oleh: Diro Aritonang
rakyat megap-megap
dpr menguap-nguap
rakyat mangap-mangap
pejabat melahap-lahap
rakyat mulas-mulas
menteri malas-malas
rakyat melas-melas
gubernur menguras-nguras
rakyat ngemis-ngemis
presiden terus turis !
2000
*dari Antologi "Laut Merah: Antologi Tiga Penyair"
Friday, January 11, 2013
Thursday, January 10, 2013
Di Malioboro
oleh: Acep Zamzam Noor
Di antara kereta yang beranjak ke timur
Serta jerit peluit yang masih tersisa di telinga
Udara seperti bergetar meski hujan telah lama reda
Kita berjalan ke luar meninggalkan deretan bangku itu
Dan segera nampak aspal yang mengkilat, trotoar yang bersih
Juga bentangan rel yang ujungnya menghilang ditelan gelap
Kau sedikit sempoyongan menghirup candu kata-kataku
Sedang wajahku membiru oleh kalimat-kalimat tanggung
Dari cerita pendek yang tak kunjung kauselesaikan
Di sebuah warung segalanya menjadi lebih terbuka
Seperti majalah lama. Aku mengingat kembali namamu
Mencatat alamatmu, menghitung tahi lalatmu dan membaca
Isyaratmu. Gambar kupu-kupu hijau di atas payudaramu
Membuatku paham bahwa kau memang keturunan peri
Bahwa parasmu cantik sekali. Mungkin pelipismu tak serata
Jembatan yang menyatukan patahan garis di lengkung alis mata
Namun rambutmu yang segimbal musim hujan, serimbun ucapan
Telah membuat napasku menjadi begitu tidak keruan
Kau menciumku seperti gempa bumi yang pelan dan sopan
Lalu aku membalas ciumanmu layaknya tanah kerontang
Yang diberkati hujan. Rasa tembaga kucecap dari bibirmu
Seperti asin darah yang bercampur dengan buih-buih ludah
Aku menelan semuanya bagaikan menelan setiap peristiwa
Dalam kehidupan. Tapi di sebuah warung yang terbuka
Di majalah lama yang mulai sobek halaman-halamannya
Ceritamu menjadi terlampau pendek untuk sebuah kisah cinta
Yang panjang. Untuk sebuah kota yang selalu digenangi kesedihan
***
Di antara kereta yang beranjak ke timur
Serta jerit peluit yang masih tersisa di telinga
Udara seperti bergetar meski hujan telah lama reda
Kita berjalan ke luar meninggalkan deretan bangku itu
Dan segera nampak aspal yang mengkilat, trotoar yang bersih
Juga bentangan rel yang ujungnya menghilang ditelan gelap
Kau sedikit sempoyongan menghirup candu kata-kataku
Sedang wajahku membiru oleh kalimat-kalimat tanggung
Dari cerita pendek yang tak kunjung kauselesaikan
Di sebuah warung segalanya menjadi lebih terbuka
Seperti majalah lama. Aku mengingat kembali namamu
Mencatat alamatmu, menghitung tahi lalatmu dan membaca
Isyaratmu. Gambar kupu-kupu hijau di atas payudaramu
Membuatku paham bahwa kau memang keturunan peri
Bahwa parasmu cantik sekali. Mungkin pelipismu tak serata
Jembatan yang menyatukan patahan garis di lengkung alis mata
Namun rambutmu yang segimbal musim hujan, serimbun ucapan
Telah membuat napasku menjadi begitu tidak keruan
Kau menciumku seperti gempa bumi yang pelan dan sopan
Lalu aku membalas ciumanmu layaknya tanah kerontang
Yang diberkati hujan. Rasa tembaga kucecap dari bibirmu
Seperti asin darah yang bercampur dengan buih-buih ludah
Aku menelan semuanya bagaikan menelan setiap peristiwa
Dalam kehidupan. Tapi di sebuah warung yang terbuka
Di majalah lama yang mulai sobek halaman-halamannya
