Monday, September 26, 2016
Di Bawah Jalan Layang Pasupati
Menyantap cuanki di bawah jalan layang
Kemudian wajahmu menggenang di kuah mie
Di sampingnya pedagang pisang coklat
Aku tak pernah membelinya
Karena bagiku kamu lebih manis daripada seluruh gula di dunia
Kecuali gula buatan tentu saja
Ah, es kelapa di seberang jalan menyegarkan
Mungkin es kelapanya lebih nikmat dari buatanmu
Karena di dalamnya tak ada potongan rindu atau serutan cemburu
Tapi entah darimana, aku seperti menyeruput sendu
Mungkin kenangan masih tertinggal di lidah
Mobilmobil di atas kepala. Di jalan layang
Aku harap ada yang mau membawakan isakmu padaku
2016
Herlangga Juniarko
Saturday, September 24, 2016
Dermaga
oleh: Nurul Lutfia
dermaga itu menyetiai pertemuan demi pertemuan
*catatan: saya masih ingat ketika membaca puisi ini di Pendopo Indramayu dulu. Sangat menyenangkan :)
awal kenang yang merekam tiap jejak perjalanan
pangkal dari pertemuan adalah perpisahan
selalu begitu. kau pemotret ulung
tiap pertemuan-perpisahan
suatu waktu, kau, aku akan sama-sama pergi
meninggalkan kota yang merangkum pertemuan kita
rindu adalah dermaga harap yang kaulabuhkan tanpa isyarat
hanya larik doa yang menggantung di pantai cerita.
Bandung, 5 April 2014
*catatan: saya masih ingat ketika membaca puisi ini di Pendopo Indramayu dulu. Sangat menyenangkan :)
Thursday, September 22, 2016
Altair
oleh: Karle Wilson Baker
Three of them walk together
Joyous and fair and high,
Through the still, heavenly weather
Up in the summer sky ...
Under their feet are the fountains
The night-bird's heart outpours
Flooding the mimic mountains
Of the shadowy sycamores.
Over the sky forever
She leadeth her comrades sweet;
No dream of our mortal fever
Troubleth her straying feet.
She lifteth the years from my shoulders,
She looseth the weight from my wings;
Long hidden from all beholders
An old, sealed fountain sings....
Three of them walk together--
She is the fairest of three;
And sweet as the heavenly weather
She maketh the heart of me!
1919
*diambil dari Blue Smoke karya Karle Wilson Baker
Three of them walk together
Joyous and fair and high,
Through the still, heavenly weather
Up in the summer sky ...
Under their feet are the fountains
The night-bird's heart outpours
Flooding the mimic mountains
Of the shadowy sycamores.
Over the sky forever
She leadeth her comrades sweet;
No dream of our mortal fever
Troubleth her straying feet.
She lifteth the years from my shoulders,
She looseth the weight from my wings;
Long hidden from all beholders
An old, sealed fountain sings....
Three of them walk together--
She is the fairest of three;
And sweet as the heavenly weather
She maketh the heart of me!
1919
*diambil dari Blue Smoke karya Karle Wilson Baker
Sunday, September 18, 2016
Kupanggil Namamu
Oleh: WS Rendra
Sambil menyeberangi sepi
kupanggil namamu, wanitaku
Apakah kau tak mendengarku?
Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
kerna memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala.
Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
yang kini sudah kulupa.
Sia-sia
Tak ada yang bisa kujangkau
Sempurnalah kesepianku.
Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
Monday, September 5, 2016
Friday, September 2, 2016
Seorang Perempuan yang Menjadi Kabut: Metafora Kau, Aku, dan Waktu
oleh: Herlangga
Ah cintaku, pagi ini tiba-tiba kau kabut
Aku ingat kau pernah berkata
“Ini semua hanyalah ilusi waktu”
Aku masih tidak percaya
Bagaimana mungkin kau bisa menjadi kabut
Bukankah kemarin kau masih menjadi fana
Lalu kau berkata dalam romansa
“Ilusi waktu akan terus mengikismu sedikit demi sedikit, sayangku”
Aku masih tidak percaya
Bagaimana mungkin kau menjadi setipis kabut
Kabut itu masih setipis kerudung yang sering kau pakai
Aku tahu karena langit masih teduh sepertimu
Lalu aku menyaksikan kau perlahan menjadi cahaya
Ah cintaku, pagi ini tiba-tiba kau kabut
Aku ingat kau pernah berkata
“Ini semua hanyalah ilusi waktu”
Aku masih tidak percaya
Bagaimana mungkin kau bisa menjadi kabut
Bukankah kemarin kau masih menjadi fana
Lalu kau berkata dalam romansa
“Ilusi waktu akan terus mengikismu sedikit demi sedikit, sayangku”
Aku masih tidak percaya
Bagaimana mungkin kau menjadi setipis kabut
Kabut itu masih setipis kerudung yang sering kau pakai
Aku tahu karena langit masih teduh sepertimu
Lalu aku menyaksikan kau perlahan menjadi cahaya
Friday, August 5, 2016
Langit Masih Menjadi Rahasia, Katanya
oleh: Herlangga
: Riski Riyadi
lelaki yang bergitar itu masih melantunkan sendu
matanya sobekan matahari senja
senar gitar adalah kenangan yang ia petiki sedikit demi sedikit
nadanada yang nanar
ada yang ingin keluar dalam ruangan yang remang
ah, kenangan adalah remangremang lampu,
sisa abu rokok di dalam asbak,
juga kopi hitam antara pekat malam
sekali waktu ia bercerita
mengenai cinta (mungkin)
yang ia lupa kapan
aku tahu. Ia juga menyembunyikan langit
di bawah bantal atau ranjangnya
setelah ruangan yang sesak emosi itu gelap
(ah ada air di dalamnya, entah darimana)
31 Juli 2016
: Riski Riyadi
lelaki yang bergitar itu masih melantunkan sendu
matanya sobekan matahari senja
senar gitar adalah kenangan yang ia petiki sedikit demi sedikit
nadanada yang nanar
ada yang ingin keluar dalam ruangan yang remang
ah, kenangan adalah remangremang lampu,
sisa abu rokok di dalam asbak,
juga kopi hitam antara pekat malam
sekali waktu ia bercerita
mengenai cinta (mungkin)
yang ia lupa kapan
aku tahu. Ia juga menyembunyikan langit
di bawah bantal atau ranjangnya
setelah ruangan yang sesak emosi itu gelap
(ah ada air di dalamnya, entah darimana)
31 Juli 2016
Saturday, July 30, 2016
NEET
"Sampah"
ah pada akhirnya, ia mendengar
Jarum jam menusuk dada dan kepala
"Sampah.
ah pada akhirnya, ia mendengar
Jarum jam menusuk dada dan kepala
"Sampah.
Seharusnya buang saja ke tong sampah", katanya
Sambil mengasah tangan pada leher dan nadi
Ia sudah kehabisan ruang dan tali
Bahkan untuk pulang pun tak ada tali
Pikirnya.
2016
Sambil mengasah tangan pada leher dan nadi
Ia sudah kehabisan ruang dan tali
Bahkan untuk pulang pun tak ada tali
Pikirnya.
2016
Herlangga Juniarko
Sunday, July 3, 2016
Perih
oleh: Herlangga
Sepanjang jalan, macet membawa perih
“Tidak,” katamu.
Perih adalah jarak tak kasat mata antara kita
Kemudian bianglala berputar di atas kepala
Sudah seminggu tangan ini berdarah
Tersayat kata saat mengupas puisi
Dan menghasilkan perih
Kau tahu, darahku tak pernah melihatmu
Dalam dekade. Ia masih merindui perih
2016
Sepanjang jalan, macet membawa perih
“Tidak,” katamu.
Perih adalah jarak tak kasat mata antara kita
Kemudian bianglala berputar di atas kepala
Sudah seminggu tangan ini berdarah
Tersayat kata saat mengupas puisi
Dan menghasilkan perih
Kau tahu, darahku tak pernah melihatmu
Dalam dekade. Ia masih merindui perih
2016
Wednesday, May 4, 2016
Sekedar Kunang-kunang
oleh: Herlangga
Celaka!
Aku masih mengingat hari ketika pertamakali orangtuamu tersenyum karenamu
Hari yang kau (sempat aku) keramatkan
Tak Mungkin!
