ketika telah sampai pada titik stasiun akhir
maka kita pun berpisah
Aku tersenyum padamu seraya berkata
“Aku mencintaimu” (dalam hati tentu)
Dan kau tak memalingkan wajahmu lagi
sekedar untuk mengirimkan rembulan yang telah tersimpan di matamu
2012
Tuesday, October 23, 2012
Sebuah Mitos
Sebuah bulan pernah
bercerita kepadaku
Tentang proklamasi yang muncul di tengah dirinya
Namun ia pun sedikit lupa tentang cerita tersebut
Mungkin negara itu pun hanya mitos bagiku
Karena tak pernah terasa keberadaannya
Meskipun bulan itu begitu yakin
Namun tak pernah ada bukti di lapangan
kecuali deritaku yang berkepanjangan
Mungkin negara itu hanya mitos
Yang diceritakan bulan padaku
2012
Tentang proklamasi yang muncul di tengah dirinya
Namun ia pun sedikit lupa tentang cerita tersebut
Mungkin negara itu pun hanya mitos bagiku
Karena tak pernah terasa keberadaannya
Meskipun bulan itu begitu yakin
Namun tak pernah ada bukti di lapangan
kecuali deritaku yang berkepanjangan
Mungkin negara itu hanya mitos
Yang diceritakan bulan padaku
2012
Friday, October 19, 2012
Renungan Indah
oleh: WS Rendra
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: mengapa Dia menitipkan padaku???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???...
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… "ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: mengapa Dia menitipkan padaku???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???...
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan,
Seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… "ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"
Tuesday, October 16, 2012
Kupu-kupu
oleh: Acep Zamzam Noor
Selembar daun kering
Jatuh sudah. Dan taman tersenyum
Bunga-bunga mengangguk di sekitarnya
Sebutir embun (mungkin airmata)
Di panggung daun yang jatuh
Menjadi doa. Kupu-kupu terbang entah ke mana
*dari antologi "Tulisan Pada Tembok"
Selembar daun kering
Jatuh sudah. Dan taman tersenyum
Bunga-bunga mengangguk di sekitarnya
Sebutir embun (mungkin airmata)
Di panggung daun yang jatuh
Menjadi doa. Kupu-kupu terbang entah ke mana
*dari antologi "Tulisan Pada Tembok"
Mirat Muda, Chairil Muda
di pegunungan 1943
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur yang sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada
mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakan
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia
rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menuntut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati
1949
Chairil Anwar
Monday, October 15, 2012
Bermula dari Tuhan yang Maha Romantis
oleh: Syaifuddin Gani
Ya Tuhan yang Maha
Romantis,jadikanlah
aku puisinya
dan
dia puisiku
Terimakasih banyak
(2011)
Denyut
oleh: Sutardji Calzoum Bachrie
akan kau kau kan kah hidupmu?
kau nanti kau akan kau mau kau mau
siapa yang tikam burung yang waktu
waktukutukku waktukutukku waktukutukku waktukutukku
kapan kau sayap diamnya batu
battuba battubi battubu
yang langit yang gapai yang sangsai
denyutku denyutku denyutku
1973
akan kau kau kan kah hidupmu?
kau nanti kau akan kau mau kau mau
siapa yang tikam burung yang waktu
waktukutukku waktukutukku waktukutukku waktukutukku
kapan kau sayap diamnya batu
battuba battubi battubu
yang langit yang gapai yang sangsai
denyutku denyutku denyutku
1973
Sunday, October 14, 2012
Sajak-sajak Kecil Kepada M
oleh: Agus Noor
Sajak ini doa, tangan yang menampung luka, yang menjagamu, agar kau tak pernah merasa sendirian, dan ditinggalkan.
Mencintaimu merupakan caraku berdoa setiap hari, untuk semua kebahagiaan kita.
Aku telah belajar merasakan pedih, lewat ciuman-ciumanmu yang lembut dan menanggung duka dunia.
