"Apakah sperma itu manis?"
Tanya seorang lelaki pada seorang
pelacur yang kini sedang mem-blow job-nya
Perempuan itu terdiam seketika
Matanya pisau
Ya
Jawabnya
Semanis uang yang telah kau ambil
dari pajakpajak rakyat untuk membayarku melakukan ini
Kini pria itu sedikit tercengang,
tapi orgasme telah di penghujung malam
Hingga tak sempat mengelak maka disemburkannya
sperma ke wajah seorang pelacur belia
Seperti menyemburkan kotoran pada wajahwajah
yang tak sempat tercatat sejarah
Yaitu wajahwajah anak haram yang dibuang ibunya
di tepi sungai dan berharap kematian menjadi takdir
Yaitu wajahwajah pengemis yang menghitam
dibakar sinar matahari sampai jadi sepi
Yaitu wajahwajah rakyat yang kecurian uang
namun tak menyadari
Maka pelacur itu menutup kembali payudara dan vaginanya
dengan seragam SMA yang tadi sempat digadaikan
pada seorang pejabat tingkat atas
Kemudian esok harinya, ia mampu membayar SPP yang sudah diberi sayap
oleh kepala sekolah agar terbang tinggi
2012
Herlangga Juniarko
Thursday, March 31, 2016
Wednesday, March 16, 2016
Aquila: Angkasa yang Memburai
oleh: Herlangga
: L
“Masih dalam ingatan. Punggungmu”
Lelaki pecundang yang setia mendzikirkan namamu
Dalam diamnya. Dalam hatinya. Dalam sajaknya
“Aku cinta padamu. Hai kau”
Kata-kata tak bisa bersuara
Bahkan teredam oleh segala hal yang fana
Kau yang semeter depanku. Itu dulu
Sekarang mungkin telah jutaan tahun cahaya
Kau Aquila. Masih berkelap dan berkelip
“Apa kau masih ingat padaku?”
Aku masih ingat kau, Aquila
Setidaknya biru yang mewarnai tudung di langitmu
Seperti kunang-kunang dalam mimpi
Tapi aku cinta padamu. Masih
Maret, 2016
: L
“Masih dalam ingatan. Punggungmu”
Lelaki pecundang yang setia mendzikirkan namamu
Dalam diamnya. Dalam hatinya. Dalam sajaknya
“Aku cinta padamu. Hai kau”
Kata-kata tak bisa bersuara
Bahkan teredam oleh segala hal yang fana
Kau yang semeter depanku. Itu dulu
Sekarang mungkin telah jutaan tahun cahaya
Kau Aquila. Masih berkelap dan berkelip
“Apa kau masih ingat padaku?”
Aku masih ingat kau, Aquila
Setidaknya biru yang mewarnai tudung di langitmu
Seperti kunang-kunang dalam mimpi
Tapi aku cinta padamu. Masih
Maret, 2016
Friday, March 11, 2016
Big Bang
oleh: Herlangga
Dalam ruangan, seseorang mengingatkanku padamu
Ia berbicara mengenai ledakan Big Bang yang
terjadi pada suatu waktu yang tak tentu
Saat itu kau bertanya, “Big Bang adalah satu ledakan, bukan?”
“Ya” jawabku, “ia berasal dari satu inti yang Tuhan cipta”
Kemudian kau dan aku berpikir:
Apakah ledakan itu cukup kuat untuk membunuh semua Tuhan?
Agar tak tersisa
Perbedaan
2015
Dalam ruangan, seseorang mengingatkanku padamu
Ia berbicara mengenai ledakan Big Bang yang
terjadi pada suatu waktu yang tak tentu
Saat itu kau bertanya, “Big Bang adalah satu ledakan, bukan?”
“Ya” jawabku, “ia berasal dari satu inti yang Tuhan cipta”
Kemudian kau dan aku berpikir:
Apakah ledakan itu cukup kuat untuk membunuh semua Tuhan?