Bayanganmu masih lekat pada imaji
Tak bisakah kau sekedar menjadi kunangkunang dalam belenggu waktu?
Karena sungguh!
Aku tak ingin kunangkunang kembali menjadi kupu
Jadi, tak bisakah kau sekedar menjadi kunangkunang dalam ruang kenangan?
27 April 2016
Celaka!
Aku masih mengingat hari ketika pertamakali orangtuamu tersenyum karenamu
Hari yang kau (sempat aku) keramatkan
Tak Mungkin!
Bayanganmu masih lekat pada imaji
Tak bisakah kau sekedar menjadi kunangkunang dalam belenggu waktu?
Karena sungguh!
Aku tak ingin kunangkunang kembali menjadi kupu
Jadi, tak bisakah kau sekedar menjadi kunangkunang dalam ruang kenangan?
27 April 2016
Saturday, April 16, 2016
Sajak Kartu Bergambar
oleh: Herlangga
Pada ruang yang sepi
kata-kata kita lesap menjadi ribuan kilometer
Di tangan, dua buah kartu bergambar dan bernama
Dante dan Beatrice
Masih cintakah?
Mereka tak kawin
Ya
Memepatkan angkasa menjadi seluas kartu
kemudian menjadi abadi
aku berkata:
"Divine Comedy hanya omong kosong.
Mana mungkin seorang lelaki rela pergi ke neraka
demi seorang wanita yang tak dikawin"
Pada ujung semesta, kau berkata
"Seperti kita?"
2016
Pada ruang yang sepi
kata-kata kita lesap menjadi ribuan kilometer
Di tangan, dua buah kartu bergambar dan bernama
Dante dan Beatrice
Masih cintakah?
Mereka tak kawin
Ya
Memepatkan angkasa menjadi seluas kartu
kemudian menjadi abadi
aku berkata:
"Divine Comedy hanya omong kosong.
Mana mungkin seorang lelaki rela pergi ke neraka
demi seorang wanita yang tak dikawin"
Pada ujung semesta, kau berkata
"Seperti kita?"
2016
Wednesday, April 6, 2016
Perbedaan Implikatur Antara Penutur dan Mitra Tutur dalam Kerelevansian Tuturan
oleh Herlangga
Setiap
manusia pada dasarnya adalah makhuk yang tidak bisa berdiri sendiri dan selalu
membutuhkan bantuan dari yang lain. Dengan demikian manusia pasti akan berusaha
bersosialisasi dengan yang lain dengan cara berkomunikasi melalui sandi-sandi
yang mereka buat sendiri yang biasa disebut bahasa.
Bahasa
yang diciptakan manusia pun terkadang tidak mampu menampung apa yang ingin
disampaikan oleh penuturnya. Keinginan yang tidak tersampaikan itu pun berusaha
disampaikan dengan cara menyiratkannya dalam bahasa yang digunakan. Siratan-siratan
dalam sebuah tuturan tersebut disebut implikatur.
Dalam
berkomunikasi, implikatur ini dapat menyampaikan pesan dari si penutur dengan
memunculkan dan membentuk konteks sehingga percakapan dapat lebih berjalan
dengan baik. Implikatur juga meski disebut sebagai penyimpangan maksim dalam
teori Grice ternyata dapat muncul dalam setiap tuturan bagaimana pun bentuknya
bahkan jika penutur tidak memberikan implikatur dalam tuturannya.
Namun
seperti yang kita tahu, mitra tutura adalah orang yang menerima pesan dari
penutur sehingga seringkali terjadi perbedaan penerimaan implikatur oleh si
mitra tutur dan pemberian implikatur dari si penutur. Kita biasa menyebut hal
ini sebagai sebuah kesalahpahaman dalam percakapan.
Tulisan
ini akan membicarakan kesalahpamahan tersebut dilihat dari sisi kerelevansian
tuturan yang yang terjadi dan bagaimana suatu tuturan dapat kembali menjadi
relavan meskipun terjadi perbedaan implikatur antara yang member dan yang
menerima. Dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari teori relevansi maka
akan terlihat bahwa suatu tuturan memiliki kerelevansiannya masing-masing
sehingga setiap ujaran tersebut bisa menjadi sebuah konteks.