Ceritamu menjadi terlampau pendek untuk sebuah kisah cinta
Yang panjang. Untuk sebuah kota yang selalu digenangi kesedihan
***
Berjaga Padamukah Lampu-lampu Ini, Cintaku
Oleh Goenawan Mohammad
Berjaga padamukah lampu-lampu ini, cintaku
yang memandang tak teduh lagi padamu
Gedung-gedung memutih memanjang
membisu menghilang dari sajakku
Tapi kita masih bisa mencinta, jangan menangis
Tapi kita masih bisa menunggu. Raja-raja akan lewat
dan zaman-zaman akan lewat
Sementara kita tegak menghancur 1000 kiamat
1963
Berjaga padamukah lampu-lampu ini, cintaku
yang memandang tak teduh lagi padamu
Gedung-gedung memutih memanjang
membisu menghilang dari sajakku
Tapi kita masih bisa mencinta, jangan menangis
Tapi kita masih bisa menunggu. Raja-raja akan lewat
dan zaman-zaman akan lewat
Sementara kita tegak menghancur 1000 kiamat
1963
Tuesday, January 8, 2013
Kepada Dia
oleh: Raditya Dika
Jika saja
kamu sesimpel 1 + 1 = 2
maka aku tidak perlu susah-susah
mencari kalkulator
atau menemukan formula
untuk membuat kamu
lebih mudah untuk dimengerti.
- kepada dia (Adelaide, 2006)
*diambil dari blognya
Jika saja
kamu sesimpel 1 + 1 = 2
maka aku tidak perlu susah-susah
mencari kalkulator
atau menemukan formula
untuk membuat kamu
lebih mudah untuk dimengerti.
- kepada dia (Adelaide, 2006)
*diambil dari blognya
Monday, January 7, 2013
Percakapan Ayah dan Anaknya
oleh: Epri Tsaqib
+ ayah, apa yang sebenarnya paling hidup?
-: gerimis sajak di mata ibu
2011
*dari kumpulan puisi "Mata Ruang"
+ ayah, apa yang sebenarnya paling hidup?
-: gerimis sajak di mata ibu
2011
*dari kumpulan puisi "Mata Ruang"
Ketika Jam yang Berdetak Menunggui Malam Hingga Usai
oleh: Herlangga Juniarko
jam itu berdetak dan berdetak
tak ada kata bermakna yang sempat tertulis di selembar daun malam
jam masih berdetak lebih lambat
seakan menunggu tetestetes purnama setelah raungan serigala
jam terus berdetak semakin cepat
juga angin malam yang berhembus lebih cepat dari cahaya bohlam di pos ronda
jam
terhenti sekejap
baterainya telah sampai masanya untuk dijemur kembali besok siang
dan saat itulah segala kembali tanpa makna
2013
jam itu berdetak dan berdetak
tak ada kata bermakna yang sempat tertulis di selembar daun malam
jam masih berdetak lebih lambat
seakan menunggu tetestetes purnama setelah raungan serigala
jam terus berdetak semakin cepat
juga angin malam yang berhembus lebih cepat dari cahaya bohlam di pos ronda
jam
terhenti sekejap
baterainya telah sampai masanya untuk dijemur kembali besok siang
dan saat itulah segala kembali tanpa makna
2013
Sunday, January 6, 2013
Segelas Kopi dan Selembar Prosa yang Ingin Jadi Puisi buat Noval di Malam Pitulasan
oleh: Ragil Supriyatno Samid
di warung kopi. di taman remang. malam malam dijerang sampai didih. Lalu diseduhkan ke bubuk manis dan senang. oleh si Ning yang suka berbagi kemarahan. marahnya yang mengepul di dalam gelas. merangsang kita untuk ikut marah terhadap isme-isme baru yang terus mengambangkan nilai-nilai hidup di negeri penuh warna ini. Sesekali, kita menunduk dan bercermin ke legam buih dan ampas kopi
yang menggenang di permukaan gelas masing masing.
