Hari ini aku mempersiapkan diri untuk pernikahan. Ia yang sangat kucintai sudah bersiap dengan pakaian pengantin yang berwarna putih bersih. Tentu saja aku yakin bahwa hatinya pun bersih seperti wajahnya yang selalu bersinar laksana purnama malam kelam atau lentera yang menerangi tidurku. Mengingat wajahnya seperti mengingat kala pertama kali aku berjumpa derngannya.
***
Seorang laki-laki berjalan dan
akhirnya menjatuhkan buku seorang perempuan di jalanan penuh sesak Malioboro.
Seperti dalam cerita-cerita singkat di layar kaca, mereka akan jatuh cinta.
Maka laki-laki itu pun membantu membereskan buku sang perempuan. Mereka akan
saling tersenyum dan beberapa hari kemudian mereka akan menjadi sepasang
kekasih picisan.
Aku dari sudut jalan hanya
memandangi mereka sambil berpikir bahwa mereka akan menjadi pasangan yang
sangat serasi seperti dalam cerita-cerita dalam layar kaca. Meskipun dalam
layar kaca tersebut cerita selalu berakhir setelah mereka menjadi sepasang kekasih
dan entah apa yang terjadi selanjutnya, apakah mereka akan berpisah atau
melanjutkan hubungannya. Semua menjadi gelap setelah itu.
Aku sedikit termenung dan berpikir
sekejap kemudian. Aku membuat sebuah puisi singkat saat itu. Saat perempuan
tadi melewatiku. Aku menggenggam tangannya dan sedetik kemudian kuberikan
puisiku tadi.
Reaksinya adalah tentu saja ia
melepaskan tangannya dari genggamanku secepat mungkin lalu mengempaskan puisiku
begitu saja kemudian berjalan dengan sangat cepat menjauhiku. Saat itu aku
masih terpaku di sana, sedangkan mataku tak bisa lepas dari dirinya. Sungguh,
ia sangat cantik. Mungkin tercantik yang pernah kutemui.
Setalah itu, masih dapat kudengar
suaranya sayup-sayup sampai ke telingaku.
“Dasar orang gila yang konyol!” katanya
Suaranya tak pernah dapat kulupakan
sejak saat itu dan terus mengalun.
***
Alunan melodi pernikahan yang
dimainkan melalui sang maestro piano masih bergaung di telingaku. Alunan piano
yang selalu membawa kebahagiaan bagi sang pengantin. Alunan piano yang membawa
pula kesedihan yang mendalam bagi seseorang yang mencintai salah satu dari
pengantin.
Ia yang sedih adalah ia yang selalu
mencintai namun tak pernah tercatat dalam sejarah. Memang seperti inilah, kisah
dari percintaan memang
sangat mudah ditebak. Semua selalu berujung pada bahagia dan penderitaan.
Sedangkan ia yang berbahagia adalah
ia yang telah mendapatkan apa yang ia idamkan. Mungkin setelah melalui beberapa
perjuangan yang mengesankan. Tapi apalah artinya perjuangan jika tujuan tidak tersampaikan.
Maka hasil adalah hal yang utama dari suatu hal bagaimana pun caranya.
Aku mengikuti gerakan pengantin
wanita yang ada di sampingku. Mengikuti langkahnya melaju dan terus tersenyum
padanya.
***
Setelah perempuan tadi melewatiku
beberapa meter, aku pun mengikutinya. Aku berusaha agar ia tidak mengetahuiku.
Perempuan tadi terus berjalan
menyusuri Malioboro sambil sesekali menyelipkan badannya di antara para
pedagang dan pembeli yang sekedar bertransaksi. Terkadang ia hanya melihat saja
beberapa turis yang lalu-lalang di Malioboro. Dan akhirnya ia berbelok ke kanan
dan masuk ke dalam sebuah gang yang tisak terlalu kecil.
Aku masih mengikutinya dari belakang
di sudut yang ia tak dapat ketahui. Dan akhirnya derap kakinya menghilang di
balik sebuah rumah yang masih bertahan dengan arsitektur jawanya. Kemudian aku
mencatat rumahnya. Memandangi rumah tersebut dari kejauhan dan pergi setelah
malam menjelang.
Setiap hari setelah pulang kuliah
aku selalu berada di posisi ketika aku bertemu pertama kali dengannya. Dari
kejauhan aku selalu mengamatinya.
Pada suatu ketika ia tersenyum
padaku. Dan itulah pertama kalinya ia tersenyum padaku setelah aku mengamatinya
selama setahun penuh. Kami saling bertatapan dan aku pun membalas senyumnya.
Sungguh ia sangat cantik sekali dengan senyum seperti itu.
Ia berkata “Aku Rinjani. Sepertinya
kamu sering memperhatikanku.”
Ia masih tersenyum dengan sangat
manisnya.