Dalam
tulisan ini pula dibahas bagaimana strategi mitra tutur dalam membentuk ulang
konteks yang diinginkan penutur setelah mengalami perbedaan penangkapan
implikatur dalam tuturannya masing-masing sehingga percakapan menjadi relevan
dengan kesamaan konteks.
Landasan Teori
Tuesday, April 5, 2016
Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa
Akhir-akhir ini saya sedang menyukai sebuah lagu dari Melancholic Bitch (ya Bitch :v) bisa disingkat Melbi berjudul "Sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa" sungguh nama yang panjang untuk sebuah lagu. Lagu ini sempat dinyanyikan oleh Frau bersama vokalis Melbi, yaitu Ugo.
oke langsung saja seperti ini lagunya
Am Dm
Direntang waktu yang berjejal dan memburai kau berikan,
F E
sepasang tanganmu terbuka dan membiru, enggan
Am Dm
Di gigir yang curam dan dunia tertinggal dan membeku
F E
sungguh, peta melesap dan udara yang terbakar jauh.
Reff:
oke langsung saja seperti ini lagunya
Am Dm
Direntang waktu yang berjejal dan memburai kau berikan,
F E
sepasang tanganmu terbuka dan membiru, enggan
Am Dm
Di gigir yang curam dan dunia tertinggal dan membeku
F E
sungguh, peta melesap dan udara yang terbakar jauh.
Reff:
Monday, April 4, 2016
Cerita Picisan dari Jalan Malioboro
oleh: Herlangga
Hari ini aku mempersiapkan diri untuk pernikahan. Ia yang sangat kucintai sudah bersiap dengan pakaian pengantin yang berwarna putih bersih. Tentu saja aku yakin bahwa hatinya pun bersih seperti wajahnya yang selalu bersinar laksana purnama malam kelam atau lentera yang menerangi tidurku. Mengingat wajahnya seperti mengingat kala pertama kali aku berjumpa derngannya.
Hari ini aku mempersiapkan diri untuk pernikahan. Ia yang sangat kucintai sudah bersiap dengan pakaian pengantin yang berwarna putih bersih. Tentu saja aku yakin bahwa hatinya pun bersih seperti wajahnya yang selalu bersinar laksana purnama malam kelam atau lentera yang menerangi tidurku. Mengingat wajahnya seperti mengingat kala pertama kali aku berjumpa derngannya.
***
Seorang laki-laki berjalan dan
akhirnya menjatuhkan buku seorang perempuan di jalanan penuh sesak Malioboro.
Seperti dalam cerita-cerita singkat di layar kaca, mereka akan jatuh cinta.
Maka laki-laki itu pun membantu membereskan buku sang perempuan. Mereka akan
saling tersenyum dan beberapa hari kemudian mereka akan menjadi sepasang
kekasih picisan.
Aku dari sudut jalan hanya
memandangi mereka sambil berpikir bahwa mereka akan menjadi pasangan yang
sangat serasi seperti dalam cerita-cerita dalam layar kaca. Meskipun dalam
layar kaca tersebut cerita selalu berakhir setelah mereka menjadi sepasang kekasih
dan entah apa yang terjadi selanjutnya, apakah mereka akan berpisah atau
melanjutkan hubungannya. Semua menjadi gelap setelah itu.
Aku sedikit termenung dan berpikir
sekejap kemudian. Aku membuat sebuah puisi singkat saat itu. Saat perempuan
tadi melewatiku. Aku menggenggam tangannya dan sedetik kemudian kuberikan
puisiku tadi.
Reaksinya adalah tentu saja ia
melepaskan tangannya dari genggamanku secepat mungkin lalu mengempaskan puisiku
begitu saja kemudian berjalan dengan sangat cepat menjauhiku. Saat itu aku
masih terpaku di sana, sedangkan mataku tak bisa lepas dari dirinya. Sungguh,
ia sangat cantik. Mungkin tercantik yang pernah kutemui.
Setalah itu, masih dapat kudengar
suaranya sayup-sayup sampai ke telingaku.
“Dasar orang gila yang konyol!” katanya
Suaranya tak pernah dapat kulupakan
sejak saat itu dan terus mengalun.
