“BULAN depan aku diundang mengikuti acara temu penyair lagi,” ujar suamiku sambil merebahkan tubuhnya di sampingku.
Malam sudah larut. Aku sudah mengantuk dan bahkan sudah memejamkan mata. Tapi, gara-gara ucapannya itu, rasa kantukku seketika lenyap.
Aku merasa ingin sekali mengajaknya bicara serius tentang kepenyairannya yang sudah kuanggap gila atau tidak waras lagi. Bagaimana bisa disebut penyair waras, kalau suamiku sudah seperti ketagihan menghadiri undangan temu penyair yang belakangan nyaris rutin tiap bulan?
Padahal, akulah yang harus membiayai kepergiannya karena ia tidak punya penghasilan. Pernah suamiku mencoba mengajukan proposal bantuan dana kepada pemerintah daerah, tapi birokrasi terlalu berbelit-belit: proposal harus dilampiri surat keterangan dari RT, RW, desa dan kecamatan, yang membuatnya pusing dan malas mengurusnya lagi.
Sebagai istri, aku pun malu punya suami yang dianggap suka meminta-minta bantuan kepada pejabat yang tidak mengenal dunia kepenyairan. Malah, ceritanya, dia juga pernah diragukan kepenyairannya oleh petugas sekuriti di pendapa kabupaten ketika mau mengajukan proposal kepada bupati.
“Jangan ngaku penyair. Saya sejak kecil suka puisi, tapi belum pernah baca puisimu. Kalau bohong ke Pak Bupati, kamu bisa dipenjara! Silakan bawa pulang proposal ini!”
Petugas sekuriti berkata tegas. Suamiku pun pulang dan setibanya di rumah langsung membakar proposal yang sudah susah payah dibuatnya.
Sejak menikah denganku, suamiku hanya di rumah mengurus rumah tangga sambil menulis puisi yang dikirimkan ke panitia-panitia acara temu penyair ini-itu. Tak pernah puisinya dimuat di media dan menerima honor.
Selama ini, akulah yang bekerja dan membiayai semua keperluan rumah tangga, dan keperluannya sebagai penyair. Aku sebetulnya menyesal setelah menikah dengannya dan kemudian dia ternyata tak berpenghasilan.
Saat dia melamarku, aku memang sudah jadi perawan tua, umur 35 tahun. Sebelumnya, aku sudah tahu bahwa dia adalah penyair. Ia sempat memamerkan sejumlah buku antologi puisi bersama yang memuat karyanya.
Saat itu, aku menduga, dan berharap, dia akan menjadi penyair besar yang menerima banyak royalti dari buku-buku puisinya. Daripada menjadi perawan tua, lebih baik menjadi istri penyair, pikirku ketika dia melamarku. Aku pun menerima pinangannya dan kami menikah.
Sekarang, meski aku menyesal telah menikah dengannya, sejauh ini aku tak minta cerai. Belum. Rasanya, aku makin tak tahan melihatnya makin gila sebagai penyair. Tiap kali dia akan menghadiri acara temu penyair, aku harus menyediakan banyak ongkos.
Padahal, seperti ceritanya padaku: dalam acara temu penyair di kota yang jauh dan menghabiskan banyak biaya, biasanya dia hanya diberi kesempatan membaca satu puisi saja di panggung.
Bahkan, kadang ia sama sekali tak mendapat kesempatan itu jika kelewat banyak penyair yang hadir. Betul-betul iba aku membayangkannya. Sering kubayangkan juga, umpama aku hanya memberikan setengah biaya perjalanannya, mungkin dia akan telantar dan tidak bisa pulang.
Ah, istri mana yang tega membiarkan suami telantar, jadi gelandangan, lalu sakit dan kemudian mati di luar kota yang jauh?
Terpaksalah aku memberinya uang yang cukup untuk biaya perjalanan pergi-pulang, untuk menginap di hotel, makan dan sekadar membeli oleh-oleh buat seorang anak kami. Aku tak ingin dia pulang dari acara temu penyair hanya membawa oleh-oleh buku antologi puisi bersama yang diterbitkan panitia dan buku puisi rekan-rekannya yang dibagikan gratis karena tak laku dijual.
“Sampai kapan kamu akan jadi penyair gila, Mas?” tanyaku datar sambil tetap memejamkan mata.
