oleh: Tri Cahyana Nugraha
Gerimis di luar sana, dan aku disini, menatap layar cahaya yang setia menemaniku. Menulis secarik resah yang sangat mengganggu.
Pada akhirnya aku tak sanggup menjadi putih, bahkan aku tak sanggup menjadi kelabu. Bagaimanapun aku tetaplah hitam, yang mencoba melukis cinta dengan satu warna itu.
Di tepi jalan, di tengah malam, di bawah remang lampu jalan aku selalu pergi. pergi mengais sisa-sisa memori senyummu untuk ku rangkai menjadi kebahagianku. Aku memang pemimpi, yang dengan bodohnya memaksa tak mengerti dengan keadaan. Bahkan ketika kau, atau mereka sebelumnya meludahiku dengan segala kebencian, aku selalu memaksa memimpikan senyum di sampingku
Oh, terkadang aku lelah. Mencoba membuka mata dan melihat kenyataanya. Namun pada akhirnya aku tertidur kembali, jauh tertidur, meskipun terluka, meskipun aku tak bisa bangun kembali. Aku lebih nyaman tertidur.
Pada kilatan lampu jalan di jendela kaca bis itu, aku bergantung melihat wajahmu yang terlelap. Wajah wanita yang membuatku tak takut mati. Wajah wanita yang tak bisa aku miliki.
Ya, sudah kubilang aku pemimpi bodoh. Dengan lembar-lembar mimpi yang tak pernah terselesaikan. Dan aku tak bisa mengerti apapun. Bahkan mimpiku sendiri.
Dan ketika kau membaca ini, kau pun mungkin bingung. Tapi tak usah kau pikirkan. Jika memang tidak ada, biarkan aku seperti hujan yang sesekali menggangu. Cukup abaikan dengan sebatang payung.
Tapi jika ada, biarkan aku tahu lebih jauh. Agar aku tak selalu tertidur bersama memoar-memoar yang tak
pernah pasti.
November, 2013
Wednesday, March 19, 2014
Tuesday, March 4, 2014
Batas Kegilaan
oleh: Adam Rahmat Fauzan
maklumilah sayang,
mata itu terlalu lelah untuk sekedar menghirup kepulan kopi malam ini
bahkan bir yang dilegalkan orang gila itu telah lama tak diteguknya
lihatlah sayang,
serakan kartu yang bertumpuk uang receh tak sungguh menggelitik hatinya
maka sajadah pun sejak lama tak ia jadikan penyangga jasadnya
Maka apalah daya
diri kini berjalan pincang
malu menatap Tuhan
dan cahaya mulai hilang
merintih ketakutan hingga ia menghilang
4 Januari 2014
maklumilah sayang,
mata itu terlalu lelah untuk sekedar menghirup kepulan kopi malam ini
bahkan bir yang dilegalkan orang gila itu telah lama tak diteguknya
lihatlah sayang,
serakan kartu yang bertumpuk uang receh tak sungguh menggelitik hatinya
maka sajadah pun sejak lama tak ia jadikan penyangga jasadnya
Maka apalah daya
diri kini berjalan pincang
malu menatap Tuhan
dan cahaya mulai hilang
merintih ketakutan hingga ia menghilang
4 Januari 2014
Subscribe to:
Posts (Atom)