Kupandangi langit lembut itu, seakan berada dalam keluasan matamu; dan kutemukan sebuah dunia, yang lebih ajaib dari surga.
Kekasihku, selalu ada yang pantas kita muliakan, yang membuat kita akan terus bertahan, bahkan dalam kepedihan.
Aku punya cara sederhana mencintaimu: dengan selalu mendoakan kebaikan dan keselamatanmu…
Sesuatu, yang kausebut kenangan, telah membukakan padaku rahasia, cara mencintaimu tanpa pernah merasa kehilangan.
Kangen ini. Laut tak bertepi…
Entah kenapa, aku ingin membelikanmu jaket, yang setiap kali kaupakai, akan juga menghangatkan kerinduanku.
Aku masih saja menerka-nerka, lebih merah mana, senja ataukah luka, yang kau sembunyikan sekian lama.
Ada banyak cara berbahagia; satu-satunya cara yang tak pernah kubisa ialah melupakanmu.
Duka hanyalah mentega yang meleleh di penggorengan panas.
Senja yang muram, selalu mengingatkan pada ciuman kita yang tergesa dan gemetar.
Ada saat-saat ketika mencoba melupakanmu, semua benda yang dulu pernah kita sentuh, seperti berbicara kembali tentang kamu.
Darimu aku faham, bila airmata ialah rahasia penciptaan Tuhan, yang paling menakjubkan.
Malam, sesungguhnya, tak pernah memejam. Ia hanya diam-diam menyembunyikan luka kita dalam kelam, agar kita bisa tidur tentram.
Aku akan jadi doa malammu. Sementara kau perlahan memejam tentram, aku akan menggapai langit: mengetuk pintu surga bagimu.
*dari blognya
Sajak ini doa, tangan yang menampung luka, yang menjagamu, agar kau tak pernah merasa sendirian, dan ditinggalkan.
Mencintaimu merupakan caraku berdoa setiap hari, untuk semua kebahagiaan kita.
Aku telah belajar merasakan pedih, lewat ciuman-ciumanmu yang lembut dan menanggung duka dunia.
Kupandangi langit lembut itu, seakan berada dalam keluasan matamu; dan kutemukan sebuah dunia, yang lebih ajaib dari surga.
Kekasihku, selalu ada yang pantas kita muliakan, yang membuat kita akan terus bertahan, bahkan dalam kepedihan.
Aku punya cara sederhana mencintaimu: dengan selalu mendoakan kebaikan dan keselamatanmu…
Sesuatu, yang kausebut kenangan, telah membukakan padaku rahasia, cara mencintaimu tanpa pernah merasa kehilangan.
Kangen ini. Laut tak bertepi…
Entah kenapa, aku ingin membelikanmu jaket, yang setiap kali kaupakai, akan juga menghangatkan kerinduanku.
Aku masih saja menerka-nerka, lebih merah mana, senja ataukah luka, yang kau sembunyikan sekian lama.
Ada banyak cara berbahagia; satu-satunya cara yang tak pernah kubisa ialah melupakanmu.
Duka hanyalah mentega yang meleleh di penggorengan panas.
Senja yang muram, selalu mengingatkan pada ciuman kita yang tergesa dan gemetar.
Ada saat-saat ketika mencoba melupakanmu, semua benda yang dulu pernah kita sentuh, seperti berbicara kembali tentang kamu.
Darimu aku faham, bila airmata ialah rahasia penciptaan Tuhan, yang paling menakjubkan.
Malam, sesungguhnya, tak pernah memejam. Ia hanya diam-diam menyembunyikan luka kita dalam kelam, agar kita bisa tidur tentram.
Aku akan jadi doa malammu. Sementara kau perlahan memejam tentram, aku akan menggapai langit: mengetuk pintu surga bagimu.
