Senja
ini aku teringat padamu, Rinjani. Awan yang berarak-arak menyapu kemilau
matahari kemudian membuat suasana menjadi sayup. Warna langit berubah seketika
menjadi melankolis. Itu semua membuatku teringat padamu.
Di luar gerimis membuat senja
semakin muram. Besi-besi yang beradu dan bergesekan dengan rel yang sempat
panas membuat tubuhku terguncang sedikit. Inilah kereta yang mengantarkan
jiwa-jiwa penuh rindu. Deru mesin terus bergelora membahana hingga memecah
malam yang hendak terbit dari sela-sela siluet senja. Tetapi sekarang masih
senja, Rinjani. Dan aku terus teringat padamu.
Pada kaca jendela kereta, bukan
pemandangan yang terhampar bebas di luar dan sehamparan pohon-pohon rindang
yang membuatku terpesona, tetapi bayangan dirimu yang tak juga pergi dari
kedalaman otakku dan tercerminkan di kaca jendela yang membuatku merasa
bahagia. Apakah kau masih mengingatnya? Ciuman pertama kita yang terjadi ketika
senja di bawah sebuah pohon rindang yang tidak aku tahu namanya, namun
daun-daunnya terus berguguran tiada henti serupa gerimis.
***
“Hei, apakah kau tahu mengapa daun
dari pohon ini selalu berguguran saat senja?” tanyamu saat itu.