Tak biasanya ia duduk sendiri di
bangku stasiun kereta api sambil termenung. Kekasihnya baru saja
meninggalkannya kemarin. Sekarang ia hanya bisa termenung dan membayangkan wajah kekasihnya seperti
terbawa arus derasnya kereta api.
Seperti prosa, hujan dan senja
selalu membawa kesedihan pada tokohnya. Tetapi sekarang di stasiun ini, ia tak
menemukan sedikit pun bulir air yang jatuh ke atap stasiun. Sedangkan senja
masih terlalu lama untuk dinanti. Sekarang pukul 10.00, masih ada 44 menit lagi
untuk meninggalkan stasiun tua ini.
Ia pulang cepat hari ini.
Bandung-Cicalengka. Rute yang selalu ia lalui dengan kebahagiaan. Ia bahkan tak
percaya bahwa barui kemarin ia pulang bersama kekasihnya dan sekarang ia harus
pulang bersama kesedihan. Padahal ia masih mencintai sang kekasih.
***
Di salah satu sudut stasiun,
terlihat seorang pria agak kecil dengan pakaian khasnya yang hitam. Mungkin ia
sedikit kelelahan setelah menjalani kehidupannya seharian ini. tetapi
kelelahannya selalu lenyap saat ia pulang, karena sekarang ia sedang duduk di
samping kekasihnya. Kelelahan selalu terkikis sedikit demi sedikit setiap kali
ia memandangi sosok dengan kerudung coklat panjang dan berkacamata di
sampingnya.
Saat ini jam menunjukkan pukul
16.00. Pria itu mulai membuka pembicaraan agar waktu tak terlalu membeku saat
itu, meskipun jika bisa ia ingin seperti itu selamanya. Biarlah waktu membeku
agar kekasihnya tetap di sampingnya.
“Oh Orion, hari ini adalah hari yang
begitu menyenangkan bagiku.”
Dan pembicaraan pun mengalir
sebagaimana mestinya, yaiu diawalai sebuah pertanyaan klise dan diakhiri oleh
sebuah jawaban yang klise pula. Tetapi, keklisean bukanlah sebuah hal yang
harus pria itu permasalahkan sekarang, karena justru baginya keklisean adalah
salah satu cara untuk membuat dunia tidak kaku.
Waktu akhirnya telah mencair dan
mengalir. 24 menit telah mereka habiskan sejak kata pertama mereka terlontar
untuk menghangatkan waktu di stasiun tua ini. Waktu begitu cepat mengalir
ketika mereka menikmatinya.
“Hati-hati jalur 2 dari arah barat
akan segera masuk KRD Ekonomi tujuan akhir Cicalengka.” Suara dari pengeras
suara stasiun itu akhirnya menggelegar dan memutus pembicaraan sepasang kekasih
itu.
“Baiknya kita akhiri obrolan kita
sejenak, Orion”
“Ya”
Pria itu akhirnya menghempaskan
tubuhnya ke udara untuk berdiri, merenggangkan tubuhnya sejenak kemudian
berjalan mengikuti kekasihnya yang tergesa-gesa. Mereka berjalan menuju kereta
senjanya seperti biasa. Dan seperti biasanya pula pria itu selalu berpikir dan
menggerutu dalam hati tentang cepatnya kedatangan kereta.
Rasanya pria itu ingin sekali
menahan kereta supaya tak segera datang. Ia ingin tetap menghabiskan waktu
bersama kekasihnya lebih lama. Meskipun ia hanya bisa memandangnya saja,
asalkan ia bisa bersama kekasihnya lebih lama maka taka pa. pria itu paham,
setelah kereta sampai ke tujuannya ia tidak akan bertemu lagi dengan kekasihnya
sampai senja mempertemukan mereka kembali seperti sekarang ini.
Mereka pun akhirnya menaiki kereta
seperti biasanya. Ikut berjejal-jejal dengan para penumpang lainnya tapi pada
akhirnya mereka mendapatkan tempat duduk yang bersebalahan di dalam kereta.