*dari blognya
Saturday, October 13, 2012
Sajak SLA
oleh: WS Rendra
Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya
Bagaimana itu mungkin ?
Itu mungkin.
Karena tidak ada patokan untuk apa saja.
Semua boleh. Semua tidak boleh.
Tergantung pada cuaca.
Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.
Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.
Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang.
Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.
Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.
Dan juga ingin jaminan pil penenang,
tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.
Maka berkatalah ia
Kepada orang tua murid-muridnya :
“Kita bisa mengubah keadaan.
Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
terpandang di antara tetangga,
boleh dibanggakan pada kakak mereka.
Soalnya adalah kerjasama antara kita.
Jangan sampai kerjaku terganggu,
karna atap bocor.”
Dan papa-papa semua senang.
Di pegang-pegang tangan ibu guru,
dimasukan uang ke dalam genggaman,
serta sambil lalu,
di dalam suasana persahabatan,
teteknya disinggung dengan siku.
Demikianlah murid-murid mengintip semua ini.
Inilah ajaran tentang perundingan,
perdamaian, dan santainya kehidupan.
Ibu guru berkata :
“Kemajuan akan berjalan dengan lancar.
Kita harus menguasai mesin industri.
Kita harus maju seperti Jerman,
Jepang, Amerika.
Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma.”
Murid-murid tertawa,
dan mengeluarkan rokok mereka.
“Karena mengingat kesopanan,
jangan kalian merokok.
Kelas adalah ruangbelajar.
Dan sekarang : daftar logaritma !”
Murid-murid tertawa dan berkata :
“Kami tidak suka daftar logaritma.
Tidak ada gunanya !”
“kalian tidak ingin maju ?”
“Kemajuan bukan soal logaritma.
Kemajuan adalah soal perundingan.”
“Jadi apa yang kaian inginkan ?”
“Kami tidak ingin apa-apa.
Kami sudah punya semuanya.”
“Kalian mengacau !”
“Kami tidak mengacau.
Kami tidak berpolitik.
Kami merokok dengan santai.
Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka :
santai, tanpa politik
berunding dengan Cina
berunding dengan Jepang
menciptakan suasana girang.
Dan di saat ada pemilu,
kami membantu keamanan,
meredakan partai-partai.”
Murid-murid tertawa.
Mereka menguasai perundingan.
Ahli lobbying.
Faham akan gelagat.
Pandai mengikuti keadaan.
Mereka duduk di kantin,
minum sitrun,
menghindari ulangan sejarah.
Mereka tertidur di bangku kelas,
yang telah mereka bayar sama mahal
seperti sewa kamar di hotel.
Sekolah adalah pergaulan,
yang ditentukan oleh mode,
dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan.
Dan bila ibu guru berkata :
“Keluarkan daftar logaritma !”
Murid-murid tertawa.
Dan di dalam suasana persahabatan,
mereka mengobel ibu guru mereka.
Yogya, 22 Juni 1977.
Tuesday, October 9, 2012
Lelaki yang Dicintai Bidadari
oleh: Hasan Asphani
TADI malam, kupelajari isyarat kepak sayapmu
agar tak terlambat
bila harus kujemput kau di langit ketujuh ratus.
TADI malam kutemukan sisa-sisa bulu sayapmu
putih dan basah, mungkin ada air mata yang tumpah.
PADA malam, kusimpan sebuah gumam:
akulah lelaki yang dicintai bidadari
kaukah bidadari itu?
(dari antologi Lelaki yang Dicintai Bidadari)
Hei, Kamu
oleh: WS Rendra
Luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
noda di dalam pergaulan antar manusia,
duduk di dalam kemacetan angan-angan.
Aku berontak dengan memandang cakrawala.
Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.
