herlangga juniarko

Powered By Blogger

Friday, December 27, 2024

Untukmu, Sebuah Sajak Api di Lilin Ulang Tahun

:Hinata Hyuga⁣

Hai Hinata,⁣
Meskipun hari ini kau berulang tahun⁣
Aku tetap berharap malam ini gelap akan mengepung⁣
Supaya kita bisa menyalakan lilin⁣
Sekalian merayakan halusinasi⁣

Nanti, aku akan bercerita⁣
Bahwa api di dalam dadaku lebih bergelora⁣
Kau bertanya, “kenapa?”⁣
“Tentu saja, karena kau ada,”⁣
Jawabku sambil menepuk dada⁣
Kemudian api lilin berisi doa di hadapanmu⁣
Meliuk malu⁣

Ah, tahun baru nanti⁣
Apakah perlu kubentur-benturkan dimensi⁣
Segala yang nyata dan yang fiksi?⁣
Agar terpercik api⁣
Dan malam bermekaran menjadi kembang⁣

Nanti, di malam tahun baru juga⁣
Lavender matamu akan memetakan malam⁣
Yang berwarna dan berwarni⁣
Karena tak lupa, akan kusebarkan pula⁣
Doa di lilin yang kau tiup⁣
Ke setiap api yang bermekaran di langit⁣

Hai Hinata,⁣
Dalam sajak yang berapi-api,⁣
Sekali lagi ⁣
Kubuat kau tak pernah mati⁣


27 Desember 2024⁣
Herlangga Juniarko




Monday, October 7, 2024

Alusi

Selepas mengajukan naskah ke sebuah penerbitan, dan mendapat kembali penolakan, seperti di beberapa penerbit lainnya, kau lekas berjalan menuju sebuah kafe di tepi kota, guna memenuhi sebuah janji.

Tadi pagi, tepatnya selepas matahari terbit, saat kau hendak tidur selepas merampungkan sebuah naskah drama-pertunjukan-pesanan dari sebuah grup teater kecil di kotamu, telepon genggammu berbunyi; dan kau pun mengangkat telepon itu. Seorang perempuan bertanya apakah nanti malam kau luang, dan kau pun menjawab luang; perempuan itu berkata hendak mengatakan hal yang penting padamu, sehingga mesti bertemu langsung, dan kau pun mengiyakannya tanpa bertanya soal apa, sebab kau merasa itu akan melukainya.

Selepas menyampaikan hal demikian, perempuan itu tak lupa berpesan agar kau lekas tidur, sebab dia amat hapal bahwa kau selalu suka begadang mengerjakan tulisan, dan berharap kau mengurangi kebiasaan buruk yang merusak tubuhmu; dan dengan lembut kau pun mengiyakannya.

Sesampainya di tempat tersebut, kau memilih tempat duduk di dekat jendela dan meletakkan tas cangklongmu yang berisi beberapa buku bacaan, naskah buku puisi yang ditolak, sebuah naskah drama pesanan penuh coretan, dan beberapa kertas serta sebuah bolpoin hitam, dan juga sebuah payung lipat di bawah meja.

Di atas meja, yang tak terlalu besar, yang tampaknya berusia tua, ada pesananmu: segelas kopi hitam. Dan pesananmu itu belum kau minum; sebab kau lebih memilih memandang keluar dan membiarkan pikiranmu melayang-layang.

Sambil menanti perempuan itu datang, pikiranmu terbawa pada lentera hijau dalam novel Great Getsby; dan kau pun membayangkan hal itu ada di jauh sana, dan kau memandangnya dari tepi sebuah pantai, dan membayangkan di lautan itu ada kapal yang tak pernah berhasil mencapai pantai bahkan pantai keempat Chairil.

Penyair

“BULAN depan aku diundang mengikuti acara temu penyair lagi,” ujar suamiku sambil merebahkan tubuhnya di sampingku.