Obrolan pun berlanjut di dalam kereta hingga tidak terasa kereta pun beranjak
meninggalkan stasiun Bandung dan menghempaskan udara menuju Cicalengka.
Kereta itu melaju dengan kecepatan
yang wajar tanpa memeperdulikan para penumpang tetapi sesekali berhenti sejenak
di setiap stasiun yang ia lewati. Pria itu masih berbincang dengan keksaihnya.
Mere3ka membincangkan kehidupan yang lalu maupun yang mungkin akan datang. Tak
ada yang lebih menyenangkan dari pada berbincang dengan kekasihnya, itulah yang
dipikirkan pria itu. Deru kereta api terus menjadi lagu latar perbincangan
mereka.
“Pemandangan di luar sana” kata
lelaki itu sambil memnadang pesawahan yang membentang di balik kaca jendela,
“selalu membuat hatiku tenang” lanjutnya.
“Ya” kini kekasihnya member
perhatian lebih.
“Juga kau, Mawar” kini kekasihnya
tersenyum, kemudia sunyi menjadi akrab dengan mereka.
Kereta kembali terhenti. Sekarang
adalah stasiun Cimekar. Tak ada yang pemandangan baru bagi mereka, pemandangan
diluar masih sama seperti hari sebelumnya. Pesawahan yang membentang,
perumahan, dan stadion Sepak bola yang sedang dibangun. Namun, pria itu masih
berharap semoga kereta tidak terlalu terburu-buru untuk melaju kembali.
Mereka masih terdiam. Kebersamaan
mereka memang tidak memerlukan bahasa sebagai perantara. Bahasa bagi mereka
mungkin hanya formalitas dari kebersamaan. Karena mungkin kesunyian pun bisa
menjadi hal yang menarik bagi mereka.
Dalam kesunyian itu, tiba-tiba
Handphone kekasihnya bordering tanda telepon dari seseorang. Pria itu pun
melirik sebentar sekedar tertarik perhatiannya. Dan ia dapati sebuah nama dalam
handphone kekasihnya. Di sana tertulis “My Abi” . Senyum mulai terkembang dari
wajah kekasihnya namun sedikit tertahan. Lalu dengan cepat kekasihnya menerima
panggilan tersebut sambil berharap bahwaia tak sempat melihat nama kontak yang
memangil itu.
Pria itu mengerti, maka buru-buru ia
palingkan wajahnya kea rah lain. Di sampingnya, kekasihnya mulai berbicara
setelah beberapa detik mendengarkan suara dari handphonenya.
“Sekarang aku sedang di perjalan
pulang. Aku akan menelponmu lagi nanti” kata kekasihnya. Setalah memastikan
kata “ya” dari ujung telepon itu, kekasihnya pun menutup panggilan tersebut dan
kembali ke dalam kesunyian yang mereka buat tadi.
“Siapa?” tanya pria itu. Seakan-akan
ia tidak tahu dan juga ingin memastikan suatu hal.
“Teman” jawab kekasihnya singkat.
Pria itu pun mengerti suatu hal
kini. Ia mengerti mungkiin keindahan yang ia miliki sekarang hanyalah semu
belaka. Ada rasa sedih yang menyerang secara tiba-tiba sekarang dan dadanya
diliputi rasa sesak. Pria itu mengambil sehela napas panjang dan menundukkan
kepalanya untuk mencari sisa-sisa udara di dalam kereta. Mungkin udara itu
dapat mengisi ruang yang mendadak kosong dalam dadanya supaya ia tidak lagi
merasa sesak.
Kereta pun melaju setelah istirahat
sejenak meninggalkan stasiun Cimekar. Sekarang kesunyian terasa lebih mencekam
dari biasanya. Kesunyian seperti bukan lagi perantara antara ia dan kekasihnya.
