ini tidak mungkin dipercaya, jarak sepuluh kilometer antara
lombok dan sumbawa dapat memicu kematian
seseorang dapat ditikam, didorong ke laut lalu tenggelam
orang-orang tidak akan tahu, mereka lebih suka memikirkan
harga daging sapi, seikat kangkung, kelangkaan ikan
pada bulan purnama, juga ombak dan cuaca barat siwa
daripada negara, ketua KPK, penumpang yang terlantar di bandara
apalagi hanya mayat, yang tak memiliki hubungan kerabat
di situlah, kadang-kadang aku merasa sedih
teringat pesan singkatmu semalam, kita tak memiliki masa silam
padahal udara pernah sangat kejam. aku ingin berteriak
tapi dadaku dibuatnya sesak, hidupku dibuatnya terisak
terserah, bila kapal ini bernasib seperti munawar, lalu aku terdampar
melihat bekas pulau kenawa yang terbakar, dan baru
ditumbuhi belukar, aku pasrah, tetapi bukan aku yang mati
karena belum kusampaikan kata-kata yang sudah lama
menjadi bantal dalam tidurku, sambil membayangkan adegan di pasar
ketika aku tertipu, ingin membeli cumi tapi diberi gurita
itu membuatku tak terima, kau membuatku mengira
kau telah jatuh cinta padaku selama-lamanya
kepalsuan itulah yang membuatku ragu pada wanita mana saja
juga jarak mana saja, karena jarak sepuluh kilometer ini
harus kutempuh dua jam lebih lamanya, sementara
sepuluh kilometer yang lain hanya membutuhkan waktu sepuluh menit!
5 Maret 2018
*puisi ini diambil dari Kompasiana Pringadi Abdi Surya