Apa kau masih ingat ketika pertama
kali mata kita saling bertemu? Ketika pagi hari yang berselimut kabut tipis,
yang seolah-olah membungkusmu dalam kelambu tipis. Aku menulis ini untukmu, perempuan yang
sudah membuatku tahu bahwa keindahan yang ada di dunia ini tidak akan sempurna
kalau kau tidak ada. Sekarang kau mungkin sedang menonton dorama di salah satu channel televisi yang ada disana dibawah kotatsu yang menghangatkan tubuhmu.
Disana sedang musin dingin kan? Jangan lupa jaga badanmu. Atau mungkin sekarang kau sedang berjalan pulang dari
tempatmu kerja sambilan. Atau jangan-jangan disana pada waktu malam hari kau
berubah jadi pembela kebenaran yang mengawasi keamanan kota dan sekitarnya, aku
tidak tahu. Oh, ngomong-ngomong, disini sedang musim hujan. Salah satu yang
terparah dalam 10 tahun terakhir, bahkan di beberapa tempat banyak pohon yang
tumbang karena anginnya terlalu kencang. Tapi kau jangan khawatir, rumahku
baik-baik saja. Walaupun sempat air dari luar masuk kedalam rumah tanpa permisi.
Hey, aku
rindu.
Oh iya, hampir lupa. Tadi
aku bertanya, apa kau masih ingat pertama kali ketika mata kita saling bertemu?
Iya, pagi itu. Waktu kau duduk di bangku di taman itu. Bangku taman tempatmu
biasa menunggu matahari menyapa punggungmu yang dingin. Kurasa aku sudah pernah
memberitahumu hal ini, tapi aku ingin menceritakannya lagi. Dan kuharap kau
tidak ingat, supaya usahaku untuk menceritakannya jadi tidak sia-sia.
Pagi itu seperti biasanya
aku duduk di bangku pinggir taman untuk menunggu jadwal kuliah pagi. Dan kau
juga seperti biasa duduk di bangku taman lain, tepat di seberang bangku yang
kududuki, di seberang kolam yang melintang diantara taman itu. Aku sudah sering
melihatmu duduk di bangku itu setiap pagi. Sering sekali kulihat kau dengan
setia menyibak halaman demi halaman buku yang kau baca. Kadang aku mendapatimu
sedang melamun dengan kedua tangan yang menopang dagumu. Matamu tertuju nanar
ke arah kolam seolah-olah permukaannya memantulkan rangkaian mimpi dan buah
pikiran yang ada dalam kepalamu. Dan akhirnya pagi itu, suatu pagi yang dingin,
ketika hujan gerimis yang turun sejak subuh tadi baru saja berhenti, pernah
kudapati kau sedang membenarkan letak syal merah marun yang selalu kau kenakan
di lehermu. Dan aku masih ingat, dibawah jaket biru tuamu, kau memakai kaus
kuning lengan panjang yang ujungnya sedikit mencuat dari ujung lengan jaketmu.
Kau tidak tahu betapa indah semua itu dimataku pada waktu itu. Andai saja aku
dapat menghentikan waktu, sudah kuhentikan saat itu agar aku bisa terusnya
melihatnya. Oh, pagi itu tidak akan kulupakan.
Dan semesta tidak bisa
begitu saja mengabulkan permintaanku, karena nyatanya waktu terus berjalan
sampai sekarang. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu kan. Tapi apa artinya
sebuah peristiwa yang sudah lewat kecuali untuk dikenang? Kecuali untuk kau
tahu bahwa setiap momen itu berharga. Terutama setiap momen yang sudah kita
lalui bersama. Sampai mana tadi? Oh, aku juga ingat setiap momen selanjutnya
yang terjadi pagi itu. Kau menaruh buku yang baru saja selasai kau baca
dipangkuanmu. Tanganmu kau jadikan sandaran untuk bersandar ke arah belakang.