Fara yang semakin malam semakin lelaki, katamu, semakin kalut dengan makna dari puisi dan hidup berpuisi; Deni terus ditindih lelah oleh pertanyaan pertanyaan akan keberartian hidup sebagai kuli atau sebagai penyair; dan Yazid, menjadi potret paling konkrit dari penyair on-line yang tak tangkas dengan realitas terdekatnya, di luar layar LCD dan keypad.
sedang aku, seperti bulir bulir kecil kopi yang mengambang di tengah gelas ini, yang tak kunjung tenggelam apa lagi naik kembali. yang diam diam asyik mencari makna pada kibar legging oranye dan lentik bulu mata dari seorang gadis penjual keliling di pojokan sana. aku tahu, kalian tak sempat meliriknya, juga padaku, sebab sedang asyik meminum pikiran masing masing: D
Noval, segelas kopi terakhir ini, buatmu saja. gelasnya tentu tak lagi bening sebab menyimpan ratusan jejak bibir dari segala orang yang mengharapkan seteguk kehangatan padanya. pahit rasanya, seperti kepahitan hidup di antara wajah wajah
aspartame dan saccharin dari pemimpin pemimpin negeri ini. semoga dapat kautemukan penari sunyi itu di situ
: endonesa.
2010
di warung kopi. di taman remang. malam malam dijerang sampai didih. Lalu diseduhkan ke bubuk manis dan senang. oleh si Ning yang suka berbagi kemarahan. marahnya yang mengepul di dalam gelas. merangsang kita untuk ikut marah terhadap isme-isme baru yang terus mengambangkan nilai-nilai hidup di negeri penuh warna ini. Sesekali, kita menunduk dan bercermin ke legam buih dan ampas kopi
yang menggenang di permukaan gelas masing masing.
Fara yang semakin malam semakin lelaki, katamu, semakin kalut dengan makna dari puisi dan hidup berpuisi; Deni terus ditindih lelah oleh pertanyaan pertanyaan akan keberartian hidup sebagai kuli atau sebagai penyair; dan Yazid, menjadi potret paling konkrit dari penyair on-line yang tak tangkas dengan realitas terdekatnya, di luar layar LCD dan keypad.
sedang aku, seperti bulir bulir kecil kopi yang mengambang di tengah gelas ini, yang tak kunjung tenggelam apa lagi naik kembali. yang diam diam asyik mencari makna pada kibar legging oranye dan lentik bulu mata dari seorang gadis penjual keliling di pojokan sana. aku tahu, kalian tak sempat meliriknya, juga padaku, sebab sedang asyik meminum pikiran masing masing: D
Noval, segelas kopi terakhir ini, buatmu saja. gelasnya tentu tak lagi bening sebab menyimpan ratusan jejak bibir dari segala orang yang mengharapkan seteguk kehangatan padanya. pahit rasanya, seperti kepahitan hidup di antara wajah wajah
aspartame dan saccharin dari pemimpin pemimpin negeri ini. semoga dapat kautemukan penari sunyi itu di situ
: endonesa.
2010
Malin Kundang
oleh: Nezar Patria
Bahkan saat dikutuk menjadi kepompong batu, engkau kalahkan suntuk panjang itu dengan menggambar kembali dirimu. Titik demi titik, lalu garis, dan sebuah bentuk. ”Ini bukan metamorfosis yang sulit,” katamu. Mereka tak tahu. Sebelum menjadi batu, jiwamu adalah kupu-kupu.
2012
Bahkan saat dikutuk menjadi kepompong batu, engkau kalahkan suntuk panjang itu dengan menggambar kembali dirimu. Titik demi titik, lalu garis, dan sebuah bentuk. ”Ini bukan metamorfosis yang sulit,” katamu. Mereka tak tahu. Sebelum menjadi batu, jiwamu adalah kupu-kupu.
2012
Saturday, January 5, 2013
Antara Seribu Gunung Menjulang Seribu Rindu
oleh: Upita Agustine
Antara seribu gunung menjulang seribu rindu
Menghidupkan cinta di lima benua
Beribu bunga kuncup, mekar dan gugur
Dan pohon-pohon tak berdaun di sana
Di sini hutan-hutan menjulang
Menghadang cakrawala yang kian sayup
Dan di sini aku pada pagi hari ini terbenam
Dilulur rindu yang tertahan
Dalam hari-hari yang lengang
Dari cintaku yang dihangatkan rindu
Antara seribu gunung
Menjulang.
