Friday, June 6, 2014

Untuk Miwa

oleh: Sanda Nuryandi


            Apa kau masih ingat ketika pertama kali mata kita saling bertemu? Ketika pagi hari yang berselimut kabut tipis, yang seolah-olah membungkusmu dalam kelambu tipis. Aku menulis ini untukmu, perempuan yang sudah membuatku tahu bahwa keindahan yang ada di dunia ini tidak akan sempurna kalau kau tidak ada. Sekarang kau mungkin sedang menonton dorama di salah satu channel televisi yang ada disana dibawah kotatsu yang menghangatkan tubuhmu. Disana sedang musin dingin kan? Jangan lupa jaga badanmu. Atau mungkin sekarang kau sedang berjalan pulang dari tempatmu kerja sambilan. Atau jangan-jangan disana pada waktu malam hari kau berubah jadi pembela kebenaran yang mengawasi keamanan kota dan sekitarnya, aku tidak tahu. Oh, ngomong-ngomong, disini sedang musim hujan. Salah satu yang terparah dalam 10 tahun terakhir, bahkan di beberapa tempat banyak pohon yang tumbang karena anginnya terlalu kencang. Tapi kau jangan khawatir, rumahku baik-baik saja. Walaupun sempat air dari luar masuk kedalam rumah tanpa permisi. Hey, aku rindu.
           Oh iya, hampir lupa. Tadi aku bertanya, apa kau masih ingat pertama kali ketika mata kita saling bertemu? Iya, pagi itu. Waktu kau duduk di bangku di taman itu. Bangku taman tempatmu biasa menunggu matahari menyapa punggungmu yang dingin. Kurasa aku sudah pernah memberitahumu hal ini, tapi aku ingin menceritakannya lagi. Dan kuharap kau tidak ingat, supaya usahaku untuk menceritakannya jadi tidak sia-sia.

            Pagi itu seperti biasanya aku duduk di bangku pinggir taman untuk menunggu jadwal kuliah pagi. Dan kau juga seperti biasa duduk di bangku taman lain, tepat di seberang bangku yang kududuki, di seberang kolam yang melintang diantara taman itu. Aku sudah sering melihatmu duduk di bangku itu setiap pagi. Sering sekali kulihat kau dengan setia menyibak halaman demi halaman buku yang kau baca. Kadang aku mendapatimu sedang melamun dengan kedua tangan yang menopang dagumu. Matamu tertuju nanar ke arah kolam seolah-olah permukaannya memantulkan rangkaian mimpi dan buah pikiran yang ada dalam kepalamu. Dan akhirnya pagi itu, suatu pagi yang dingin, ketika hujan gerimis yang turun sejak subuh tadi baru saja berhenti, pernah kudapati kau sedang membenarkan letak syal merah marun yang selalu kau kenakan di lehermu. Dan aku masih ingat, dibawah jaket biru tuamu, kau memakai kaus kuning lengan panjang yang ujungnya sedikit mencuat dari ujung lengan jaketmu. Kau tidak tahu betapa indah semua itu dimataku pada waktu itu. Andai saja aku dapat menghentikan waktu, sudah kuhentikan saat itu agar aku bisa terusnya melihatnya. Oh, pagi itu tidak akan kulupakan.
