“Lihatlah bagaimana aku
mencintaimu kekasihku. sudah begitu lama kita berpisah, tapi aku ingin
mengawinimu. Telah kuraih gelar MBA dari harvard. Telah kududuki jabatan
manajer perusahaan multinasional. Telah kukumpulkan harta benda
berlimpah-limpah. Kawinlah denganku. Kuangkat kamu dari lembah hitam. Marilah
jadi istriku. Jadi orang baik-baik, terhormat dan kaya. Ayo pergi dari sini,
kita kawin sekarang juga.”
Ia tersenyum, masih seperti dulu. Ada kerutan di ujung
matanya, tapi masih menatap dengan jalang. Dan setiap kali aku menatap mata
itu, dadaku rasanya bagai tersirap.
”Ayolah kekasihku, cepat, kita
pergi dari sini. Lihatlah Baby Benz yang menunggumu. Akan kumanjakan kamu
seperti ratu. Pergilah dari tempat busuk ini. Jauhilah lagu dangdut. Jauhilah
bir hitam, marilah memasuki dunia yang elit dan canggih. Kuperkenalkan kamu
nanti dengan dunia Mercantile Club, dunia para pedagang dan para manajer
internasional. Kuajari kamu main polo, kuajari kamu naik kuda, kuajari kamu
bicara Prancis, sambil sedikit-sedikit mengutip Simone De Beauvoir. kujadikan
kamu seorang wanita diantara wanita. Berparfum Poison keluaran Christian Dior,
berbaju rancangan Lacroix, bercelana dalam Wacoal. Cepat kekasihku, pergi
bersama aku. Waktu melesat seperti anak panah. Jangan sampai kamu jadi tua
disini. Menjadi kecoa yang tidak berguna.”
Ia tersenyum lagi. Matanya jalang
sekali. Rambutnya keriting dan panjang.
”Ayo cepat kekasihku. Cepat. Jangan
sampai dunia berubah. Tak ada yang kekal didunia ini. Tak ada yang setia. Ayo
cepat. Tunggu apa lagi?”
Wanita itu merebahkan tubuhnya.
Bau wangi yang kampungan meruap dalam kamar yang lembab. Alangkah lembabnya.
Alangkah kumuhnya. Di ranjang itu juga dulu, ia memitingku sehari semalam.
Seprti baru kemarin rasanya. Dua belas tahun yang lalu.
Di luar terdengar dangdut saling menghentak dari setiap rumah. Pada sebuah tembok tertulis dengan huruf merah: Termiskin di Dunia. Entah apa maksudnya.
Di luar terdengar dangdut saling menghentak dari setiap rumah. Pada sebuah tembok tertulis dengan huruf merah: Termiskin di Dunia. Entah apa maksudnya.
”Apa lagi yang kamu tunggu
kekasihku? Inilah kesempatan emas bagimu. Cepat kemasi barang-barangmu. Aman
kopormu? Biar aku bantu. Tinggalkanlah rawa-rawa sipilis ini, pindah ke pondok
indah. Ayo cepat. Besok pagi kamu sudah bisa terjun kekolam renang, beitu
mentas langsung membaca International Herald Tribune, sambil menelpon
teman-teman di Beverly Hills. Ayolah cepat kekasihku. Jangan sampai ketinggalan
kereta. Kesempatan tidak datang dua kali. Tinggalkan saja barang-barangmu
disini. Kita akan segera memborong gantinya di Shinjuku.”
Matanya mengerling tajam dan masih
jalang. Apakah ia melihat lembaran Dollar Amerika? Kulihat dari belahan bajunya
yang terbuka, ada tato kupu-kupu diatas buah dada. Gambar itulah sensasi masa
remajaku. Aku selalu senang mengingatnya karena memberikan persaan aneh dan
mendebarkan. Ia menyulut rokok sambil tetap tiduran. Bibirnya merah dan
sungguh-sungguh basah. Ia menghembuskan sap rokok ke wajahku, lantas kakiknya
naik ke pundakku.
”Siapakah kamu anak muda yang
menggebu-gebu? Aku tidak kenal kamu. Dua belas tahun lalu ? aku sudah lupa.
Terlalu banyak yang sudah tidur denganku. Aku tidak mengerti. Bagaimana kamu
bisa mencintaiku?”
”Janganlah bertanya-tanya. Ikutlah
aku sekarang. Penjelasannya nanti saja belakangan.”
”Jelaskan padaku anak muda, jelaskan.
Jangan sampai aku berbicara dengan orang yang tak bernama. Apalagi kamu bicara
tenang perkawinan.”
”Untuk apa? Bukankah kamu tidak
perlu nama-nama? Toh kamu akirnya selalu lupa. Ikutlah saja denganku.
Bersenang-senang. Bermewah-mewah. Akan ku bawa kamu ke dunia yang ada dalam
iklan-iklan.”
Ia tertawa lepas, seperti
mengejekku. Matanya menerawang ke luar jendela, kelangit, ke bintang-bintang.
Masih terdengar orang-orang mendendangkan Gubuk Derita. Para pelacur
berjajar-jajar duduk di luar sambil menaikkan kaki. Leher mereka penuh cupang
yang mengerikan.
Seseorang nampaknya baru dihajar, lewat sambil menangis meraung-raung. Bau minuman keras murahan menyesakkan udara bercampur bau keringat para pelacur yang ajojing habis-habisan sampai teler, mencoba melupakan nasib yang entah kenapa bisa begitu buruk dan begitu nestapa. Aku merasa gerah. Aku sudah terbiasa hidup dalam ruangan AC. Jakarta terlalu panas dan menyesakkan. Terlalu banak orang-orang yang bernasib malang. Ia masih tertawa.