Deru kereta seperti membawa kepingan kesedihan kepada pria itu untuk dihisap
sebagai pengganti udara.
Kesunyian itu telah membuat waktu
seakan membisu hingga mereka sampai ke stasiun Rancaekek. Kereta kembali
berhenti, tetapi tak ada satu kata pun yang mereka keluarkan.
“aku akan turun di sini, Orion” kata
perempuan itu, sedangkan pria itu tidak tahu apa yang harus ia katakana
selanjutnya.
Pria itu hanya menunduk dengan sedih
setelah mendengar perkataan dari kekasihnya. Dan sedetik kemudian kekasihnya
pun bangkit dan meninggalkan pria itu di dalam kereta.
Pria itu hanya mampu memandang kekasihnya yang meninggalkannya begitu saja. Ia
mendengar derap langkahnya seperti gendering kesedihan dalam telinganya.
Kerudung coklat itu mengibaskan udara seakan mengucapkan selamat tinggal untuk
selamanya. Pada akhirnya pria itu sadar bahwa kekasihnya telah berada di luar
kereta dan juga telah mengeluarkan ia dari hati kekasihnya.
***
Waktu telah menunjukkan pukul 10.44
di stasiiun Bandung ini. tak terasa sudah 44 menit ia mengingat kembali
keksaihnya sambil menulisakn sebuah puisi. Kereta tujuan Cicalengka akan segera
datang dan ia pun akan segera pulang.
Perjalanan kali ini sungguh biasa.
Kereta berhenti berkali-kali di stasiun yang membawa kenangan.
Di Stasiun Rancaekek, ia akhirnya
kembali bersedih.
“Hanya sampai Rancaekek ternyata.
Aku tak mampu memabwanya samapi Cicalengka” katanya sambil terus mengingat
wajah kekasihnya.
Perjalanan kembali berlanjut. Kereta
samapi di Stasiun Cicalengka dengan biasa. Pria itu pun kembali ke rumahnya. Ia
ingin meninggalkan kenangannya di stasiun tetapi kenangan itu telah terikat
dengan erat pada tubuhnya, maka ia pun membawanya pada kamarnya.
Di kamarnya, ia kembali membuka
puisi-puisi yang pernah ia berikan pada kekasihnya. Sesekali pada puisi
tersebut tertulis “untuk Mawar”. Ia kembali membaca puisi-puisi itu dengan
perlahan sambil membawa kenangan hingga malam menjelang.
Sekarang ia berpikir kembali, apakah
benar sorang perempuan yang kemarin bersamanya dapat ia sebut sebagai kekasih?
Padahal perempuan itu telah memiliki seseorang yang lain di hatinya.
Maka malam itu pun ia menekan sebuah
nomor pada handphonenya. Kemudian seketika itu juga untuk memastikan
kehidupannya.
“Halo” suara seseorang muncul dari
telepon dengan merdunya.
“Anggrek, aku akan menikah denganmu”
Di stasiun Rancaekek, pisau sunyi menancap kejam
dalam sekali
tusukan. Kata-kata mengunci diri dalam hati.
Selepas itu kenangan tertinggal dalam gerbong
menjelma kau.
dan aku terpaku menyesali diri ketika jejak-jejakmu
tak sempat
kupunguti dan tersapu dalam sepi.
Sudah tiga bulan sejak penghujan datang dan
membawamu pergi.
Kini Desember datang dan membawa segala tentangmu
Di dalamnya: pisau
sepi yang telah tercabut dari jantungku, panah
patah
eros, kunci yang sempat mengunci kata, jejak-jejak
yang
sempat tersapu, juga bayanganmu dalam cermin waktu
Dan hujan akhir tahun mengukir wajahmu seperti
ribuan kembang api yang
jatuh berwarna dan berwarni, kemudian gelap
seketika.
Stasiun Bandung,
2012
Keren gan, keep writing :D
ReplyDeleteThanks bro
ReplyDelete