            Dan semesta tidak bisa begitu saja mengabulkan permintaanku, karena nyatanya waktu terus berjalan sampai sekarang. Aku tidak bisa kembali ke masa lalu kan. Tapi apa artinya sebuah peristiwa yang sudah lewat kecuali untuk dikenang? Kecuali untuk kau tahu bahwa setiap momen itu berharga. Terutama setiap momen yang sudah kita lalui bersama. Sampai mana tadi? Oh, aku juga ingat setiap momen selanjutnya yang terjadi pagi itu. Kau menaruh buku yang baru saja selasai kau baca dipangkuanmu. Tanganmu kau jadikan sandaran untuk bersandar ke arah belakang. Kedua matamu kau tutup dan kau menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar tanpa tercemar apapun. Kemudian bisa kulihat senyummu yang melengkung seperti arsiran busur pelangi sehabis hujan di bulan Desember. Di bangku itu kau duduk, di bangku yang berada diantara pohon-pohon besar yang jadi kanopi hijau. Diantara rimbun dedaunan yang masih basah oleh tetesan embun yang enggan pergi, masih tetap bertahan di permukaannya yang halus. Kemudian angin bertiup perlahan, dedaunan yang rapat menutupi bangku tempat kau duduk sedikit merenggang. Poni rambutmu tersibak sehingga bisa kulihat utuh paras wajahmu waktu itu. Dan komorebi, cahaya matahari yang menembus celah pepohonan, jatuh tepat diatasmu yang masih tersenyum, seolah-olah kau adalah orang yang paling bahagia dan bersyukur di bumi ini. Kau salah. Akulah yang waktu itu menjadi manusia yang paling bersyukur karena bisa melihatmu dalam keadaan sedemikian rupa.
            “Aku harus mengajakmu bicara”, adalah satu-satunya kalimat yang terpikir olehku waktu itu. Tapi kemudian pikiran-pikiran lain bermunculan.
            “Bagaimana kalau dia sudah punya kekasih? Bagaimana kalau dia sudah menikah? Bagaimana kalau dia punya xenophobia? Phobia orang asing. Bagaimana kalau dia tidak suka laki-laki? Bagaimana kalau dia laki-laki?” Ujarku pada diri sendiri. Ah, yang terakhir itu terlalu absurd. Pada akhirnya aku memutuskan untuk mendekatimu juga, laki-laki harus berani. Kemudian jarak antara kita semakin terkikis oleh langkah kakiku dan setiap hentakan detak jantungmu. (ceklis)
            Ah, maaf, aku keluar dulu. Cuaca sedang hujan ketika kutulis kata-kata ini. Kau tahu sendiri kan, rumahku sering bocor kalau hujan turun. Bapak masih sering membetulkan atap yang bocor, tapi sekarang bapak sedang ada di rumah paman di luar kota. Jadi tugas sebagai pembetul atap diserahkan padaku. Andai saja air hujan juga berfungsi sebagai pengirim pesan, pasti sudah banyak kata rindu dariku yang sampai ke tempatmu. Ibu sedang di ruang tamu, sedang menjahit pesanan tetangga sambil nonton FTV kesukaannya. Sampai mana tadi aku bercerita?
            Setiap langkah yang kuambil berarti jarak kita semakin dekat. Aku berjalan menyusuri pinggir kolam itu menuju bangku tempatmu duduk. Sekarang sudah seperempat jalan. Waktu itu aku tidak tahu apa yang akan kukatakan padamu. Aku hanya berjalan mengikuti langkah kakiku. Di tengah perjalanan jantungku berdetak semakin cepat. Adrenalin yang terpompa malah menggetarkan lututku, lebih baik kuhentikan saja langkahku dan kembali ke tempatku duduk. Hanya butuh waktu sepersekian detik untuk sadar bahwa kau sedang menatapku lekat-lekat. Aku balik menatapmu. Waktu terhenti. Daun-daun yang tertiup angin berhenti di udara, kepak sayap 4 ekor burung merpati juga terhenti. Dunia berubah jadi padang rumput seluas mata memandang. Didalamnya hanya ada kita berdua yang saling bertatapan. Satu detakan jantung kemudian, waktu kembali berjalan. Dunia kembali seperti semula. Kita masih saling bertatapan, kau tersenyum tipis dan keudian memalingkan mukamu ke arah lain. Saat itu juga aku sadar, lututku sudah tak bergetar lagi. Kulanjutkan langkahku, jarak kita semakin dekat.