***
Pengantin perempuan itu tersenyum
padaku ketika kami saling menatap. Aku pun membalas senyumannya dengan sangat
dalam. Kemudian berjalan kembali menuju tempat pengambilan sumpah setia. Aku
pun mengikutinya dari samping sambil terus memandanginya. Sambil terus
tersenyum padanya. Hanya itu yang dapat kulakukan saat itu dan memandangi para
tamu yang hadir sesekali.
Rasanya derap langkah Rinjani
terlalu anggun untuk dapat kuabaikan. Ia seperti seorang bidadari yang baru saja turun dari langit setelah
sebelumnya bermandikan kembang tujuh rupa di langit sana, tetapi tanpa sayap.
Ia mampu membuatku seperti merasakan udara paling bersih di puncak gunung.
***
Akhirnya Rinjani pergi dengan derap
langkah yang selalu kuikuti hingga suatu sudut pengamatanku. Ia memang anggun.
Mungkin sekarang aku dapat melupakan serorang lelaki yang pernah kucintai.
Semenjak aku mengetahui bahwa lelaki
yang kucintai itu telah dijodohkan dengan orang lain aku pun membiarkannya
pergi di jalan Malioboro. Dan pada hari kepergian itu pula, aku menemukan
Rinjani yang meskipun aku hanya dapat mengguminya dari kejauhan akibat mentalku
yang tak pernah mampu mendekati seorang perempuan.
Setahun
kemudian aku lulus kuliah. Saat itu setalah berganti pakaian, aku kembali ke
jalan Malioboro. Di sana aku hendak mengungkapkan segala perasaanku pada
Rinjani. Di jalanan yang tak pernah sepi dari manusia yang berlalu-lalang ini
aku ingin menjadi sepasang kekasih yang tak pernah sepi pula dari cinta.
Setelah
beberapa saat aku menemukannya berjalan ke arah yang biasa ia lalui seperti
biasa. Ia berjalan ke arahku. Aku menggenggam tangannya. Kami berpandangan.
“Aku
mencintaimu” kataku.
Kemudian
aku menciumnya dengan mesra di tengah keramaian Malioboro. Ia membalas ciumanku
dengan mesra pula. Aku hanya menikmati sebuah ciuman ini. Mungkin ini akan
berlangsung selamanya.
Lalu
ia mendorongku hingga agak sedikit menjauh darinya. Matanya berkaca-kaca.
“Aku
mencintaimu Rinjani” kataku lagi seakan menyakinkannya.
Ia
pun berlari menjauhiku
***
Setelah sumpah setia yang mereka
ucapkan selesai. Aku pun melihat sepasang pengantin sedang berciuman
mengekspresikan kebahagiaan mereka di depan para tamu undangan yang hadir.
Sepasang pengantin itu merupakan
kedua orang yang aku kenal. Mereka adalah Rinjani dan Lawu. Rinjani adalah
seorang perempuan yang aku temukan di jalan Malioboro. Sedangkan Lawu adalah
lelaki yang pernah aku cintai dan meninggalkanku di jalan Malioboro pula.
Mereka
berdua adalah orang yang saling bertabrakan di jalan Malioboro di hari yang
sama ketika aku melepaskan Lawu dan bertemu Rinjani. Persis seperti
cerita-cerita dalam layar kaca. Mereka adalah salah satu sepasang kekasih
picisan yang berakhir
dengan bahagia.
Dan
aku adalah salah satu yang paling menderita dalam kisah ini. Aku bahkan tak
mampu mencatatkan namaku sendiri dalam sebuah kisah.
Akhirnya
aku pun berjalan ke arah mereka (mungkin lebih tepat kepada Rinjani) dan
memberikan sebuah kertas yang berisi sebuah puisi yang pernah aku tulis dalam
sekejap ketika pertama kali bertemu dengan Rinjani.
Sepasang Burung yang
Akhirnya Berjodoh Karena Angin
Menyaksikan sepasang merpati terbang
Selamat, berjodohlah kalian.
Malioboro, (waktu tidak pernah diperlukan)
***
Di
sisi lain:
Namaku adalah Rinjani. Aku bertemu
dengan seseorang yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama di
Malioboro. kemudian ia mendekatiku dengan cara yang aneh dan membuatku memasang
harga diri yang cukup tinggi. Aku tahu ia tak menyerah dan mengikutiku hingga
ke rumah. Ia melakukannya selama bertahun-tahun!
Pada akhirnya aku pun mengenalkan
diriku padanya setelah lama ia memperhatikanku. Saat itu aku semakin terpesona
dengan senyumannya. Namun pada saat aku hendak menikah. Ia menyatakan cintanya
dan kami pun berciuman lama sekali.
Aku sedih dan meninggalkannya dengan
air mata yang tergenang di pelupuk mata. Pada akhirnya aku pun hanya bisa terus
tersenyum padanya saat pernikahanku.
No comments:
Post a Comment