oleh: Subagio Sastrowardoyo
- "Disinilah aku bergantung
Domba hitam terbantai di tiang
Perempuan malang bersimbah debu
meratap. Merataplah sepatut seorang
ibu meratap kematian anak sulung
Tapi merataplah tanpa kegusaran terhadap
mereka yang menyeret aku dari lurung ke lurung
yang menombak dan memaku aku di tiang gantung
Manusia itu baik. Kelaliman hanya kesesatan
sesaat yang akan luluh dalam penyesalan.
Bagi nabi, pemikir dan penyair hanya ada satu jalan
untuk menghadapi kekejaman. Bagi kami tak ada senjata,
gigi, kuku atau pedang. Hanya penyerahan dan cinta
kepada manusia dan keyakinan akan kebenaran.
Jangan bimbang. Darahku yang berceceran
dari luka tubuhku akan mendekatkan mereka
kepada keinsafan: mereka telah membunuh sesama insan
yang juga mengenal gembira, rindu dan luka
Mereka akan berhenti mengancam, malahan akan mencampakkan diri
ke bumi karena menyadari kekejian budi
Ibu, maafkan mereka. Mereka tidak sadar
apa yang mereka perbuat. Tidakkah kau dengar
mereka berkeluh dan mundur ke kota dengan teriak
penyesalan"?
- "Aduh anak,
Aduh putera bapak yang tunggal. Begitu banyak
pengorbanan yang dilakukan, begitu banyak sudah bunuh diri
buat keagungan martabat manusia. Tapi penindasan
terus menindih dan punah keindahan mimpi.
Lihatlah,
Keluh mereka adalah kutuk yang dilontarkan ke mukamu
Dan mundur ke kota adalah untuk berpesta menyambut kematianmu"
- "Bunda, penglihatanmu kabur oleh air mata"
- "Tidak, hanya hatimu yang lemah oleh cinta manusia
Cinta Tuhan lebih kejam. Ia meruntuhkan alam lata
untuk melahirkan manusia perkasa"
- "Demi Allah!
Berilah aku senjata. Beri aku gigi
dan kuku dan pedang untuk memerangi
kebengisan ini. akan kugigit dan robek
perut jahanam dan penggal setiap kepala
yang tunduk ke bumi. Beri aku hidup lagi.
serta pembalasan satu ini. Gusti!"
1962
*dari antologi "Dan Kematian Makin Akrab"
No comments:
Post a Comment