Terpaksa aku menyebutnya penyair gila agar dia tersinggung dan kemudian sadar lalu berusaha untuk kembali waras. Aku tidak terlalu berharap dia berhenti menjadi penyair, atau menulis puisi, tapi tak usahlah menghadiri acara temu penyair yang menghabiskan banyak biaya.
Suamiku mendesah panjang. Napasnya seperti sesak. Aku menduga dia menahan marah gara-gara kusebut sebagai penyair gila.
“Terus terang, aku kasihan kepadamu, Mas. Sering susah payah menghadiri acara temu penyair, apa untungnya buat kamu? Sejak dulu, kamu tak pernah mendapatkan uang dari acara-acara begituan, kan?!” Kata-kataku terdengar sangat ketus. Suamiku kembali mendesah panjang.
“Kalau kamu mendapat honor layak untuk mengganti biaya transportasi, akomodasi, dan konsumsi dari acara temu penyair, aku sangat mendukung. Tapi, selama ini kamu tak pernah terima kan.” Aku makin ketus bicara dengan mata tetap terpejam.
“Kalau kamu keberatan mendukungku untuk menghadiri acara temu penyair, aku tak akan berangkat. Tapi, tolong jangan bilang aku penyair gila.” Suamiku akhirnya bicara dengan suara bergetar.
Aku bersorak dalam hati. Sepertinya suamiku sangat tersinggung kuanggap sebagai penyair gila. Itulah yang kuinginkan sejak lama. Biasanya dia hanya diam saja setiap kali kusinggung kepenyairannya yang sia-sia.
“Maaf, Mas. Aku telah menyinggungmu. Tapi, sadarlah, kita hidup butuh banyak biaya. Silakan tetap jadi penyair, tapi jangan sampai gila. Maksudku, kamu tetap saja menulis puisi, tapi tak perlu repot menghadiri acara temu penyair seperti itu. Jelas aku keberatan menanggung semua biayanya.”
Suamiku kembali mendesah. Napasnya terdengar makin sesak. Pasti dia sedang menahan amarah di dalam dadanya. Sebenarnya, sudah lama aku malas ngobrol dengannya menjelang tidur.
Biasanya, kalau aku bicara, dia malah langsung ngorok seperti tak peduli. Kali ini dia tidak ngorok, tapi mendesah panjang berkali-kali seperti sangat serius mempedulikan kata-kataku.
Aku ingin sekali dia menangis karena tersinggung oleh kata-kata ketusku. Tiba-tiba, suamiku terisak-isak. Betul-betul terisak-isak.
Amboi! Aku bersorak dalam hati. Suamiku betul-betul menangis. Itulah yang kuinginkan, agar dia segera sadar dan berhenti menjadi penyair gila. Malah, kalau aku boleh memilih, semoga dia bisa berhenti total sebagai penyair.
Artinya, tidak menulis puisi lagi, seperti yang pernah dia ceritakan padaku: banyak penyair yang semula sangat produktif menulis puisi lalu kapok jadi penyair sehingga berhenti menulis.
Ada juga, kisahnya, penyair sebayanya yang akhirnya malu jadi penyair sehingga semua buku puisinya dimusnahkan dan tidak mau disebut sebagai penyair lagi.
“Asal kamu tahu, Mas. Setiap kamu menghadiri acara temu penyair, tetangga-tetangga tanya kepadaku apakah kamu menerima uang? Aku selalu menjawab, kamu menerima banyak honor. Biar mereka tidak meremehkan dan menertawakan kamu. Tapi, apa kamu ingin aku selalu berbohong demi menutupi kenyataan yang sebenarnya sangat memprihatinkan?”
Isak suamiku makin nyaring. Membuatku terus bersorai dalam hati. Rasanya aku ingin mendengarnya terisak-isak sampai pagi.
“Sejak dulu aku paham, menulis puisi itu sulit, dan lebih sulit lagi kalau puisi dimuat di media dan menerima honor. Dan buktinya, puisimu tak pernah dimuat di media. Tapi, jangan karena itu kamu makin gila dengan susah payah menghadiri setiap acara temu penyair agar dirimu layak disebut sebagai penyair.”
Tiba-tiba aku teringat saat masih bulan madu: suamiku memperlihatkan bundel kertas ratusan halaman berisi puisi yang mau dikirimkan ke penerbit buku ternama.
