oleh: Herlangga
Sudah lebih dari satu dekade
Cinta bersemi dan berbunga terus
Dari pohon yang kau dan ia tanam
Dalam dada setiap kalian
Sedang bunga membentuk tali yang mengikat
Namun masa telah sampai
Lelaki itu kau tinggalkan
Demi suatu hal yang tak jelas
Dan lelaki itu tak sempat memberi saran
Atau sekedar mengucap salam
Kau selalu berkata padanya
Bahwa ketika burung merpati sudah terikat
Maka esok hari akan bertemu kembali
Bersama menjadikan sarang yang kuat dari segala
Dan kau selalu berkata begitu
Setiap kali lelaki itu menginginkanmu
Kemudian kau berjalan menjauhinya
Dalam kekosongan yang sangat mencekam
Lelaki itu sadar akan tembok yang telah kau bangun
Lebih tinggi dari rindunya terhadapmu
Di langit yang mulai temaram
Dan purnama yang tertutup rintik hujan
Sunday, May 25, 2014
Friday, May 23, 2014
Kutuliskan Bayangmu Dalam Rintik Hujan
oleh: Herlangga
Di kafe itu bau rinai hujan masih
semerbak dari luar jendela. Air-airnya terus bercipratan setelah usai
berhantaman dengan bumi yang kupijak ini. Kafe dan hujan kini seolah-olah
mengingatkanku pada kejadian saat itu. Saat dunia masih terlalu sempit untuk
kita berdua dan akhirnya aku melamarmu di kafe kenangan ini.
Hidup memang belum usai benar dan
hari pasti berganti menjadi esok, tapi kata-kata bijak yang sering kudengar di
televisi sebagai amanat seperti selalu menamparku.
“Hari ini adalah anugrah dan esok
haruslah lebih baik dari hari ini” katanya. Itulah kata-kata yang terus
menamparku dari waktu ke waktu karena hari esokku kini sudah menguap bersama
air hujan sore ini.
Padahal ketika itu kita sudah di
ujung pernikahan. Lamaranku sudah kau terima dengan sempurna kala itu. Dan
dengan manis kau tersenyum padaku sambil menerima cincin itu. Aku pun sudah
mendatangi ayahmu dan mengungkapkan maksud hati dan akhirnya ia pun
menyetujuinya.
“Aku sangat senang sekali saat ini”
kataku.
“Ya, aku pun begitu” katamu membalas
sambil terus menyiapkan pernikahan kita.
Dan tiba-tiba hal itu terjadi ketika
seminggu sebelum pernikahan kita dimulai. Kita hendak membuat kartu undangan
untuk rekan-rekan kita agar bisa datang ke pernikahan istimewa ini.
Thursday, May 22, 2014
Di Toko Buku
oleh: Herlangga
Ada abu-abu yang mendekam di dada
Sekali waktu kita bertemu
Berpisah
Bertemu
Dan akhirnya berpisah lagi
Hingga yang tersisa hanyalah getaran
Ada pula hawa panas yang menjadi latar
Kemudian kau, di hadapanku
Serupa bunga abu-abu yang mencoba membaca takdir
Buku yang kau baca membawa pula kenangan
Kemudian menyelipkan kata-kata penjaga
agar kenangan itu tidak lepas dari kawalan
Aku kemudian berjalan ke rak buku yang kau baca
Mencari tahu kenangan apa yang terpajang di sana
Ada banyak kenangan yang terpajang
Namun tak satupun kutemukan kenangan tentangmu
Aku pikir kau sangat lihai menyimpan kenangan
Saat mata kita satu dan saling menyiratkan sepi
Kau, abu-abu. Kemudian berlalu
Pun aku begitu.
2013
Ada abu-abu yang mendekam di dada
Sekali waktu kita bertemu
Berpisah
Bertemu
Dan akhirnya berpisah lagi
Hingga yang tersisa hanyalah getaran
Ada pula hawa panas yang menjadi latar
Kemudian kau, di hadapanku
Serupa bunga abu-abu yang mencoba membaca takdir
Buku yang kau baca membawa pula kenangan
Kemudian menyelipkan kata-kata penjaga
agar kenangan itu tidak lepas dari kawalan
Aku kemudian berjalan ke rak buku yang kau baca
Mencari tahu kenangan apa yang terpajang di sana
Ada banyak kenangan yang terpajang
Namun tak satupun kutemukan kenangan tentangmu
Aku pikir kau sangat lihai menyimpan kenangan
Saat mata kita satu dan saling menyiratkan sepi
Kau, abu-abu. Kemudian berlalu
Pun aku begitu.
2013
Thursday, May 15, 2014
Balada Penantian
oleh: Rendra
Gadis yang dilewati kedaraannya merenda depan jendela
menggantungkan hari muka dan anggur hidupnya
pada penantian lelaki petualang yang jauh
pada siapa dulu telah ia serahkan malam kedaraannya yang agung.
Janjinya kembali di Tahun Baru belum juga terpenuhi.