Buo, Juli 1973
Antara seribu gunung menjulang seribu rindu
Menghidupkan cinta di lima benua
Beribu bunga kuncup, mekar dan gugur
Dan pohon-pohon tak berdaun di sana
Di sini hutan-hutan menjulang
Menghadang cakrawala yang kian sayup
Dan di sini aku pada pagi hari ini terbenam
Dilulur rindu yang tertahan
Dalam hari-hari yang lengang
Dari cintaku yang dihangatkan rindu
Antara seribu gunung
Menjulang.
Buo, Juli 1973
Friday, January 4, 2013
Terompet
oleh: Seno Gumira Ajidarma
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Supaya orang-orang yang terbunuh
bangkit lagi dari kematian?
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Supaya mayat-mayat yang dikubur tanpa nisan
menguak tanah yang menguruknya dan
merangkak pelan menuju gubernuran?
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Supaya mereka yang tertembak bisa berjalan
ke gereja dengan tubuh berlubang dan
berdoa dengan darah di mulutnya sehingga
tak ada suara yang terdengar
selain bunyi kebencian?
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Mainkan jazz saja Wynton,
kita tidak bicara politik waktu sarapan.
29 Desember 1991
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Supaya orang-orang yang terbunuh
bangkit lagi dari kematian?
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Supaya mayat-mayat yang dikubur tanpa nisan
menguak tanah yang menguruknya dan
merangkak pelan menuju gubernuran?
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Supaya mereka yang tertembak bisa berjalan
ke gereja dengan tubuh berlubang dan
berdoa dengan darah di mulutnya sehingga
tak ada suara yang terdengar
selain bunyi kebencian?
”Seharusnya kutiup kau malam itu.”
Mainkan jazz saja Wynton,
kita tidak bicara politik waktu sarapan.
29 Desember 1991
Serayu, Sepanjang Angin Akan Berhembus
oleh: Sungging Raga
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?
Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai.
”Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.” Ucap seorang wanita pada kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto.
Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk senja semenjak ia lahir, meski tentu senja pernah melihat lelaki itu, entah di mana.
”Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu.
”Sabarlah, tunggu sampai senja selesai. Dan kau boleh tak mencintaiku lagi setelah ini.”
Serayu, seindah apakah senja yang kau bilang mengendap perlahan-lahan di permukaan sungai sehingga tampak air yang hijau itu berangsur-angsur tercampuri warna merah kekuningan dan memantulkan cahaya matahari bundar lalu koyak karena aliran yang menabrak batuan besar dasar sungai? O Serayu, sesedih apakah perasaan seorang wanita yang melihat senja itu dari balik jendela kereta ketika melintas di jembatan panjang sebelum stasiun Kebasen?
Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang wanita kesepian, senja yang menunggunya dalam waktu yang serba sebentar, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya gemuruh kereta ketika melintasi jembatan itu bisa terdengar hingga ke batas langit, atau ke dasar sungai.
”Aku melihat senja, lalu memikirkanmu.” Ucap seorang wanita pada kekasihnya. Di sore yang cerah, di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah, menikmati embusan angin dan melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok ke arah kota Purwokerto.
Di Serayu, panggung seperti disiapkan. Lelaki itu masih menunggu senja yang dimaksud si wanita. Seakan ia tak pernah melihat bagaimana bentuk senja semenjak ia lahir, meski tentu senja pernah melihat lelaki itu, entah di mana.
”Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali melihat senja?” tanya wanita itu.
Thursday, January 3, 2013
Kereta
oleh: Sitok Srengenge
1
Sendiri di Stasiun Tugu,
entah siapa yang ia tunggu
Orang-orang datang dan lalu,
ia cuma termangu
Sepasang orang muda berpelukan
(sebelum pisah) seolah memeluk harapan
Ia mendesis,
serasa mengecap dusta yang manis
Kapankah benih kenangan pertama kali tumbuh,
kenapa ingatan begitu rapuh?
Cinta mungkin sempurna,
tapi asmara sering merana
Ia tatap rel menjauh dan lenyap di dalam gelap
: di mana ujung perjalanan, kapan akhir penantian?