Jakarta, 29 Pebruari 1978
Thursday, October 4, 2012
Memoar Kehilangan
oleh: Sabiq Carebesth
Memar yang melanda memoar adalah sekuntum bunga
kenangan, yang tertanam di tanah paling dalam dari ingatan;
kehilangan-kehilangan adalah bukan luka yang menyakitiku,
tapi ingatan akan terempasnya waktu. Kini kupegangi seutas
tali paling halus; untuk menggambar nyata; melukis keabadian;
bahwa engkau mulia dalam apa yang engkau kehendaki,
engkau mulia dalam apa yang kau kerjakan
Jakarta, 08 mei 2010
Memar yang melanda memoar adalah sekuntum bunga
kenangan, yang tertanam di tanah paling dalam dari ingatan;
kehilangan-kehilangan adalah bukan luka yang menyakitiku,
tapi ingatan akan terempasnya waktu. Kini kupegangi seutas
tali paling halus; untuk menggambar nyata; melukis keabadian;
bahwa engkau mulia dalam apa yang engkau kehendaki,
engkau mulia dalam apa yang kau kerjakan
Jakarta, 08 mei 2010
Wednesday, October 3, 2012
Produk Dalam Negeri
Produk dalam negeri
Produk dalam negeri kian lama kian
tergusur oleh produk-produk impor, karena masyarakat yang semakin membeli
berdasarkan gengsi. Padahal sebenarnya produk indonesia lebih baik dan lebih
berkualitas daripada produk impor, namun masyarakat yang sudah terjejali dengan
slogan dari iklan-iklan impor tidak mampu menahan gejolak pergengsian yang ada
di tengah masyarakat.
Arie : Man, kamu kemarin habis
beli apa sih dari pasar sana?
Maman: oh, kemarin saya baru beli barang-barang buat ruang tamu
Arie : barang impor yah?
Maman: enggalah, saya kan suka barang buatan indonesia
Arie : barang buatan indonesia kan
kualitasnya belum terjamin
Maman: eis, jangan salah ri, barang indonesia itu sebenarnya sangat terjamin
kualitasnya
Arie : kenapa? Kok bisa gitu?
Maman: kamu lihat saja furnitur yang baru saya beli kemarin, bagus kan?
Arie : itu kan mereknya olimpic,
bukannya itu barang impor alias dari luar negeri?
Maman: olimpic itu sebenarnya buatan orang kita, orang indonesia ini. tetapi
karena olimpic sudah terkenal sampai ke
mancanegara, jadilah olimpic mempunyai kesan impor
Arie : oh...
Maman: sebenarnya masih banyak lagi sih produk-produk indonesia yang sudah
melanglang buana sampai ke mancanegara.
Arie : apalagi?
Maman: kamu tahu indomie, batre ABC, sampai minuman extra joss? Semua itu
adalah sebagian dari produk indonesia yang
sangat sukses sampai mendunia
Arie : ternyata banyak juga yah
Maman: tentu saja banyak, jadi belum tentu produk impor lebih baik dari
produk sendiri kan
Arie : iya, seharusnya kita bangga
dengan produk sendiri yang mampu mendunia dan berkualitas, ketimbang memakai
produk impor yang kualiatasnya masih patut dipertanyakan
Maman: jadi lebih baik kita mulai menggunakan produk sendiri agar bisa
menjadi raja di negaranya sendiri
Arie : betul sekali man...
Friday, September 28, 2012
Teratai
oleh: Soni Farid Maulana
ada teratai biru mekar di kedalaman.
teratai ini teratai hatiku, untukmu. Ia
lebih biru dari inti api yang bukan api.
seandainya kau melihatnya malam hari,
ketika cahaya bulan menyentuh miring:
-- kau akan berkata, “semekar itukah
rindumu kepadaku?” Ya. Segairah itu pula:
-- ajal, sang mempelai, menantiku
di ranjang waktu.
teratai ini, teratai yang lain, cintaku. Ia
lebih wangi dari kembang kabung,
lebih bersinar dari cahaya matahari,
lebih redup dari kilau matamu, ketika perlahan
terpejam di sisiku. Dalam pelukanku. O, maut
datang dan pergi bagai dentang jam.