Agar tak tersisa
Perbedaan
2015
Thursday, March 10, 2016
Regional Bandung 2016
Minggu pagi, 6 Maret 2016 kemarin terlihat beberapa orang berkumpul di depan sebuah toko hobi bernama Planet Comic. Sembari memegang album berisi kartu, mereka mengutak-atik beberapa sekumpulan kartu yang akan mereka gunakan untuk turnamen Yugioh Regional Bandung 2016. Terdapat 37 peserta yang hendak memperebutkan hadiah berupa 12 booster Dragon Legend 2 dan 1 booster Gold Series 5, beserta poin untuk mendapatkan wildcard atau tiket 64 besar NATS (National Tournament ) 2016 ini.
Para
Duelist (sebutan player Yugioh) sendiri ada yang sudah datang sedari jam 9 pagi
meskipun acara baru dimulai jam 10, tetapi ada pula yang datang agak terlambat.
Namun semua dapat terkondisikan dengan baik. Peserta yang datang cukup beragam
meskipun turnamen ini adalah regional bandung tetapi acara sendiri terbuka
untuk umum sehingga terdapat duelist dari luar Bandung seperti Palembang,
Cirebon, Sumedang, dan Karawang ikut
berdatangan.
Saturday, March 5, 2016
Kunang-kunang Dalam Bir
oleh: Agus Noor
Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you….
Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you….
Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Friday, March 4, 2016
Lima Detik
oleh: Herlangga
Ternyata jam tanganku sudah menunjukkan pukul 14.00 dan kuliah hari ini pun telah berakhir dengan damai. Sekarang yang ada hanyalah aku dan pacarku, kami hendak berjalan bersama ke tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi bersama sebelumnya hari ini.
Ternyata jam tanganku sudah menunjukkan pukul 14.00 dan kuliah hari ini pun telah berakhir dengan damai. Sekarang yang ada hanyalah aku dan pacarku, kami hendak berjalan bersama ke tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi bersama sebelumnya hari ini.
Dan sekarang akan kalian dapati aku
yang berjalan bersama pacarku di jalanan kampus. Sepanjang perjalanan ini
sepertinya aku tak dapat berhenti memandangi pacarku yang cantik itu. Rambut
panjangnya yang terurai seperti memberi aura tersendiri baginya. Oh, dia
berkata bahwa dia telah meluruskan seluruh rambutnya kemarin demi hari ini.
“Weekend ini sepertinya akan sangat
berbeda. Jadi, aku akan merubah seditik penampilanku” katanya padaku kemarin
sebelum kami berpisah di persimpangan jalan.
Sejatinya, aku tak terlalu suka
perubahan karena itu mungkin akan merubah takdirmu. Ya mungkin, tetapi kita tak
tahu apa yang akan terjadi selanjutnya bukan? Seperti saat ini, tiba-tiba aku
terpeleset karena menginjak sesuatu yang sangat licin.
Aku tak tahu apa yang aku pikirkan
saat itu, tetapi aku secara tiba-tiba melihat pasangan lain di depanku. Mereka
saling melepaskan tangan. Oh aku ingat.
*Detik 1
“Kita putus.” Kata perempuan itu 5
detik yang lalu
Pria yang ada di hadapannya hanya
terdiam seperti paku yang baru membeku.
“Tapi” kata pria itu dan itu adalah
kata terakhirnya sebelum aku menyadari mereka saling melepaskan genggamannya.
Thursday, March 3, 2016
Mi Querido
oleh: Pringadi Abdi
- "Jika cinta tak dapat dimiliki, mungkin memang seharusnya kita membuangnya jauh-jauh. Membuangnya ke tempat yang terdalam" -
Malabar. Aku padamu bagai embun di pucuk daun teh yang lenyap dimakan cahaya. Berapa menit waktu telah melenyapkan aku dari kedua matamu ketika duduk di kafe itu, kau memesan Coupe la Braga, aku tak memesan apa pun kecuali segala rasa cemburumu yang diam-diam kupadatkan di dalam pikiran. Padahal kau (begitu pun aku) telah sama-sama jatuh cinta pada Braga yang menguapkan segala kekakuan kota. Kekakuanmu. Kekakuanku. Kekakuan segala tetek bengek rumus matematika dan fisika di kelas-kelas jam tujuh pagi. De Gauss gila. Descartes yang sia-sia. Cinta. Ah, aku padamu bagai dahan pohon cemara, ditepuk angin, dan benarlah Chairil itu, hidup hanya menunda kekalahan.