Thursday, March 31, 2016
Sajak Sayap Sayap
"Apakah sperma itu manis?"
Tanya seorang lelaki pada seorang
pelacur yang kini sedang mem-blow job-nya
Perempuan itu terdiam seketika
Matanya pisau
Ya
Jawabnya
Semanis uang yang telah kau ambil
dari pajakpajak rakyat untuk membayarku melakukan ini
Kini pria itu sedikit tercengang,
tapi orgasme telah di penghujung malam
Hingga tak sempat mengelak maka disemburkannya
sperma ke wajah seorang pelacur belia
Seperti menyemburkan kotoran pada wajahwajah
yang tak sempat tercatat sejarah
Yaitu wajahwajah anak haram yang dibuang ibunya
di tepi sungai dan berharap kematian menjadi takdir
Yaitu wajahwajah pengemis yang menghitam
dibakar sinar matahari sampai jadi sepi
Yaitu wajahwajah rakyat yang kecurian uang
namun tak menyadari
Maka pelacur itu menutup kembali payudara dan vaginanya
dengan seragam SMA yang tadi sempat digadaikan
pada seorang pejabat tingkat atas
Kemudian esok harinya, ia mampu membayar SPP yang sudah diberi sayap
oleh kepala sekolah agar terbang tinggi
2012
Herlangga Juniarko
Tanya seorang lelaki pada seorang
pelacur yang kini sedang mem-blow job-nya
Perempuan itu terdiam seketika
Matanya pisau
Ya
Jawabnya
Semanis uang yang telah kau ambil
dari pajakpajak rakyat untuk membayarku melakukan ini
Kini pria itu sedikit tercengang,
tapi orgasme telah di penghujung malam
Hingga tak sempat mengelak maka disemburkannya
sperma ke wajah seorang pelacur belia
Seperti menyemburkan kotoran pada wajahwajah
yang tak sempat tercatat sejarah
Yaitu wajahwajah anak haram yang dibuang ibunya
di tepi sungai dan berharap kematian menjadi takdir
Yaitu wajahwajah pengemis yang menghitam
dibakar sinar matahari sampai jadi sepi
Yaitu wajahwajah rakyat yang kecurian uang
namun tak menyadari
Maka pelacur itu menutup kembali payudara dan vaginanya
dengan seragam SMA yang tadi sempat digadaikan
pada seorang pejabat tingkat atas
Kemudian esok harinya, ia mampu membayar SPP yang sudah diberi sayap
oleh kepala sekolah agar terbang tinggi
2012
Herlangga Juniarko
Wednesday, March 16, 2016
Aquila: Angkasa yang Memburai
oleh: Herlangga
: L
“Masih dalam ingatan. Punggungmu”
Lelaki pecundang yang setia mendzikirkan namamu
Dalam diamnya. Dalam hatinya. Dalam sajaknya
“Aku cinta padamu. Hai kau”
Kata-kata tak bisa bersuara
Bahkan teredam oleh segala hal yang fana
Kau yang semeter depanku. Itu dulu
Sekarang mungkin telah jutaan tahun cahaya
Kau Aquila. Masih berkelap dan berkelip
“Apa kau masih ingat padaku?”
Aku masih ingat kau, Aquila
Setidaknya biru yang mewarnai tudung di langitmu
Seperti kunang-kunang dalam mimpi
Tapi aku cinta padamu. Masih
Maret, 2016
: L
“Masih dalam ingatan. Punggungmu”
Lelaki pecundang yang setia mendzikirkan namamu
Dalam diamnya. Dalam hatinya. Dalam sajaknya
“Aku cinta padamu. Hai kau”
Kata-kata tak bisa bersuara
Bahkan teredam oleh segala hal yang fana
Kau yang semeter depanku. Itu dulu
Sekarang mungkin telah jutaan tahun cahaya
Kau Aquila. Masih berkelap dan berkelip
“Apa kau masih ingat padaku?”