(Lelaki itu tak punya pos dan pangkalan).
la menanti depan jendela, dilewati kedaraannya.
Kereta mati membawa ibunya, di belakangnya tiga Tahun Baru pula tiba
usia sendiri meningkat juga di tiap permunculan bulan muda.
la menanti depan jendela, terurai rambutnya.
Kail cinta membenam pada rabu, dilarikan ke lubuk-lubuk yang dalam
tiada terlepas juga dan tetes darahnya dilulur kembali ke dada.
la menanti depan jendela, tetes hujan merambat di kaca
Adik-adiknya sudah dulu ke altar, dada-dada diganduli bayi dan lelaki
lukanya mendindingi dirinya dari tiap pinangan pulang sia-sia.
la menanti depan jendela, ketuaan mengintip pada kaca.
Kandungan hatinya mengelukan jumlah kata, seperti kesingupan gua
sebuah rahasia yang hitam, apa kepercayaan apa dendam
ditatapnya ujung jalan, kaki langit yang sepi menelan segala senyumnya.
la menanti depan jendela, rambutnya mengelabu juga.
Dendamnya telah dibalaskan pada tiap lelaki yang ingin dirinya
subuh demi subuh khayal merajai dirinya
makin bersilang parit-parit di wajah, beracun bulu matanya
tatapan matanya menggua membakar ujung jalan.
Ia menanti tidak lagi oleh cinta.
la menanti di bawah jendela, dikubur ditumbuhi bunga bertuba.
Dendamnya yang suci memaksanya menanti di situ dikubur
di bawah jendela.
*diambil dari antologi puisi "Balada Orang-orang Tercinta"
Gadis yang dilewati kedaraannya merenda depan jendela
menggantungkan hari muka dan anggur hidupnya
pada penantian lelaki petualang yang jauh
pada siapa dulu telah ia serahkan malam kedaraannya yang agung.
Janjinya kembali di Tahun Baru belum juga terpenuhi.
(Lelaki itu tak punya pos dan pangkalan).
la menanti depan jendela, dilewati kedaraannya.
Kereta mati membawa ibunya, di belakangnya tiga Tahun Baru pula tiba
usia sendiri meningkat juga di tiap permunculan bulan muda.
la menanti depan jendela, terurai rambutnya.
Kail cinta membenam pada rabu, dilarikan ke lubuk-lubuk yang dalam
tiada terlepas juga dan tetes darahnya dilulur kembali ke dada.
la menanti depan jendela, tetes hujan merambat di kaca
Adik-adiknya sudah dulu ke altar, dada-dada diganduli bayi dan lelaki
lukanya mendindingi dirinya dari tiap pinangan pulang sia-sia.
la menanti depan jendela, ketuaan mengintip pada kaca.
Kandungan hatinya mengelukan jumlah kata, seperti kesingupan gua
sebuah rahasia yang hitam, apa kepercayaan apa dendam
ditatapnya ujung jalan, kaki langit yang sepi menelan segala senyumnya.
la menanti depan jendela, rambutnya mengelabu juga.
Dendamnya telah dibalaskan pada tiap lelaki yang ingin dirinya
subuh demi subuh khayal merajai dirinya
makin bersilang parit-parit di wajah, beracun bulu matanya
tatapan matanya menggua membakar ujung jalan.
Ia menanti tidak lagi oleh cinta.
la menanti di bawah jendela, dikubur ditumbuhi bunga bertuba.
Dendamnya yang suci memaksanya menanti di situ dikubur
di bawah jendela.
*diambil dari antologi puisi "Balada Orang-orang Tercinta"
Friday, May 9, 2014
Absurditas Kepada Perempuan yang Melangit dan Menyenja
oleh: Herlangga
Kemarin kau melangit, sedang hari ini kau menyenja
Kemarin kau melangit, sedang hari ini kau menyenja
Mungkin
esok kau akan menghilang
Karena kau
yang memalamkan senja ikut masuk dalam kegelapan
Seperti
harapan, esok adalah malam-malam panjang tanpa kau
Yang
terbiasa terduduk tertungkur dalam alunan kenangan
Seperti
angan-angan, kenangan adalah jebakan
Yang
terbiasa hidup dalam keabsurdan puisi
Masihkah
kau terjebak dalam puisi atau kau mulai membuat cerpen
Yang pasti
aku tahu adalah kau masih membuat sebuah artikel yang berisi tentang kehidupan
Sesuatu
yang sama sekali tak bisa kulakukan
Karena
artikel-artikel itu tidak bisa menceritakan tentang kau
Atau
menceritakan langit yang dibirukan olehmu
Atau juga
senja-senja yang mulai memalam
Sungguh aku
tak bisa menulis artikel
Kau, yang
melangit membirukannya dan menyenjakannya
Esok malam
mungkin aku akan membantumu memalamkan langit
Dalam puisi
atau cerpen.
2014
Subscribe to:
Posts (Atom)