Kedua matamu kau tutup dan kau menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar
tanpa tercemar apapun. Kemudian bisa kulihat senyummu yang melengkung seperti
arsiran busur pelangi sehabis hujan di bulan Desember. Di bangku itu kau duduk,
di bangku yang berada diantara pohon-pohon besar yang jadi kanopi hijau.
Diantara rimbun dedaunan yang masih basah oleh tetesan embun yang enggan pergi,
masih tetap bertahan di permukaannya yang halus. Kemudian angin bertiup
perlahan, dedaunan yang rapat menutupi bangku tempat kau duduk sedikit
merenggang. Poni rambutmu tersibak sehingga bisa kulihat utuh paras wajahmu
waktu itu. Dan komorebi, cahaya
matahari yang menembus celah pepohonan, jatuh tepat diatasmu yang masih
tersenyum, seolah-olah kau adalah orang yang paling bahagia dan bersyukur di
bumi ini. Kau salah. Akulah yang waktu itu menjadi manusia yang paling
bersyukur karena bisa melihatmu dalam keadaan sedemikian rupa.
“Aku harus mengajakmu
bicara”, adalah satu-satunya kalimat yang terpikir olehku waktu itu. Tapi
kemudian pikiran-pikiran lain bermunculan.
“Bagaimana kalau dia sudah
punya kekasih? Bagaimana kalau dia sudah menikah? Bagaimana kalau dia punya xenophobia? Phobia orang asing.
Bagaimana kalau dia tidak suka laki-laki? Bagaimana kalau dia laki-laki?”
Ujarku pada diri sendiri. Ah, yang terakhir itu terlalu absurd. Pada akhirnya
aku memutuskan untuk mendekatimu juga, laki-laki harus berani. Kemudian jarak
antara kita semakin terkikis oleh langkah kakiku dan setiap hentakan detak
jantungmu. (ceklis)
Ah, maaf, aku keluar dulu.
Cuaca sedang hujan ketika kutulis kata-kata ini. Kau tahu sendiri kan, rumahku
sering bocor kalau hujan turun. Bapak masih sering membetulkan atap yang bocor,
tapi sekarang bapak sedang ada di rumah paman di luar kota. Jadi tugas sebagai
pembetul atap diserahkan padaku. Andai saja air hujan juga berfungsi sebagai
pengirim pesan, pasti sudah banyak kata rindu dariku yang sampai ke tempatmu. Ibu
sedang di ruang tamu, sedang menjahit pesanan tetangga sambil nonton FTV
kesukaannya. Sampai mana tadi aku bercerita?
Setiap langkah yang kuambil
berarti jarak kita semakin dekat. Aku berjalan menyusuri pinggir kolam itu
menuju bangku tempatmu duduk. Sekarang sudah seperempat jalan. Waktu itu aku
tidak tahu apa yang akan kukatakan padamu. Aku hanya berjalan mengikuti langkah
kakiku. Di tengah perjalanan jantungku berdetak semakin cepat. Adrenalin yang
terpompa malah menggetarkan lututku, lebih baik kuhentikan saja langkahku dan
kembali ke tempatku duduk. Hanya butuh waktu sepersekian detik untuk sadar
bahwa kau sedang menatapku lekat-lekat. Aku balik menatapmu. Waktu terhenti. Daun-daun
yang tertiup angin berhenti di udara, kepak sayap 4 ekor burung merpati juga
terhenti. Dunia berubah jadi padang rumput seluas mata memandang. Didalamnya
hanya ada kita berdua yang saling bertatapan. Satu detakan jantung kemudian,
waktu kembali berjalan. Dunia kembali seperti semula. Kita masih saling bertatapan,
kau tersenyum tipis dan keudian memalingkan mukamu ke arah lain. Saat itu juga
aku sadar, lututku sudah tak bergetar lagi. Kulanjutkan langkahku, jarak kita
semakin dekat.