Aku masih ingat kau, Aquila
Setidaknya biru yang mewarnai tudung di langitmu
Seperti kunang-kunang dalam mimpi
Tapi aku cinta padamu. Masih
Maret, 2016
Friday, March 11, 2016
Big Bang
oleh: Herlangga
Dalam ruangan, seseorang mengingatkanku padamu
Ia berbicara mengenai ledakan Big Bang yang
terjadi pada suatu waktu yang tak tentu
Saat itu kau bertanya, “Big Bang adalah satu ledakan, bukan?”
“Ya” jawabku, “ia berasal dari satu inti yang Tuhan cipta”
Kemudian kau dan aku berpikir:
Apakah ledakan itu cukup kuat untuk membunuh semua Tuhan?
Agar tak tersisa
Perbedaan
2015
Dalam ruangan, seseorang mengingatkanku padamu
Ia berbicara mengenai ledakan Big Bang yang
terjadi pada suatu waktu yang tak tentu
Saat itu kau bertanya, “Big Bang adalah satu ledakan, bukan?”
“Ya” jawabku, “ia berasal dari satu inti yang Tuhan cipta”
Kemudian kau dan aku berpikir:
Apakah ledakan itu cukup kuat untuk membunuh semua Tuhan?
Agar tak tersisa
Perbedaan
2015
Thursday, March 10, 2016
Regional Bandung 2016
Minggu pagi, 6 Maret 2016 kemarin terlihat beberapa orang berkumpul di depan sebuah toko hobi bernama Planet Comic. Sembari memegang album berisi kartu, mereka mengutak-atik beberapa sekumpulan kartu yang akan mereka gunakan untuk turnamen Yugioh Regional Bandung 2016. Terdapat 37 peserta yang hendak memperebutkan hadiah berupa 12 booster Dragon Legend 2 dan 1 booster Gold Series 5, beserta poin untuk mendapatkan wildcard atau tiket 64 besar NATS (National Tournament ) 2016 ini.
Para
Duelist (sebutan player Yugioh) sendiri ada yang sudah datang sedari jam 9 pagi
meskipun acara baru dimulai jam 10, tetapi ada pula yang datang agak terlambat.
Namun semua dapat terkondisikan dengan baik. Peserta yang datang cukup beragam
meskipun turnamen ini adalah regional bandung tetapi acara sendiri terbuka
untuk umum sehingga terdapat duelist dari luar Bandung seperti Palembang,
Cirebon, Sumedang, dan Karawang ikut
berdatangan.
Saturday, March 5, 2016
Kunang-kunang Dalam Bir
oleh: Agus Noor
Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you….
Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Di kafe itu, ia meneguk kenangan. Ini gelas bir ketiga, desahnya, seakan itu kenangan terakhir yang bakal direguknya. Hidup, barangkali, memang seperti segelas bir dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi, benarkah ini memang gelas terakhir, jika ia sebenarnya tahu masih bisa ada gelas keempat dan kelima. Itulah yang menggelisahkannya, karena ia tahu segalanya tak pernah lagi sama. Segalanya tak lagi sama, seperti ketika ia menciumnya pertama kali dulu.
Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas buah dada. Saat itu ia yakin: ia tak mungkin bisa bahagia tanpa dia. ”Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” Kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi itu. I just called to say I love you….
Tapi mengapa bukan sendu lagu itu yang ia katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu? Mestinya saat itu ia tak membiarkan dia pergi. Tak membiarkan dia bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali.
Waktu bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaannya. Kenangannya. Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang seungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenangannya. Ya, selalu ke kafe ini ia kembali. Untuk gelas bir ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali gelas bir ini pun hanya akan menjadi gelas bir yang sia-sia jika yang ditunggu tidak juga tiba.
”Besok kita ketemu, di kafe kita dulu….”
Friday, March 4, 2016
Lima Detik
oleh: Herlangga
Ternyata jam tanganku sudah menunjukkan pukul 14.00 dan kuliah hari ini pun telah berakhir dengan damai. Sekarang yang ada hanyalah aku dan pacarku, kami hendak berjalan bersama ke tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi bersama sebelumnya hari ini.
Ternyata jam tanganku sudah menunjukkan pukul 14.00 dan kuliah hari ini pun telah berakhir dengan damai. Sekarang yang ada hanyalah aku dan pacarku, kami hendak berjalan bersama ke tempat-tempat yang belum pernah kami kunjungi bersama sebelumnya hari ini.