2009
Thursday, September 27, 2012
Games
“Dodi!”
Panggil Ibu.
Dodi saat itu sedang bermain game
konsol barunya tak menghiraukan panggilan ibunya itu. Game itu baru saja dibeli
oleh ayah Dodi sebagai hadiah karena Dodi berhasil mendapatkan nilai sempurna
di ulangan matematikanya.
Harapan ayah Dodi adalah dengan
hadiah tersebut Dodi semakin rajin lagi belajar dan bersemangat untuk sekolah,
namun Dodi malah menjadi maniak game.
“Dodi! Ayo makan” seru ibu lagi dari
ruang makan.
“Sebentar, Bu. Lagi nanggung nih”
jawab Dodi sambil terus bermain game barunya itu.
Sekarang setiap hari Dodi terus
bermain game
Thursday, September 20, 2012
Jemu
Seseorang datang padaku dengan lelah
Lalu berdiri tepat di samping penglihatanku
Dan memandang sebuah rumah yang bagai penjara
Hidup adalah anugerah, memang
Adapun anugerah yang menyiksa
Yang artinya adalah
Kelahiran merupakan siksaan yang tak terelakkan
Sambil memikirkan kembali makna hidup itu
Tiba-tiba dari tubuhnya mengalun sebuah lagu
"Kujemu dengan hidupku yang penuh liku-liku"
Lalu tatapannya semakin tajam pada coretan hidup pada tembok rumah
"Kau bosan hidup?" katanya
Sedang matanya seakan menusuk menembusi jantungku
2012
Lalu berdiri tepat di samping penglihatanku
Dan memandang sebuah rumah yang bagai penjara
Hidup adalah anugerah, memang
Adapun anugerah yang menyiksa
Yang artinya adalah
Kelahiran merupakan siksaan yang tak terelakkan
Sambil memikirkan kembali makna hidup itu
Tiba-tiba dari tubuhnya mengalun sebuah lagu
"Kujemu dengan hidupku yang penuh liku-liku"
Lalu tatapannya semakin tajam pada coretan hidup pada tembok rumah
"Kau bosan hidup?" katanya
Sedang matanya seakan menusuk menembusi jantungku
2012
Sunday, September 16, 2012
MAKAN DIMANA YAH
MAKAN DIMANA YAH
Karya: Herlangga
Juniarko
Sore itu Ujang tengah berada di
alun-alun kota. Di kanannya adalah pasar tradisional yang menjual pelbagai
produk hasil masyarakat. Sedangkan di kirinya adalah sebuah mega mall yang
menjual pelbagai produk berkualitas hasil impor.
Ujang
Hmmm, lapar sekali
dan sepertinya aku butuh makan nih
(menoleh ke kiri dan
ke kanan)
Aha! Karena aku
mencintai produk asli Indonesia, maka aku akan makan di pasar tradisional saja
(berjalan ke arah
kanan)
(tiba-tiba setan
nasionalis muncul di depannya)
Setan
Hey! Tunggu dulu Ujang.
Mau kemana kamu?
Daripada makan di
tempat yang kumuh itu, lebih baik makan di sana (menunjuk mega mall)
Disana lebih nikmat,
bersih, dan banyak wanita cantiknya pula yang sering bersliweran di depan
tempat makannya itu
Ujang
Sunday, September 9, 2012
Kemerdekaan Adalah
Kemerdekaan adalah kebebasan dari segala hal
Bukan mengganggu dunia yang lain
Namun lepas dari jeratan kopi, gula, dan susu hidup
Dan menikmati nafas surya pagi
Kemerdekaan bukanlah lembar-lembar hijau
Lalu memasukkannya ke dalam sanubari
Tetapi membuangnya ke langit cerah
Dan memasukkan surya ke alam jiwa
Seperti itulah, orang-orang politisi berkata
Sambil menyeruput secangkir kopi susu bersama lembar-lembar hijau
Memandangi orang-orang memakan sampah hingga berkeringat
2012
Herlangga Juniarko
Friday, August 31, 2012
Azrael
oleh: Herlangga Juniarko
Senja itu, warna kemerah-merahan
mulai pudar dan berganti menjadi gelap, sedangkan matahari masih sedikit lagi
turun di ufuk timur. Tepat di hadapan matahari itu, di sebuah rumah tengah
terbaring seorang manusia yang sangat sehat sekali. Dia adalah seorang
laki-laki berumur 40-an, perutnya mulai membuncit karena kandungan makanan yang
ia makan entah darimana asalnya. Sedang wajahnya masih tetap awet muda karena
perawatan wajah yang ia jalani setiap waktunya.