Malam sudah larut. Aku sudah mengantuk dan bahkan sudah memejamkan mata. Tapi, gara-gara ucapannya itu, rasa kantukku seketika lenyap.

Aku merasa ingin sekali mengajaknya bicara serius tentang kepenyairannya yang sudah kuanggap gila atau tidak waras lagi. Bagaimana bisa disebut penyair waras, kalau suamiku sudah seperti ketagihan menghadiri undangan temu penyair yang belakangan nyaris rutin tiap bulan?

Padahal, akulah yang harus membiayai kepergiannya karena ia tidak punya penghasilan. Pernah suamiku mencoba mengajukan proposal bantuan dana kepada pemerintah daerah, tapi birokrasi terlalu berbelit-belit: proposal harus dilampiri surat keterangan dari RT, RW, desa dan kecamatan, yang membuatnya pusing dan malas mengurusnya lagi.

Sebagai istri, aku pun malu punya suami yang dianggap suka meminta-minta bantuan kepada pejabat yang tidak mengenal dunia kepenyairan. Malah, ceritanya, dia juga pernah diragukan kepenyairannya oleh petugas sekuriti di pendapa kabupaten ketika mau mengajukan proposal kepada bupati.

“Jangan ngaku penyair. Saya sejak kecil suka puisi, tapi belum pernah baca puisimu. Kalau bohong ke Pak Bupati, kamu bisa dipenjara! Silakan bawa pulang proposal ini!”

Thursday, August 8, 2024

Cerita Seorang Dokter Gigi yang Memutuskan Belajar Bahasa Isyarat

Seorang anak kecil datang ke hadapan
Giginya telah bergoyang
“Bisakah anda mencabut gigi?” tanyanya

Setelah gigi tercabut,
“Dok, bisakah anda mencabut suara juga?”
Dokter gigi itu terdiam
Kata demi kata, ia susun kembali
Hanya untuk memahami
Maksud dari setiap huruf

Kemudian setelah koma
Menjadi jeda antara mereka
Si anak melanjutkan tuturan
“Aku takut.
Nanti setelah dewasa,
Akan sering berbicara kasar.
Rumah akan menjadi kotor
Dan kata-kata berserakan seperti sampah

Aku takut. Mulutku
Seperti Ayah
Yang menyemburkan minyak
Atau
Seperti Ibu
Yang memercikkan api

Rumah terbakar
Segalanya menjadi hangus
Kutunggu saja
Hingga keduanya berakhir
Sebagai arang dan abu
Akan tetapi,
Setiap sudut rumah telah berjelaga
Aku jadi kesulitan
Membersihkannya.”
Dokter gigi itu masih terdiam
Seperti seorang yang sakit gigi

Anak itu kembali bertutur dengan gembira
“Tetapi, saat Ayah dan Ibu sakit gigi,
Rumah menjadi sangat bersih
Bahkan, ada sedikit wangi bunga.
Aku tak tahu nama bunga itu.

Jadi Dok,
Bisakah anda mencabut suara juga?
Atau setidaknya,
Membuatku sakit gigi selamanya?”


2024
Herlangga Juniarko


Wednesday, July 17, 2024

Di Jalan Aceh, Bandung. Aku Ingin Menjadi Pahlawan!

Orang bilang,
Di negeri ini, pahlawan telah mati
Mereka terjebak dalam uang kertas berbagai edisi
Terinjak dan menjadi lebih kumal
Daripada cucian yang murung
Karena awan mendung

Anehnya,
Di Jalan Aceh, Bandung
Aku melihat pahlawan-pahlawan
Berdatangan. Bersama-sama 
menanam sebuah pohon kehidupan

“Pohon ini tak akan pernah tumbang
Tak akan pernah gugur
Ia akan senantiasa mengusir segala
Mendung dan murung!”
Seru seorang pahlawan
Yang darahnya mengalir menjadi daun

Matahari dalam tubuhku berontak
Serupa harapan
Aku ingin hidup
Seperti pahlawan


Palang Merah Indonesia Kota Bandung, Juli 2023
Herlangga Juniarko


Friday, May 31, 2024

Bagaimanakah Cara Mengucapkan Terima Kasih dalam Bahasa Isyarat?