Dan sekarang akan kalian dapati aku
yang berjalan bersama pacarku di jalanan kampus. Sepanjang perjalanan ini
sepertinya aku tak dapat berhenti memandangi pacarku yang cantik itu. Rambut
panjangnya yang terurai seperti memberi aura tersendiri baginya. Oh, dia
berkata bahwa dia telah meluruskan seluruh rambutnya kemarin demi hari ini.
“Weekend ini sepertinya akan sangat
berbeda. Jadi, aku akan merubah seditik penampilanku” katanya padaku kemarin
sebelum kami berpisah di persimpangan jalan.
Sejatinya, aku tak terlalu suka
perubahan karena itu mungkin akan merubah takdirmu. Ya mungkin, tetapi kita tak
tahu apa yang akan terjadi selanjutnya bukan? Seperti saat ini, tiba-tiba aku
terpeleset karena menginjak sesuatu yang sangat licin.
Aku tak tahu apa yang aku pikirkan
saat itu, tetapi aku secara tiba-tiba melihat pasangan lain di depanku. Mereka
saling melepaskan tangan. Oh aku ingat.
*Detik 1
“Kita putus.” Kata perempuan itu 5
detik yang lalu
Pria yang ada di hadapannya hanya
terdiam seperti paku yang baru membeku.
“Tapi” kata pria itu dan itu adalah
kata terakhirnya sebelum aku menyadari mereka saling melepaskan genggamannya.
Thursday, March 3, 2016
Mi Querido
oleh: Pringadi Abdi
- "Jika cinta tak dapat dimiliki, mungkin memang seharusnya kita membuangnya jauh-jauh. Membuangnya ke tempat yang terdalam" -
Malabar. Aku padamu bagai embun di pucuk daun teh yang lenyap dimakan cahaya. Berapa menit waktu telah melenyapkan aku dari kedua matamu ketika duduk di kafe itu, kau memesan Coupe la Braga, aku tak memesan apa pun kecuali segala rasa cemburumu yang diam-diam kupadatkan di dalam pikiran. Padahal kau (begitu pun aku) telah sama-sama jatuh cinta pada Braga yang menguapkan segala kekakuan kota. Kekakuanmu. Kekakuanku. Kekakuan segala tetek bengek rumus matematika dan fisika di kelas-kelas jam tujuh pagi. De Gauss gila. Descartes yang sia-sia. Cinta. Ah, aku padamu bagai dahan pohon cemara, ditepuk angin, dan benarlah Chairil itu, hidup hanya menunda kekalahan.
“Katakanlah...”
“Apa?”
“Yang seharusnya ingin kau katakan.”
Padahal aku tidak ingin mengatakan apapun. Aku tidak ingin membiarkan segala huruf berloncatan dan meledekku dari kejauhan, kemudian udara dingin menggigilkanku lewat sela sweater yang kukenakan (meski berlapis), menatap matamu dan api menyala-nyala di dalamnya seolah Patuha siap menyemburkan lahar yang mati, tetapi yang kurindukan tetaplah hangatnya pelukanmu.
“Jangan sentuh aku lagi...aku tidak mau tanganmu yang memiliki bekas perempuan lain.” Tambahmu marah. Tetapi wajahmu tenang-tenang saja sambil menyuap lembutnya es krim yang pertama kali kukenalkan kepadamu, ketika hujan rintik-rintik dan kita terbiar di atas kedua belah kaki, tak berpayung, dan berlari-lari kecil seolah dikejar kecemasan. “Aku takut gerimis...” begitu kau bilang kepadaku kala itu. Aku pun hanya bisa menangkupkan jaketku ke atas kepalamu dan kau tersenyum manis dengan lesung pipitmu itu.
“Aku masih mencintaimu, Lin....”
“Dan kau mencintainya juga?”