Seseorang nampaknya baru dihajar, lewat sambil menangis meraung-raung. Bau minuman keras murahan menyesakkan udara bercampur bau keringat para pelacur yang ajojing habis-habisan sampai teler, mencoba melupakan nasib yang entah kenapa bisa begitu buruk dan begitu nestapa. Aku merasa gerah. Aku sudah terbiasa hidup dalam ruangan AC. Jakarta terlalu panas dan menyesakkan. Terlalu banak orang-orang yang bernasib malang. Ia masih tertawa.
”kenapa kamu tertawa?”
”Aku tidak bisa ikut kamu anak
muda. Maafkanlah aku.”
Hatiku rontok. Mulutku kering.
Keseimbanganku goyah.
”Kenapa? Apa yang kurang dariku,
aku lulusan Harvard dan aku …”
”Aku sudah punya pacar.”
”Siapa? Apanya yang lebih hebat
dari aku?”
”Dia Cuma tukang jual obat di
pojok jalan. Tapi aku bangga sama dia.”
”Hahaha! Tukang obat? Apanya yang
bisa dibanggakan?”
”O, aku sangat bangga padanya.
Setidaknya dia tidak sombong seperti kamu. Dia bisa bicara tentang segala macam
hal, dan dia bisa bicara tentang semua itu dengan meyakinkan. Kamu, meskipun
sudah sekolah di Harvard, tdak akan pernah mengalahkan Sukab. Dia adalah
segala-galanya bagiku.”
”Hahaha! Sukab seorang tukang jual
obat!obat apa? Paling-paling obat kumis! Obat kuat! Seorang penjual omong
kosong! Aku tahu orang-orang semacam itu Pembual! Kamu pasti sudah
dibohonginya. Kamu sudah di rayu dengan segenap kegombalannya. Mungkin juga
kamu sudah dipeletnya, dngan ilmu semar mesem! Atau dia punya batu akik
kecubung pengasihan! Jangan mau ditipu. Coba, siapa yang bukan penipu di Jakarta ini? Jangan mau
jadi korba!”
”Aku bukan korban. Aku cinta
padanya. Dia membuatku bahagia. Dialah satu-satunya alasanku untuk tetap
bertahan hidup. Dia sangat pintar. Sama pintar dengan menteri. Dia sangat lucu.
Sama lucunya dengan asmuni.”
”Hebat. Hebat. Seperti roman
picisan. Kamu mau kawin sama dia?”
Ia menggeleng. Wajahnya jadi muram. Membanting puntung rokok kedalam kloset. Sejumlah kecoa berterbangan.
Ia menggeleng. Wajahnya jadi muram. Membanting puntung rokok kedalam kloset. Sejumlah kecoa berterbangan.
”Kenapa?”
Ditenggaknya segelas bir sebelum
menjawab, nyaris tanpa suara.
”Dia sudah kawin.”
Hatiku yang tadi sudah jatuh
berkeping-keping bagaikan melayang saling melekat kembali.
”Kalau begitu, Ayo! Cepat! Kita
pergi dari sini! Aku sudah tidak tahan bau apek di kamr ini!”
Ia diam saja. Membuka bajunya.
Lantas terkapar. Kulihat tato kupu-kupu itu. rasanya makin aneh dan makin
mendebarkan.
”Aku akan tetap disini. Menanti
setiap orang yang datang dan pergi. Aku akan tetap setia padanya, meskipun ia
tak akan pernah mengawiniku.”
Goblok! Goblok! Ia seorang wanita
yang bodoh atau mulia?
”Baiklah. Kalau begitu, sebagai
pelacur kebeli dirimu. Kukawini kamu. Kubayar kamu seharga 500.000 dollar
Amerika ”
”No,” jawabnya tanpa
menatapku, namun nadanya menegaskan ia memang sunguh-sungguh.
”Kamu memang bodoh sekali
kekasihku, alagkah bodohnya kamu. Dari dolly samapi St Paulli belum pernah
kutemui pelacur seperti kamu. Apakah kamu memang seorang pelacur kekasihku?”
Seekor kecoa terbang, dari atas
lemari ke kutang, yang trgantung di jemuran.
”Mungkin aku bodoh. Tapi aku punya
cinta. Pelacur profesiku. Cuma lima
ribu tarifku. Tapi tak kujual diriku. Nyahlah engkau anak muda. Kembalilah ke
Harvard.”
Akhirnya kuambil juga botol bir itu. Kutenggak sampai tandas. Aku ngeloyor pergi. Kutengok kebelakang sekali lagi. Ia masih di jendela itu. Melambaikan tangan seperti dua belas tahun yang lalu. Astaga. Bahkan pelacur pun menolak cintaku. Apakah aku mesti mengiris telingaku seperti Van Gogh? Sistem nilaiku guncang. Ternyata masih ada orang punya cinta. Ternyata masih ada orang bodoh. Terlalu!
Akhirnya kuambil juga botol bir itu. Kutenggak sampai tandas. Aku ngeloyor pergi. Kutengok kebelakang sekali lagi. Ia masih di jendela itu. Melambaikan tangan seperti dua belas tahun yang lalu. Astaga. Bahkan pelacur pun menolak cintaku. Apakah aku mesti mengiris telingaku seperti Van Gogh? Sistem nilaiku guncang. Ternyata masih ada orang punya cinta. Ternyata masih ada orang bodoh. Terlalu!
Jakarta 1989.
No comments:
Post a Comment