Lengking peluit, roda + roda besi berderit,
tepat ketika jauh di hulu hatinya terasa sisa sakit
2
Andai akulah gerbong kosong itu,
akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku
Di antara orang berlalang-lalu,
ada masinis dan para portir
Di antara kenanganku denganmu,
ada yang berpangkal manis berujung getir
Cahaya biru berkelebat dalam gelap,
kunang-kunang di gerumbul malam
Serupa harapanku padamu yang lindap,
tinggal kenang timbul-tenggelam
Dua garis rel itu, seperti kau dan aku,
hanya bersama tapi tak bertemu
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan,
terlalu berat menahan beban
Di persimpangan kau akan bertemu garis lain,
begitu pula aku
Kau akan jadi kemarin,
kukenang sebagai pengantar esokku
Mungkin kita hanya penumpang,
duduk berdampingan tapi tak berbincang,
dalam gerbong yang beringsut
ke perhentian berikut
Mungkin kau akan tertidur dan bermimpi tentang bukan aku,
sedang aku terus melantur mencari mata air rindu
Tidak, aku tahu, tak ada kereta menjelang mata air
Mungkin kau petualang yang (semoga tak) menganggapku tempat parkir
Kita berjalan dalam kereta berjalan
Kereta melaju dalam waktu melaju
Kau-aku tak saling tuju
Kau-aku selisipan dalam rindu
Jadilah masinis bagi kereta waktumu,
menembus padang lembah gulita
Tak perlu tangis jika kita sua suatu waktu,
sebab segalanya sudah beda
Aku tak tahu kapan keretaku akan letih,
tapi aku tahu dalam buku harianku kau tak lebih dari sebaris kalimat sedih
*dari Kompas
1
Sendiri di Stasiun Tugu,
entah siapa yang ia tunggu
Orang-orang datang dan lalu,
ia cuma termangu
Sepasang orang muda berpelukan
(sebelum pisah) seolah memeluk harapan
Ia mendesis,
serasa mengecap dusta yang manis
Kapankah benih kenangan pertama kali tumbuh,
kenapa ingatan begitu rapuh?
Cinta mungkin sempurna,
tapi asmara sering merana
Ia tatap rel menjauh dan lenyap di dalam gelap
: di mana ujung perjalanan, kapan akhir penantian?
Lengking peluit, roda + roda besi berderit,
tepat ketika jauh di hulu hatinya terasa sisa sakit
2
Andai akulah gerbong kosong itu,
akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku
Di antara orang berlalang-lalu,
ada masinis dan para portir
Di antara kenanganku denganmu,
ada yang berpangkal manis berujung getir
Cahaya biru berkelebat dalam gelap,
kunang-kunang di gerumbul malam
Serupa harapanku padamu yang lindap,
tinggal kenang timbul-tenggelam
Dua garis rel itu, seperti kau dan aku,
hanya bersama tapi tak bertemu
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan,
terlalu berat menahan beban
Di persimpangan kau akan bertemu garis lain,
begitu pula aku
Kau akan jadi kemarin,
kukenang sebagai pengantar esokku
Mungkin kita hanya penumpang,
duduk berdampingan tapi tak berbincang,
dalam gerbong yang beringsut
ke perhentian berikut
Mungkin kau akan tertidur dan bermimpi tentang bukan aku,
sedang aku terus melantur mencari mata air rindu
Tidak, aku tahu, tak ada kereta menjelang mata air
Mungkin kau petualang yang (semoga tak) menganggapku tempat parkir
Kita berjalan dalam kereta berjalan
Kereta melaju dalam waktu melaju
Kau-aku tak saling tuju
Kau-aku selisipan dalam rindu
Jadilah masinis bagi kereta waktumu,
menembus padang lembah gulita
Tak perlu tangis jika kita sua suatu waktu,
sebab segalanya sudah beda
Aku tak tahu kapan keretaku akan letih,
tapi aku tahu dalam buku harianku kau tak lebih dari sebaris kalimat sedih
*dari Kompas
Subscribe to:
Posts (Atom)