- "Jika cinta tak dapat dimiliki, mungkin memang seharusnya kita membuangnya jauh-jauh. Membuangnya ke tempat yang terdalam" -
Malabar. Aku padamu bagai embun di pucuk daun teh yang lenyap dimakan cahaya. Berapa menit waktu telah melenyapkan aku dari kedua matamu ketika duduk di kafe itu, kau memesan Coupe la Braga, aku tak memesan apa pun kecuali segala rasa cemburumu yang diam-diam kupadatkan di dalam pikiran. Padahal kau (begitu pun aku) telah sama-sama jatuh cinta pada Braga yang menguapkan segala kekakuan kota. Kekakuanmu. Kekakuanku. Kekakuan segala tetek bengek rumus matematika dan fisika di kelas-kelas jam tujuh pagi. De Gauss gila. Descartes yang sia-sia. Cinta. Ah, aku padamu bagai dahan pohon cemara, ditepuk angin, dan benarlah Chairil itu, hidup hanya menunda kekalahan.
“Katakanlah...”
“Apa?”
“Yang seharusnya ingin kau katakan.”
Padahal aku tidak ingin mengatakan apapun. Aku tidak ingin membiarkan segala huruf berloncatan dan meledekku dari kejauhan, kemudian udara dingin menggigilkanku lewat sela sweater yang kukenakan (meski berlapis), menatap matamu dan api menyala-nyala di dalamnya seolah Patuha siap menyemburkan lahar yang mati, tetapi yang kurindukan tetaplah hangatnya pelukanmu.
“Jangan sentuh aku lagi...aku tidak mau tanganmu yang memiliki bekas perempuan lain.” Tambahmu marah. Tetapi wajahmu tenang-tenang saja sambil menyuap lembutnya es krim yang pertama kali kukenalkan kepadamu, ketika hujan rintik-rintik dan kita terbiar di atas kedua belah kaki, tak berpayung, dan berlari-lari kecil seolah dikejar kecemasan. “Aku takut gerimis...” begitu kau bilang kepadaku kala itu. Aku pun hanya bisa menangkupkan jaketku ke atas kepalamu dan kau tersenyum manis dengan lesung pipitmu itu.
“Aku masih mencintaimu, Lin....”
“Dan kau mencintainya juga?”
Monday, January 25, 2016
Hujan Berkembang
1. Aku. Adalah yang terikat dengan non-kepemilikan (tak memiliki, tak juga dimiliki)
2. Kamu. Dengan ketajaman perasaan melepaskan ikatan-ikatan itu
3. La ilaha ilallah berkumandang ketika tergelincirnya senja. Aku berujar bahwa nasi goreng itu enak dan khas. Satu waktu akan kubawa untukmu
4. Layaknya buku baru, aku tuliskan apa saja yang ku mau. Kebetulan, sintaksis waktu itu. Tiga halaman yang kau bantu.
5. Harum tanah, pesawat terbang, tisu, saus dan pizza yang tercatat. Iya, mereka semua berserikat dan bersaksi saat pertama kali tanganku hampir menyentuh pipimu.
6. Ada rasa tak enak dariku waktu itu, mungkin cemas. Tapi kamu pasti tahu. Bila aku dan kamu suka bakso, kita akan memakannya bersama.
...
7. Dia yang cemas adalah yang memacu cepat motornya untuk memastikan tidak ada masalah dengan keset yang mendadak hilang dan jendela yang terbuka.
8. Dia adalah yang mengerti hangatnya perasaan perempuan yang memberinya selimut ketika dia tertidur di lantai saat hujan tahun itu.
9. Dia adalah yang memandangi raut wajah perempuan yang
Wednesday, January 20, 2016
Pernyataan: Kata-kata
oleh: Herlangga
Kata-kata masih bersemadi
Dalam dada
Kau pun menyemai
Hujan menjadi kau
Merintik
Kembang api
Sempatkah kau berpikir
ada kunci yang menghilang sebelum pernyataan?
Ketakutan.
2016
Tuesday, January 19, 2016
Somnambulisme
oleh: Herlangga
Aku tahu kau sering menulisi dinding belakang rumahku
Kau tulis rembulan, kembang, dan air mata
Pun kutahu
Kau berjalan dalam mimpi
(langit sunyi, bulan sunyi, bintang sunyi)
Tanpa sadar membunuh seorang lelaki dengan rindu
2016
Monday, January 18, 2016
Satu
oleh: Sutardji Calzoum Bachri
kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencerna ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
1979
*dari buku "O, Amuk, Kapak"
Subscribe to:
Posts (Atom)