Oleh: Herlangga Juniarko
Saat
ini adalah malam, malam yang begitu ramai untukku, dengan lampu-lampu taman
yang redup seakan hampir padam tertelan malam dan pohon-pohon yang tidak begitu
rindang menghiasi malam yang dingin di taman kota. Dan aku disini dengan kemeja
putih yang tidak dimasukkan kedalam celana katun hitam dan dibalut oleh jas
hitam khas orang kantoran, karena aku kini bekerja sebagai editor majalah
lokal.
Mungkin
saat ini orang-orang sedang bergulat dengan mimpinya masing-masing sambil ketenangan
yang damai mereka dapatkan. Namun di sini, aku sedang menenenangkan hatiku yang
tengah risau bersiap menunggu jawaban, jawaban yang akan menuntunku kearah yang
lebih baik yang akan diberikan oleh seseorang yang dikasih, menenangkan diri
dari setiap kemungkinan yang terjadi pada malam ini. Dalam ragu aku mencoba
mendekati seseorang yang cantik nan jelita yang tengah duduk di bangku taman
yang terbuat dari adukan semen yang entah mengapa seperti selalu menyejukan
hati siapapun yang duduk di atasnya. Dan dia yang dikasih tengah ada di sana
dengan setiap khayalan yang hanya datang secara tiba-tiba.
Saat
aku mencoba mendekati yang dikasih, dadaku tiba-tiba seperti menghentikanku
bagaikan petir yang menyambar tiang yang sudah kokoh dan mantap pada pendiriannya,
petir yang membuat aku sakit di seluruh tubuh. Dan dalam pikiran-pikiran
negatif yang menderaku, aku kembali melihatnya, dengan kacamata kotak layaknya
orang berilmu, dengan kemeja putih yang terlihat lebih tebal dari kemeja
biasanya, dengan rok hitam yang kontras dengan kemejanya menutup hingga kedua
mata kakinya. Mungkin kini dia sudah mulai mencari keberadaanku sambil
meleburkan pikiran di malam yang indah ini.
Pakaiannya
malam ini meningatkanku pada kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, saat aku berjanji
padanya bahwa aku akan melamarnya jika aku sudah menyelesaikan sekolahku dan
sudah mempunyai cukup penghasilan. Dan kini aku bersiap untuk melakukannya.
“Sepuluh
tahun itu lama sekali! Siapapun dapat melakukan apapun dalam tempo sepuluh
tahun” pikiranku memberitahu tahu tanpa permisi dan mampu menghasudku untuk
jatuh sekarang.
”Pergilah!
Lamarlah dia saat ini atau kau akan menyesal selama kau masih bisa bernafas dan
mungkin dunia akan mengutukmu karena itu” bisik hatiku dalam remang-remang
malam bulan april ini.
”Bagaimana
jika dia sudah memiliki yang dikasih?” pikiranku membalas dengan tanpa ampun
membuatku menjadi bimbang.
”Engkau
sudah memegang syaratnya kawan, gelarmu doktor kini dan kau sudah memiliki
cukup penghasilan” hatiku mengingatkanku pada syarat yang diberikannya padaku
jika aku hendak melamarnya.
Malam
makin larut dan sang bulan sudah mulai berkuasa atas para bintang di langit
malam ini. Maka aku pun segera melangkahkan kakiku kearahnya dengan pikiran
negatif yang baru saja ku buang dalam pekat dan dinginnya malam ini. Aku
mendatangi ahli sejarah yang sedari dulu ku kasihi itu.
Kini
dia sudah menyelesaikan kuliahnya pada sarjana tingkat dua dan yang ku ketahui
dia telah bekerja pada bidangnya dengan penghasilan yang cukup tinggi. Hal itu
mungkin akan membuatku mengurungkan niatku untuk ku sunting sebagai istri,
karena pekerjaan ku yang hanya sebagai penulis yang hidup hanya berdasar pada
media masa yang hidup dari masyarakat. Ketakutan
yang selalu muncul akan kebahagiaannya di masa depan telah membuatku merasa
diri tak akan mampu membuatnya hidup dalam kebahagiaan bersamaku.