Di depan Stasiun Bandung,
Pertemuan terakhir berlangsung
Setelah mengiris kelingking waktu
Dengan kelingking yang lain
Kau pun mulai berbicara dalam isyarat

Di jemarimu, alfabet berlarian ke sana ke mari
Menjelmakan semua yang kau utarakan
Aku pun belajar menjadi Adam
Kupahami setiap sunyi
Menjadi nama, angka, warna
Atau apa saja yang bisa menjadikan keluarga

Ah, waktu berlalu dalam bermacam potongan singkat
Mosaik bertebaran
Kau bungkus dan kumpulkan
Hingga menjadi kado
Yang dibagi merata sebagai harapan dan doa

Tanpa sadar, diam-diam entah dari mana
Aroma parfum mewangi mengisi ruang
Menjadi pengingat yang kuat

Sampai penutup, kau kembali berbicara dalam isyarat
Alfabet berlarian. Kali ini, di mata
Aku mungkin tak paham
Atau hanya ‘selamat tinggal’
Yang mampu kuterjemahkan

Meski begitu, aku ingin bertanya untuk yang terakhir
Bagaimanakah cara mengucapkan terima kasih
Dalam bahasa isyarat?


2024
Herlangga Juniarko




Saturday, April 6, 2024

Frieren: Waktu dan Seluruh Haru yang Berlalu

—sebab Himmel—

Sampai kapan kau akan
Hidup
Dan
Abadi
Dalam tubuh?

Pada hari perpisahan
Tak pernah ada kenangan
Di mata, di mana pun
Kita tak pernah menuang air mata
Untuk setiap perpisahan
“Karena pasti malu jika bertemu lagi”

Tetapi,
Aku akan tetap memahat ingatan
Di tiap-tiap tempat
Di mana kita pernah bergembira
Agar kau tak kesepian
Dan sejenak merayakan
Pertemuan-pertemuan yang tak berumur panjang

Jikalau nanti waktu telah menyihir
Segala hal menjadi sia-sia,
Kumohon, sekali lagi
Gambarlah sepetak sekar bulan biru
Yang paling haru
Yang paling sendu
Di makamku


2024
Herlangga Juniarko


Sunday, January 28, 2024

Jarak

Entah bagaimana lagi kueja parau suaramu
Nasib pun tak kunjung menjelma jalan pulang
Kalimat-kalimat tanya seketika menyerbu
Hari-hari ragu yang menabu

Rasanya, hidup hanya lingkar 
kekal kehampaan
Gelap tak berujung
Wadah segala sepi
Menggambar wajahmu di kelambuku

Sampai kapan?
Aku pun tak sanggup pastikan
Jalan terjal menjejak di kepala
Usaha sia-sia


Panorama, 2024
Tri Cahyana, Herlangga, 
Bryan Dika, Abdillah


Sunday, January 21, 2024

Kepada Kota yang Disumpahi Sunyi

Kepada kota yang disumpahi sunyi
Si bajingan tolol itu
Mencacah almanak seribu windu
Kemudian sesalan belia 
kembali runtuh di mata
Melebur dan merobek ingatan

Si Bajingan!
Angkuh merengkuh dua manik-manik Tuhan
Amsal ibrahim di padang safar

Ah, tanggal-tanggal lalu 
mengepung. Tubuhku biru.
Adakah kesempatan untuk merapal doa?

"Kau memang Bajingan!" ucapmu dan ia
Melepas janji beribu bintang
Meski cinta melata 
di sepanjang angkasa dan mayapada.


Setiabudhi, 20 Januari 2024
Tri Cahyana Nugraha, Herlangga Juniarko, 
Bryan Dika, Abdillah Al-Hafizh