oleh: Ragil Supriyatno Samid
di warung kopi. di taman remang. malam malam dijerang sampai didih. Lalu diseduhkan ke bubuk manis dan senang. oleh si Ning yang suka berbagi kemarahan. marahnya yang mengepul di dalam gelas. merangsang kita untuk ikut marah terhadap isme-isme baru yang terus mengambangkan nilai-nilai hidup di negeri penuh warna ini. Sesekali, kita menunduk dan bercermin ke legam buih dan ampas kopi
yang menggenang di permukaan gelas masing masing.
Fara yang semakin malam semakin lelaki, katamu, semakin kalut dengan makna dari puisi dan hidup berpuisi; Deni terus ditindih lelah oleh pertanyaan pertanyaan akan keberartian hidup sebagai kuli atau sebagai penyair; dan Yazid, menjadi potret paling konkrit dari penyair on-line yang tak tangkas dengan realitas terdekatnya, di luar layar LCD dan keypad.
sedang aku, seperti bulir bulir kecil kopi yang mengambang di tengah gelas ini, yang tak kunjung tenggelam apa lagi naik kembali. yang diam diam asyik mencari makna pada kibar legging oranye dan lentik bulu mata dari seorang gadis penjual keliling di pojokan sana. aku tahu, kalian tak sempat meliriknya, juga padaku, sebab sedang asyik meminum pikiran masing masing: D
Noval, segelas kopi terakhir ini, buatmu saja. gelasnya tentu tak lagi bening sebab menyimpan ratusan jejak bibir dari segala orang yang mengharapkan seteguk kehangatan padanya. pahit rasanya, seperti kepahitan hidup di antara wajah wajah
aspartame dan saccharin dari pemimpin pemimpin negeri ini. semoga dapat kautemukan penari sunyi itu di situ
: endonesa.
2010
No comments:
Post a Comment