“Katakanlah...”
“Apa?”
“Yang seharusnya ingin kau katakan.”
Padahal aku tidak ingin mengatakan apapun. Aku tidak ingin membiarkan segala huruf berloncatan dan meledekku dari kejauhan, kemudian udara dingin menggigilkanku lewat sela sweater yang kukenakan (meski berlapis), menatap matamu dan api menyala-nyala di dalamnya seolah Patuha siap menyemburkan lahar yang mati, tetapi yang kurindukan tetaplah hangatnya pelukanmu.
“Jangan sentuh aku lagi...aku tidak mau tanganmu yang memiliki bekas perempuan lain.” Tambahmu marah. Tetapi wajahmu tenang-tenang saja sambil menyuap lembutnya es krim yang pertama kali kukenalkan kepadamu, ketika hujan rintik-rintik dan kita terbiar di atas kedua belah kaki, tak berpayung, dan berlari-lari kecil seolah dikejar kecemasan. “Aku takut gerimis...” begitu kau bilang kepadaku kala itu. Aku pun hanya bisa menangkupkan jaketku ke atas kepalamu dan kau tersenyum manis dengan lesung pipitmu itu.
“Aku masih mencintaimu, Lin....”
“Dan kau mencintainya juga?”
- "Jika cinta tak dapat dimiliki, mungkin memang seharusnya kita membuangnya jauh-jauh. Membuangnya ke tempat yang terdalam" -
Malabar. Aku padamu bagai embun di pucuk daun teh yang lenyap dimakan cahaya. Berapa menit waktu telah melenyapkan aku dari kedua matamu ketika duduk di kafe itu, kau memesan Coupe la Braga, aku tak memesan apa pun kecuali segala rasa cemburumu yang diam-diam kupadatkan di dalam pikiran. Padahal kau (begitu pun aku) telah sama-sama jatuh cinta pada Braga yang menguapkan segala kekakuan kota. Kekakuanmu. Kekakuanku. Kekakuan segala tetek bengek rumus matematika dan fisika di kelas-kelas jam tujuh pagi. De Gauss gila. Descartes yang sia-sia. Cinta. Ah, aku padamu bagai dahan pohon cemara, ditepuk angin, dan benarlah Chairil itu, hidup hanya menunda kekalahan.
“Katakanlah...”
“Apa?”
“Yang seharusnya ingin kau katakan.”
Padahal aku tidak ingin mengatakan apapun. Aku tidak ingin membiarkan segala huruf berloncatan dan meledekku dari kejauhan, kemudian udara dingin menggigilkanku lewat sela sweater yang kukenakan (meski berlapis), menatap matamu dan api menyala-nyala di dalamnya seolah Patuha siap menyemburkan lahar yang mati, tetapi yang kurindukan tetaplah hangatnya pelukanmu.
“Jangan sentuh aku lagi...aku tidak mau tanganmu yang memiliki bekas perempuan lain.” Tambahmu marah. Tetapi wajahmu tenang-tenang saja sambil menyuap lembutnya es krim yang pertama kali kukenalkan kepadamu, ketika hujan rintik-rintik dan kita terbiar di atas kedua belah kaki, tak berpayung, dan berlari-lari kecil seolah dikejar kecemasan. “Aku takut gerimis...” begitu kau bilang kepadaku kala itu. Aku pun hanya bisa menangkupkan jaketku ke atas kepalamu dan kau tersenyum manis dengan lesung pipitmu itu.
“Aku masih mencintaimu, Lin....”
“Dan kau mencintainya juga?”
Subscribe to:
Posts (Atom)