”Engkau
akan membuatnya bahagia bahkan dalam setiap detiknya, kau akan membuatnya
bahagia bahkan sampai ruang hampa tanpa nyawanya !” hatiku membisikan lagi hal
yang akan membuatku membuang ketakutan yang akan membinasakan diriku sendiri.
“Engkau
sudah mendambakannya sejak lama, maka datangilah dia” hatiku terus
membertitahuku apa yang harus ku perbuat.
Aku
pun mendatanginya dengan langkah yang cukup pasti. Mungkin dia adalah semangat
yang membuatku mampu bertahan dan melawan hidup ini untuk mencapai tujuanku
bahkan mungkin dia adalah tujuanku yang sebenarnya. Di malam ini, malam yang
telah sunyi dari segala ramainya dunia, dia sudah berada di hatiku. Memang hanyalah
dia yang tercantik dihatiku hingga seluruh bintang yang ada di langit malam ini
iri padanya.
Setelah
aku sudah cukup menenangkan hati yang tengah risau ini. Maka aku mendekatinya
sambil berjalan perlahan, sepertinya dia sudah melihatku, tatapan dan senyum
manisnya seakan mengucapkan selamat datang padaku sehingga mampu menghangatkan
udara yang mulai kehilangan oksigen di sini.
“Hai,
sudah lamakah engkau menunggu disini?” aku bertanya padanya dengan mengambil
posisi duduk di sampingnya.
“Mungkin
sampai mentari menyinariku dari timur pun aku akan terus menunggumu disini, di
malam yang akan menjadi sebuah drama yang akan mengalir sendiri” jawabnya
sambil membenarkan posisi duduknya untuk memberi tempat padaku.
“Ya,
drama malam ini mungkin akan menjadi yang terbaik yang pernah ada di taman kota
yang sepi ini.” Aku membenarkan jawabannya itu.
Saat
duduk itu, teringatlah aku pada saat aku dan dia pulang bersama setelah
perkuliahan dan lika-liku hidup di sebuah kota besar, ketika menaiki sebuah
kendaraan besar yang membawa orang-orang yang sibuk dalam hidup mereka. Bersama-sama
kami melebur dalam jenuh dan riangnya setiap orang yang berda di dalam
kendaraan panjang dan gerbong-gerbong yang sudah menjadi saksi bisu dari segala
sejarah manusia itu. Harapan yang selalu ku tinggalkan dalam kereta itu adalah
membantu setiap yang selalu ada di sana dan setiap rasaku pada dia yang
berusaha membunuh segala yang ku pertahankan sampai saat ini.
Kini,
ketika aku melihat jam tanganku yang sudah menunjukan jam sembilan malam, aku
pun mencoba untuk segera mngatakan maksudku padanya. Namun lagi-lagi, otakku
memunculkan kembali bayangan-bayangan yang mencobah membunuh hatiku secara
perlahan-lahan.
“Ayolah
kawan, kenapa harus berhenti sekarang? Kau sudah memulainya dan kau harus
melanjutkannya kembali” hatiku menegaskan padaku apa yang harus kulakukan saat
ini.
”Apakah
aku harus melakukannya sekarang?” pikiranku seperti menjawab hingga aku hampir
siap untuk mundur.
”Kau
harus melakukannya sekarang! Di bawah malam bulan april ini, para bintang akan
menjadi saksimu yang tak akan pernah lupa dan berbohong pada siapapun” hatiku
terus menegaskan hal yang membuatku akan melakukannya
”Ah,
aku baru ingat, dua hari yang akan datang adalah hari yang sangat berharga
baginya, yaitu hari ulang tahunnya” pikiranku mengingatkan sesuatu yang penting
dari hidupnya dan mungkin diriku juga.
”Aku
harus melakukannya saat ini juga dan dua hari lagi aku akan mendatangi ayahnya
untuk meminta sang bidadari yang disayanginya itu untuk menemaniku hingga ajal
yang mampu memisahkan aku dan dia” pikiranku kini memberikan rencana kedepan
yang sangat indah untuk hidupku kedepannya dan sekaligus mengubah hhidupku
selamanya.
