herlangga juniarko

Powered By Blogger

Monday, October 7, 2024

Alusi

Selepas mengajukan naskah ke sebuah penerbitan, dan mendapat kembali penolakan, seperti di beberapa penerbit lainnya, kau lekas berjalan menuju sebuah kafe di tepi kota, guna memenuhi sebuah janji.

Tadi pagi, tepatnya selepas matahari terbit, saat kau hendak tidur selepas merampungkan sebuah naskah drama-pertunjukan-pesanan dari sebuah grup teater kecil di kotamu, telepon genggammu berbunyi; dan kau pun mengangkat telepon itu. Seorang perempuan bertanya apakah nanti malam kau luang, dan kau pun menjawab luang; perempuan itu berkata hendak mengatakan hal yang penting padamu, sehingga mesti bertemu langsung, dan kau pun mengiyakannya tanpa bertanya soal apa, sebab kau merasa itu akan melukainya.

Selepas menyampaikan hal demikian, perempuan itu tak lupa berpesan agar kau lekas tidur, sebab dia amat hapal bahwa kau selalu suka begadang mengerjakan tulisan, dan berharap kau mengurangi kebiasaan buruk yang merusak tubuhmu; dan dengan lembut kau pun mengiyakannya.

Sesampainya di tempat tersebut, kau memilih tempat duduk di dekat jendela dan meletakkan tas cangklongmu yang berisi beberapa buku bacaan, naskah buku puisi yang ditolak, sebuah naskah drama pesanan penuh coretan, dan beberapa kertas serta sebuah bolpoin hitam, dan juga sebuah payung lipat di bawah meja.

Di atas meja, yang tak terlalu besar, yang tampaknya berusia tua, ada pesananmu: segelas kopi hitam. Dan pesananmu itu belum kau minum; sebab kau lebih memilih memandang keluar dan membiarkan pikiranmu melayang-layang.

Sambil menanti perempuan itu datang, pikiranmu terbawa pada lentera hijau dalam novel Great Getsby; dan kau pun membayangkan hal itu ada di jauh sana, dan kau memandangnya dari tepi sebuah pantai, dan membayangkan di lautan itu ada kapal yang tak pernah berhasil mencapai pantai bahkan pantai keempat Chairil.

Penyair

“BULAN depan aku diundang mengikuti acara temu penyair lagi,” ujar suamiku sambil merebahkan tubuhnya di sampingku.

Malam sudah larut. Aku sudah mengantuk dan bahkan sudah memejamkan mata. Tapi, gara-gara ucapannya itu, rasa kantukku seketika lenyap.

Aku merasa ingin sekali mengajaknya bicara serius tentang kepenyairannya yang sudah kuanggap gila atau tidak waras lagi. Bagaimana bisa disebut penyair waras, kalau suamiku sudah seperti ketagihan menghadiri undangan temu penyair yang belakangan nyaris rutin tiap bulan?

Padahal, akulah yang harus membiayai kepergiannya karena ia tidak punya penghasilan. Pernah suamiku mencoba mengajukan proposal bantuan dana kepada pemerintah daerah, tapi birokrasi terlalu berbelit-belit: proposal harus dilampiri surat keterangan dari RT, RW, desa dan kecamatan, yang membuatnya pusing dan malas mengurusnya lagi.

Sebagai istri, aku pun malu punya suami yang dianggap suka meminta-minta bantuan kepada pejabat yang tidak mengenal dunia kepenyairan. Malah, ceritanya, dia juga pernah diragukan kepenyairannya oleh petugas sekuriti di pendapa kabupaten ketika mau mengajukan proposal kepada bupati.

“Jangan ngaku penyair. Saya sejak kecil suka puisi, tapi belum pernah baca puisimu. Kalau bohong ke Pak Bupati, kamu bisa dipenjara! Silakan bawa pulang proposal ini!”