“Sejujurnya, aku sungguh tidak menyukai orangtuaku”
Pagi ini, awan masih mendung. Rinjani
masih tertidur di sampingku. Lampu masih menyala. Dan ranjang ini masih hangat.
Semua sepertinya akan baik-baik saja meskipun aku tak menginginkannya.
Aku beranjak dari ranjangku dan
mulai membuat segelas kopi untuk menyegarkan pikiran dan jiwa. Sambil duduk di
ruang tamu aku masih memikirkan kenangan yang selalu ingin kulupakan, yaitu
orangtuaku.
“Oh kau sudah bangun?” aku melihat Rinjani yang masih terlilit
selimut. Wajahnya sungguh cantik setiap paginya dengan rambut panjang terurai
agak berantakan. Ia masih terlihat cantik.
Kemudian ia duduk di sampingku dan
juga mulai meminum kopiku. Setelah menghela nafasnya, ia menyandarkan tubuhnya
padaku.
“Hei Rangga” katanya. “Apakah ini
semua akan baik-baik saja?”
“Tentu saja ini akan baik-baik saja.
Selama kita saling memiliki, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan” kataku
sambil tersenyum.
“Jadi, apakah kamu benar-benar tak
ingin menikahiku?” katanya. Kini mata kami saling bertemu, lalu angin seperti
berhembus perlahan dan mengingatkanku pada sebuah kenangan yang tak pernah terlupakan.
***
“Jadi ini semua salahku?” ayahku
sambil memegangi tangan ibuku dengan kuat berteriak.
Malam itu aku terbagun karena suara
teriakan ayah dan ibuku. Meskipun umurku baru sepuluh tahun tapi aku sudah
mengerti situasi yang terjadi saat ini. Jadi, aku menenangkan adikku yang
terbagun juga.
Mungkin adikku yang baru berumur lima
tahun itu juga mengerti situasi yang terjadi saat ini. Aku pun berusaha agar ia
tidak menangis dan mulai membuatnya kembali tidur.