Dalam
konflik batin yang kini kian surut dalam terpaan angin malam, langahku semakin
ringan kini untuk menyatakan rasa yang terpendam sejak lama sehingga aku sudah
tak merasakan lagi dinginnya malam yang menggetarkan kulitku. Sebuah langkah
yang ku buat untuk sekedar merasakan hal-hal yang biasa pada manusia namun
merupakan sebuah hal yang cukup istimewa dalam hidup yang ku tempuh kini.
Dalam
sepi yang membuat setiap insan mengalami hal yang luar biasa dalam khayalannya
masing-masing, aku melihat lurus ke depan tanpa berani melihat wajahnya yang
jelita itu. Sedari dulu hingga sekarang aku tak mampu melihat wajahnya lama
sekali bahkan dengan sengaja menyentuh tubuhnya yang indah itu. Aku terus
berusaha mengumpulkan setiap semangat yang tersisa di bumi yang mulai ditelan
malam itu.
”Kau
akan mengatakan sesuatu yang sangat besar saat ini, maka kau akan selalu
bertanggungjawab pada apa yang sudah kau lakukan” hatiku memberikan semangat
yang tersisa dari dalam tubuhku dan mengingatkan kembali sebuah prinsip yang
selalu ku tanamkan sejak aku merasakan dunia yang kejam ini.
Entah
mengapa, keadaanku saat ini terasa sangat bersemangat dalam penyampaian sebuah
rasa yang sejak lama terpendam ini. Sepertinya, setiap kali aku memandang
wajahnya, selalu memberi semangat dalam hidupk.
”Apa
maksud dari engkau untuk mengajakku untuk bertemu di taman ini?” dia bertanya
padaku, sekaligus menghamburkankonflik batin yang tengah melanda diriku ini.
”Aku
ingin membicarakan sesuatu hal yang mungkin akan menjadi sebuah sejarah besar
dalam hidupku dan duniaku ini” jawabku dengan tegas dan hati yang sudah cukup
kuat untuk diriku sendiri.
”Apakah
hal ini ada hubungannya dengan diriku?” dia bertanya, mungkin dengan rasa
penasaran tentang apa yang akan ku bicarakan.
”Aku
ingin bertanya, apakah engkau dan aku sudah saling mengenal dengan cukup baik?”
aku bertanya padanya untuk memulai pembicaraan ini.
”Tentu
saja, meskipun kau dan aku sudah cukup lama tidak saling menampakkan diri di
hadapan masing-masing, tetapi aku masih mengenalmu dengan baik seperti dulu
kita saling mengenal” dia menjawab persis seperti yang aku duga sebelumnya
tanpa meleset sedikitpun dari apa yang kuinginkan.
Aku
mulai memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong sembil mencoba berpikir
apa yang harus ku lakukan selanjutnya agar malam ini menjadi malam yang indah
bagi kami. Jalan yang ku lihat kini mulai lengang dari kendaraan yang berlalu
lalang. Jalan yang lengang itu seperti memerintahkanku untuk segera
menyampaikan maksud dan tujuanku yang sudah lama ku simpan ini.
Namun,
entah mengapa, sepertinya angin malam yang berhembus kini sedikit demi sedikit
mulai mengikis dan membawa semangat dan kekuatanku yang kususun ini kepada sang
mentari malam dan menyebarkannya seperti debu.
Namun,
dalam dinginnya malam ini. Semangatku selalu muncul kembali seperti
rumput-rumput di taman setiap kulihat wajahnya yang selalu tentram dan
menentramkan itu.
“Kau
sudah siap kawan, lakukanlah sekarang dan buktikan pada dunia yang sudah sunyi
ini, tentang keberanianmu!” hatiku memerintahkanku dengan sangat tegas agar aku
segera memulainya.
“Apakah
engkau masih mengingat janjiku?” ketika di sepuluh tahun yang lalu, saat semua
begitu indah di bumi ini” aku mencoba memastikan bahwa dia masih ingat janjiku
itu.
“Mungkin
janjimu itu sudah menjadi fosil-fosil yang siap untuk dicari olehku, tetapi aku
masih ingat walau fosil itu sudah terpendam jauh di bawah saraf-sarafku” dia
menjawab dengan sedikit mengingat kembali tentang apa yang ku katakan tadi.
Malam
ini begitu dingin. Dan tubuhku seakan menjadi lebih dingin dari udara yang ada
di taman kasih ini. