oleh: Acep Zamzam Noor
Kulihat jemarimu yang lentik, dan kusaksikan di langit
Arakan awan mengirimkan senja yang lain
Ke arah kita. Ada warna merah, warna biru yang pupus
Bongkahan-bongkahan kelabu yang melayang jauh
Dari jendela, kulihat sungai Siene yang membelah kota
Dengan jembatan-jembatannya yang penuh ukiran
Seperti rambut ikalmu. Lalu dari puncak apartemen tinggi
Kita berloncatan, meliuk-liuk dan berteriak di udara:
Senja pecah menjadi ribuan isyarat sunyi
Yang mungkin bisa diterjemahkan sebagai hasrat
Atau niat tersembunyi untuk bunuh diri
Masih kuingat tarian perutmu, dan kubayangkan sosokmu
Yang ramping, rautmu yang runcing, dengan alis Aljazairmu
Yang menikam seorang penyair. Di gerbong kereta api
Di sepanjang terowongan yang menembus tubuh tua kota ini
Ada yang menggelepar karena kehilangan kata-kata
Ketika sunyi menyediakan sebuah beranda merah muda
Yang bernama kebisuan. Lalu apakah arti percakapan kita
Dari halte ke halte, menyusuri jalan-jalan yang berliku
Keluar masuk restoran, museum atau toko buku
Sedang yang kutemukan selalu bukan ruang? Demikianlah
Aku mengerti gerak liar sang takdir, hukum awal dan akhir
Pengkhianatan yang kemudian menjadi monumen terkenal
Seperti Bastille yang ramai dikunjungi orang
Di bawah cahaya lampu merkuri, di antara tiang-tiang marmar
Kita merasa lebih tua dari usia bumi yang sebenarnya
Rautmu yang runcing, tatapanmu yang tajam dan berkilat
Seperti ingin membunuhku. Tapi ajal telah beranjak ke timur
Ke lereng-lereng perbukitan, ke Montmartre yang murung
Kini tanganku menyentuh dagumu pelan dan tiba-tiba kurasakan
Sebuah ketajaman yang lain lagi:
Mengapa kecantikan yang luar biasa selalu menghunuskan
Pisau? Seperti senja yang menancapkan satu jawaban
Yang tak mungkin bisa kuucapkan lagi padamu
Tak mungkin bisa kutuliskan di atas pakaian dalammu
*diambil dari blognya
No comments:
Post a Comment