Aku pun mendukungnya dengan memberikan sejumlah uang untuk biaya kirimnya. Tiga bulan kemudian, bundel itu dikembalikan. Aku mencoba menghiburnya: Jangan putus asa.
Bahkan layak disyukuri, bundel puisimu dikembalikan sehingga tidak hilang. Lalu bundel puisinya itu ia simpan di lemari bersama buku-buku.
Setelahnya, setiap suamiku mendengar kabar ada panitia temu penyair hendak menerbitkan buku antologi karya pesertanya, ia selalu mengambil sejumlah puisi di dalam bundel itu untuk dikirimkan. Bukan main senangnya saban ia menerima buku antologi puisi bersama yang memuat karyanya.
Buku itu akan ia baca semalam suntuk, seolah hendak menghapalkan semua puisi di buku antologi itu. Saat melihatnya, aku khawatir bahwa dia makin gila sebagai penyair.
Ternyata, kekhawatiranku tidak berlebihan. Setiap puisinya habis dimuat, ia menulis puisi baru lagi setiap waktu, dan setiap ada undangan temu penyair, selalu diikutinya. Tak peduli biayanya, karena toh akulah yang selalu menanggungnya.
Isak tangis suamiku masih kudengar merdu dan aku pun kegirangan dalam hati. Aku teringat lagi, beberapa hari lalu suamiku tampak sedih setelah membaca berita tentang mesin pencari yang dilengkapi dengan aplikasi penyair virtual atau robot penyair yang mampu menulis puisi yang sangat bagus hanya dengan tiga kali klik. Berita itu pasti menjadi teror mental bagi banyak penyair, termasuk suamiku.
Jam-jam berlalu. Udara makin dingin, menandakan sudah menjelang dini hari. Aku pun kembali mengantuk dan ingin tidur entah sampai jam berapa, pokoknya sampai anakku bangun dan mengetuk pintu membangunkanku.
Tapi, aku menduga anakku akan bangun siang karena belakangan sedang gemar main game online, apalagi sejak sekolahnya tutup selama pandemi covid-19.
Sedangkan suamiku tak pernah membangunkan tidurku pada hari libur. Pukul 08.35, aku terbangun. Suamiku sudah tidak ada di kamar. Mungkin ia sudah sibuk di dapur atau sedang mencuci pakaian.
Tiap hari libur aku memang bermalas-malasan dan biasa bangun agak siang karena tidak perlu mengajar. Ya, meskipun prihatin dan kecewa, aku juga sering diam-diam bersyukur punya suami tanpa penghasilan, karena tiap hari libur, aku bisa bersantai, tidak perlu sibuk di dapur dan repot-repot bersih-bersih rumah.
Pada hari-hari biasa atau hari libur, urusan dapur dan bersih-bersih rumah selalu dibereskan suami. Harus kuakui, suamiku sangat rajin mengurus rumah. Mungkin karena menyadari dirinya tak punya penghasilan.
Dan, dengan jujur harus kuakui, aku sering merasa senang punya suami yang mahir menulis puisi. Sering aku diam-diam membaca puisi-puisinya, terutama yang bertema romantisme cinta dan ditujukan kepadaku.
Selalu dia menulis: Kepada Istri Tercinta, di sejumlah puisinya yang bertema romanisme cinta. Hatiku pun jadi berbunga-bunga saat membacanya diam-diam. Setelah meregangkan kaki dan tangan, aku bangkit dari tempat tidur, lalu bergegas melangkah ke dapur. Aku ingin menikmati secangkir susu hangat yang biasa ditaruh suamiku di meja dapur tiap pagi.
Namun, tak sempat aku melirik meja. Tatapanku terpaku ke pojok dapur. Tangisku meledak. Jeritanku bergaung-gaung. Mendengarnya, tetangga-tetangga dekat berdatangan. Sepertiku, mata mereka lalu terbelalak menatap pojok dapur.
Aku terduduk lunglai di lantai dapur sambil menangis tersedu-sedu. Mendadak aku menyesal karena semalam sengaja bicara sangat ketus kepada suamiku, yang ternyata membuatnya makin gila hingga tega menggantung diri di pojok dapur. (M-2)
Griya Pena Kudus, 2020
**Media Indonesia,Terbit 13 September 2020
*Maria Magdalena Bhoernomo, lahir di Kudus, 23 Oktober 1962. Banyak menulis prosa, puisi, dan esai yang dipublikasikan di sejumlah media.
No comments:
Post a Comment