Tiba-tiba dari langit muncul sesosok
makhluk berbentuk asap hitam menggumpal seperti awan-awan mendung yang siap
menghantarkan petirnya ke alam yang sepi. Sosok yang sangat ditakuti oleh
seluruh makhluk yang ada di dunia ini, bahkan setiap malaikat dari langit pun
takut ketika melihat sosok itu. Kini sayapnya mulai mengembang dengan lebarnya
hingga seluruh langit senja itu tertutup oleh sayap hitamnya itu. Tubuhnya
mulai membentuk dengan tertutup oleh jubah hitam yang bagian bawahnya telah
tersobek-sobek kejam. Kini ia terbang mengitari manusia yang tengah santai di
ranjang kenikmatannya itu.
“AHMAD!!!” teriak sosok hitam itu
pada pria yang tengah berbaring di ranjang rumahnya yang nyaman itu.
Friday, August 10, 2012
Kami Bertiga
dalam kamar ini kami bertiga:
aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
Sapardi Djoko Damono
(Hujan Bulan Juni)
aku, pisau dan kata –
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata
Sapardi Djoko Damono
(Hujan Bulan Juni)
Wednesday, August 8, 2012
Tuhan, Adakah Dia?
Tuhan, adakah Dia?
sementara semesta menasbihkan nama-Nya dengan terang
serta bunga-bunga menunggu sinar Sang Mentari
menyiangi bumi yang maha kecil ini
Tuhan, adakah Dia?
sementara jiwaku memuja-Nya dengan penuh harap
serta tanganku memeluk malaikat-Nya
menerima segala apa yang ada
Tuhan, tentu saja ada
lalu apa yang membuatmu ada di semesta ini
melayang di antara ribuan galaksi
dan merayu udara serta terbang mengangkasa
dan hanyalah bagi mereka yang mencinta yang dapat merasuk
dalam hati Tuhan yang maha agung
dan kita akan bersemayam di hati-Nya
2012
sementara semesta menasbihkan nama-Nya dengan terang
serta bunga-bunga menunggu sinar Sang Mentari
menyiangi bumi yang maha kecil ini
Tuhan, adakah Dia?
sementara jiwaku memuja-Nya dengan penuh harap
serta tanganku memeluk malaikat-Nya
menerima segala apa yang ada
Tuhan, tentu saja ada
lalu apa yang membuatmu ada di semesta ini
melayang di antara ribuan galaksi
dan merayu udara serta terbang mengangkasa
dan hanyalah bagi mereka yang mencinta yang dapat merasuk
dalam hati Tuhan yang maha agung
dan kita akan bersemayam di hati-Nya
2012
Sunday, July 22, 2012
Adegan Kilasan Tabu
oleh: Herlangga Juniarko
Aku segera masuk ke kamarku dan
kembali menyendiri setelah menyaksikan hamparan paha wanita di luar sana
beserta rahasia-rahasia yang sudah terungkap oleh imajinasiku. Sedemikian rupa
aku mulai mengumbar kejalanganku bersama setan yang menyamar menjadi kasur,
lotion, dan kenangan tadi. Tapi itu semua telah dianggap wajar oleh sebagian
lelaki, karena memang itulah kodrat yang harus ditempuh seorang lelaki.