Kau sedang duduk memandang
kolam sambil menopang pada kedua tangan, kedua kakimu kau ayunkan satu persatu
ke depan dan ke belakang. Aku berdiri di belakang selama beberapa saat,
bingung, apa sedang ku lakukan disini. Kemudian aku mengambil tindakan pertama
untuk duduk disamping kananmu. Kau masih saja melakukan hal yang sama, seolah
tidak menyadari keberadaanku disana. Setelah memperhatikanmu dari dekat, semua
pikiran absurd yang tadi hilang. Kau memang secantik waktu kulihat dari
kejauhan. Bahkan jauh lebih cantik ketika kulihat kau tersenyum tanpa beban
seperti ini.
“Kau terlambat,” katamu.
Aku yang masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi hanya bisa melihatmu
dengan tatapan mata yang bingung. Terlambat apa? Sekolah? Mengejar jadwal
kereta?
“harusnya kau duduk disana
lebih awal lagi.” Lanjutmu.
Rupanya kau sadar sudah
sejak lama aku terus memperhatikanmu duduk di taman itu.
“Oh, rupanya kau sadar
juga ya, hehe.”
“Tentu saja, aku hebat
kan?” katamu sambil tersenyum ke arahku. Tentu saja kau hebat.
“Miwa.” Katamu lagi sambil
mengulurkan tangan.
“Safran.” Kataku sambil
menerima uluran tanganmu.
Kemudian kau dan aku
berbicara tentang segala sesuatunya. Kau masih ingat apa saja itu? Semoga kau
tidak ingat, supaya aku bisa mengingatkannya lagi untukmu. Kau
bertanya mengapa aku selalu duduk di bangku itu setiap pagi. Pertanyaan yang
sama yang selalu ingin kutanyakan padamu. Tidak butuh waktu lama untuk
mengetahui kalau kau adalah makhluk yang menakjubkan. Melalui percakapan kita
pagi itu, aku jadi tahu banyak tentangmu. Tentang kau yang suka dengan novel
fiksi dan sejarah. Tentang kau yang suka wangi tanah sehabis hujan. Tentang kau
yang ternyata juga suka memperhatikanku dari bangkumu. Dan juga tentangmu yang
dua minggu lagi harus pergi ke Jepang untuk melanjutkan studimu disana. Pantas
saja kau bilang aku terlambat waktu itu.
Pagi
itu kita terus berlayar menaiki perahu kata-kata diatas aliran percakapan yang
tenang. Kadang arusnya jadi deras waktu kita bicara tentang keresahan
masing-masing. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanya mendayung perahu itu
untuk tahu kemana ia akan berlabuh. Pelabuhan pertama tempat sauh kita jatuhkan
adalah kenyataan tentang aliran waktu yang deras, yang mengubah pagi menjadi
keramaian dan jadwal masing-masing sehingga kita harus berpisah. Oh, sejak hari
itu, pusat gravitasi kurasa berpindah dari inti bumi menjadi dirimu. Karena
tarikan terkuat yang kurasa bukan lagi berasal dari tanah, tapi dari pesonamu
yang berubah jadi rindu. Besok pagi kita akan bertemu lagi.
Hari-hari
berikutnya tidak sama lagi semenjak pagi itu ketika kita saling berbicara. Aku
tidak pernah lagi duduk di bangku yang biasa kududuki itu lagi. Kau juga tahu
alasannya kan? Sejak hari itu aku selalu duduk di bangku yang sama denganmu. Dan kalau dipikir-pikir
lagi, selama dua minggu itu kita tidak pernah bertemu di tempat lain. Kita
hanya bertemu pada pagi hari di bangku itu. Tapi sungguh bagiku itu sangat
menyenangkan sekali, hanya duduk berdua denganmu. Selalu menyenangkan
mendengarkanmu bercerita tentang semuanya. Ketika kau bercerita, aku selalu
memperhatikan lengkung sudut bibirmu yang terangkat oleh tawa kecilmu. Ada yang
bilang bahwa laki-laki itu jatuh cinta karena melihat, sementara perempuan
karena mendengar. Sejak pertama melihat, aku memang sudah jatuh dalam pesonamu,
tapi mendengarkan cerita-cerita ajaibmu semakin membuatku jatuh ke dalam
duniamu. Aku tidak keberatan, karena nyatanya aku malah senang. Setelah
hari-hari itu, apa kau juga bahwa kita memiliki banyak kesamaan? Karena aku
merasa begitu.