            Kau sedang duduk memandang kolam sambil menopang pada kedua tangan, kedua kakimu kau ayunkan satu persatu ke depan dan ke belakang. Aku berdiri di belakang selama beberapa saat, bingung, apa sedang ku lakukan disini. Kemudian aku mengambil tindakan pertama untuk duduk disamping kananmu. Kau masih saja melakukan hal yang sama, seolah tidak menyadari keberadaanku disana. Setelah memperhatikanmu dari dekat, semua pikiran absurd yang tadi hilang. Kau memang secantik waktu kulihat dari kejauhan. Bahkan jauh lebih cantik ketika kulihat kau tersenyum tanpa beban seperti ini.
            “Kau terlambat,” katamu. Aku yang masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi hanya bisa melihatmu dengan tatapan mata yang bingung. Terlambat apa? Sekolah? Mengejar jadwal kereta?
            “harusnya kau duduk disana lebih awal lagi.” Lanjutmu.
            Rupanya kau sadar sudah sejak lama aku terus memperhatikanmu duduk di taman itu.
            “Oh, rupanya kau sadar juga ya, hehe.”
            “Tentu saja, aku hebat kan?” katamu sambil tersenyum ke arahku. Tentu saja kau hebat.
            “Miwa.” Katamu lagi sambil mengulurkan tangan.
            “Safran.” Kataku sambil menerima uluran tanganmu.
            Kemudian kau dan aku berbicara tentang segala sesuatunya. Kau masih ingat apa saja itu? Semoga kau tidak ingat, supaya aku bisa mengingatkannya lagi untukmu. Kau bertanya mengapa aku selalu duduk di bangku itu setiap pagi. Pertanyaan yang sama yang selalu ingin kutanyakan padamu. Tidak butuh waktu lama untuk mengetahui kalau kau adalah makhluk yang menakjubkan. Melalui percakapan kita pagi itu, aku jadi tahu banyak tentangmu. Tentang kau yang suka dengan novel fiksi dan sejarah. Tentang kau yang suka wangi tanah sehabis hujan. Tentang kau yang ternyata juga suka memperhatikanku dari bangkumu. Dan juga tentangmu yang dua minggu lagi harus pergi ke Jepang untuk melanjutkan studimu disana. Pantas saja kau bilang aku terlambat waktu itu.
Pagi itu kita terus berlayar menaiki perahu kata-kata diatas aliran percakapan yang tenang. Kadang arusnya jadi deras waktu kita bicara tentang keresahan masing-masing. Satu-satunya yang bisa kita lakukan hanya mendayung perahu itu untuk tahu kemana ia akan berlabuh. Pelabuhan pertama tempat sauh kita jatuhkan adalah kenyataan tentang aliran waktu yang deras, yang mengubah pagi menjadi keramaian dan jadwal masing-masing sehingga kita harus berpisah. Oh, sejak hari itu, pusat gravitasi kurasa berpindah dari inti bumi menjadi dirimu. Karena tarikan terkuat yang kurasa bukan lagi berasal dari tanah, tapi dari pesonamu yang berubah jadi rindu. Besok pagi kita akan bertemu lagi.
Hari-hari berikutnya tidak sama lagi semenjak pagi itu ketika kita saling berbicara. Aku tidak pernah lagi duduk di bangku yang biasa kududuki itu lagi. Kau juga tahu alasannya kan? Sejak hari itu aku selalu duduk di bangku  yang sama denganmu. Dan kalau dipikir-pikir lagi, selama dua minggu itu kita tidak pernah bertemu di tempat lain. Kita hanya bertemu pada pagi hari di bangku itu. Tapi sungguh bagiku itu sangat menyenangkan sekali, hanya duduk berdua denganmu. Selalu menyenangkan mendengarkanmu bercerita tentang semuanya. Ketika kau bercerita, aku selalu memperhatikan lengkung sudut bibirmu yang terangkat oleh tawa kecilmu. Ada yang bilang bahwa laki-laki itu jatuh cinta karena melihat, sementara perempuan karena mendengar. Sejak pertama melihat, aku memang sudah jatuh dalam pesonamu, tapi mendengarkan cerita-cerita ajaibmu semakin membuatku jatuh ke dalam duniamu. Aku tidak keberatan, karena nyatanya aku malah senang. Setelah hari-hari itu, apa kau juga bahwa kita memiliki banyak kesamaan? Karena aku merasa begitu.