Sedangkan lenganku sudah menjelma mesin dengan jari-jari merayu sperma yang
buas dari alam binal keluar seketika bersama hasrat kenikmatan orgasme dan
benih yang hanya akan terbuang di lantai kamarku yang gelap. Sebuah hal yang
pernah dilakukan hampir lelaki di seluruh dunia itu sedikit demi sedikit
menguak tabir seks yang tabu.
Sebagian orang akan menganggap itu
adalah perbuatan dosa. Namun, dosa memang tidak bisa dielakkan lagi dari diri
setiap manusia, apalagi bagi seorang lelaki yang sedang merasakan hasrat
seksual yang meninggi akibat pakaian para wanita zaman sekarang yang sudah
mengurangi bahan demi memberikan kepuasan lelaki. Maka dengan dosa itulah
manusia akan menjadi lebih baik.
Akhirnya, ritual kelelakian itu
selesai dengan bubarnya setan dari kamar gelap, sehingga aku dapat kembali
menerawang kejadian berikut dengan pengetahuan seks yang lebih mendalam dari
sekedar rahasia tabu di antara dua paha yang sering terhampar begitu saja di
zaman ini.
2012
Friday, July 20, 2012
Maju
Kata-kata untuk Deyangga
Kau tak lebih dari
burung
Yang diam di sangkar
kayu
Di tempa sekehendak
tuan
Sedang memang engkau
Tak berani mematuk
sangkarmu
Dan terbang bebas
keluar
Asah pelatukmu
sekarang
Dan hancurkan
sarangmu
Karena tuan pasti
berpasrah
Dan mengobatimu saat
terluka
Majulah ke depan, ke
arah mentari
Tembuslah awan hitam
di sana
Dan rasakan sinar itu
menembus sayapmu
Puaskanlah nafsumu
itu pada cahaya
Setelah itu,
kembalilah ke sangkarmu
Dan bilang pada tuan
"aku mampu"
2012
Friday, July 13, 2012
Pesan: Kepada Seseorang
Evie, aku sangka
semua akan jadi indah
Tapi memang semua
akan indah pada waktunya
Dengan sisa-sisa
harapan yang ada
Atau perlu
kubangkitkan lagi harapan itu
Dan kuajukan lagi
pada Yang Kuasa
Sehingga aku bisa
memaksa-Nya
Untuk menandatangani
ini semua
Aku sudah membulat
dalam tekad
Tak perduli lagi
akan semua
Akan aku tunggu
kau
Dalam kesunyian
Meskipun seribu
tahun berlalu
Aku akan
menunggumu
Meskipun untuk
selamanya
Aku masih tetap
berdiri menunggu
Evie, segala yang
indah itu selalu ada padamu
Aku tahu awan akan
lebur dalam air langit
Atau Andromeda
akan hancur setelah bersatu dengan Bimasakti
Namun hancur
adalah sebagian dari kebahagiaan
Atau jalan yang
perlu aku tempuh untuk ini
Masihkah pintumu
rapat untukku
Ataukah kau masih
memberi sedikit nafas pada dermaga ini
Aku berharap
banyak pada setiap kata yang kutulis
Karena hanya kata
yang mampu mengungkap segala hal
Sehingga indah
dapat terlihat
Evie, aku
mencintaimu dengan segala dayaku
Jika dunia mampu
berputar ke belakang
Maka akan aku ubah
semua yang pahit atau yang rusak
Semua untukmu kini
Demi mawar yang
kau tanam dalam hatiku
Hanya untuk kali
ini
Aku pasrahkan
segalanya pada Sang Kuasa
Pada Sang
Pembolak-Balik Hati
Yang Maha Cinta
dari segala cinta
Aku sangat
mencintaimu, Evie
25 Juni 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)