Dan
apa kau masih ingat hari itu, satu hari sebelum kau pergi, kita masih sedang
bercakap-cakap seperti biasa, dan sadar bahwa itu mungkin hari terakhir kita
bertemu. Hari itu kebetulan kita berdua sedang tidak punya hal lain untuk
dilakukan, hanya bercanda diantara riuh angin yang menerpa daun. Hari pun sudah
berubah menjadi sore. Diantara kata tiba-tiba kau terdiam, hanya memandang
kedua mataku dengan lekat. Aku sama sekali tidak tahu apa yang ada di pikiranmu
saat itu Tapi aku bisa tahu bahwa saat itu kita sedang merasakan keresahan yang
sama, berpisah satu sama lain. Pada akhirnya kita hanya bisa berharap pada
keikhlasan masing-masing pihak untuk saling merelakan. Sejak pertama bertemu,
kita sudah siap bahwa perpisahan adalah suatu yang pasti. Sesuatu yang harus
siap kita hadapi kapanpun waktunya. Aku berdiri sambil terus menatap matamu
lekat-lekat. Kuambil tangan kananmu dan berkata, “Kau mau pulang kan? Biar
kuantar sampai stasiun.” Kemudian kita berjalan di sepanjang pinggir kolam
taman sampai ke pintu masuk. Kita masih berjalan dalam diam menuju stasiun
kereta yang jaraknya tidak begitu jauh.
Di
stasiun kereta pun kita masih saling berdiam diri. Tidak ada yang mau mulai
bicara karena kau dan aku tahu isinya tak akan bagus. Tapi bagaimanapun juga,
perahu kita sudah sampai di pelabuhan terakhirnya.
“Besok
kau akan pergi dengan perahumu sendiri yang terbuat dari rangkaian
mimpi-mimpimu. Kalau arus kehidupan memang akan membawa kembali perahumu ke
duniaku, kita pasti bisa bertemu lagi,” kataku kepadamu. Selama beberapa saat
kau hanya terdiam, dengan wajahmu yang tertunduk lemas, aku masih bisa melihat
matamu yang sembab oleh tetesan air mata yang jatuh tanpa bisa kau tahan.
Keretamu sebentar lagi tiba.
Tiba-tiba
kau memegang bagian depan kemejaku dengan kedua tanganmu, bisa kurasakan
tanganmu yang bergetar menahan air mata.
“Kau
akan menungguku kan?” katamu tanpa mengangkat muka.
“Tentu
saja, selama kau juga tetap bisa menjaga dirimu disana. Jangan sedih, sudah
seharusnya kau pergi sekarang kan? Tetaplah berpegang pada keikhlasanmu untuk
melepaskan. Disana pasti lebih baik untukmu.”
Kemudian
kau lepaskan tanganmu dari kemejaku, untuk terakhir kalinya kau tersenyum
padaku.
“Jangan
ucapkan selamat tinggal. Nanti kita pasti bertemu lagi. Terima kasih untuk
semuanya. Katamu seraya pergi menuju gerbong kereta yang akan akan mambawamu
pulang ke rumah.
Kau
masih ingat cerita itu kan? Sudah lama juga kita tidak bertemu. Kalau kau ingin
tahu, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tidak lewat media apapun. Aku ingin
bertemu denganmu langsung. Kerinduan yang kusimpan sudah terlampau besar untuk
kutahan. Kudengar dari kakakmu, sebentar lagi kau akan pulang kesini. Seperti
janji kita dulu, kita akan bertemu lagi. Aku akan menunggumu di bandara, Miwa.
No comments:
Post a Comment