Dan apa kau masih ingat hari itu, satu hari sebelum kau pergi, kita masih sedang bercakap-cakap seperti biasa, dan sadar bahwa itu mungkin hari terakhir kita bertemu. Hari itu kebetulan kita berdua sedang tidak punya hal lain untuk dilakukan, hanya bercanda diantara riuh angin yang menerpa daun. Hari pun sudah berubah menjadi sore. Diantara kata tiba-tiba kau terdiam, hanya memandang kedua mataku dengan lekat. Aku sama sekali tidak tahu apa yang ada di pikiranmu saat itu Tapi aku bisa tahu bahwa saat itu kita sedang merasakan keresahan yang sama, berpisah satu sama lain. Pada akhirnya kita hanya bisa berharap pada keikhlasan masing-masing pihak untuk saling merelakan. Sejak pertama bertemu, kita sudah siap bahwa perpisahan adalah suatu yang pasti. Sesuatu yang harus siap kita hadapi kapanpun waktunya. Aku berdiri sambil terus menatap matamu lekat-lekat. Kuambil tangan kananmu dan berkata, “Kau mau pulang kan? Biar kuantar sampai stasiun.” Kemudian kita berjalan di sepanjang pinggir kolam taman sampai ke pintu masuk. Kita masih berjalan dalam diam menuju stasiun kereta yang jaraknya tidak begitu jauh.
Di stasiun kereta pun kita masih saling berdiam diri. Tidak ada yang mau mulai bicara karena kau dan aku tahu isinya tak akan bagus. Tapi bagaimanapun juga, perahu kita sudah sampai di pelabuhan terakhirnya.
“Besok kau akan pergi dengan perahumu sendiri yang terbuat dari rangkaian mimpi-mimpimu. Kalau arus kehidupan memang akan membawa kembali perahumu ke duniaku, kita pasti bisa bertemu lagi,” kataku kepadamu. Selama beberapa saat kau hanya terdiam, dengan wajahmu yang tertunduk lemas, aku masih bisa melihat matamu yang sembab oleh tetesan air mata yang jatuh tanpa bisa kau tahan. Keretamu sebentar lagi tiba.
Tiba-tiba kau memegang bagian depan kemejaku dengan kedua tanganmu, bisa kurasakan tanganmu yang bergetar menahan air mata.
“Kau akan menungguku kan?” katamu tanpa mengangkat muka.
“Tentu saja, selama kau juga tetap bisa menjaga dirimu disana. Jangan sedih, sudah seharusnya kau pergi sekarang kan? Tetaplah berpegang pada keikhlasanmu untuk melepaskan. Disana pasti lebih baik untukmu.”
Kemudian kau lepaskan tanganmu dari kemejaku, untuk terakhir kalinya kau tersenyum padaku.
“Jangan ucapkan selamat tinggal. Nanti kita pasti bertemu lagi. Terima kasih untuk semuanya. Katamu seraya pergi menuju gerbong kereta yang akan akan mambawamu pulang ke rumah.
Kau masih ingat cerita itu kan? Sudah lama juga kita tidak bertemu. Kalau kau ingin tahu, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tidak lewat media apapun. Aku ingin bertemu denganmu langsung. Kerinduan yang kusimpan sudah terlampau besar untuk kutahan. Kudengar dari kakakmu, sebentar lagi kau akan pulang kesini. Seperti janji kita dulu, kita akan bertemu lagi. Aku akan menunggumu di bandara, Miwa.

No comments:

Post a Comment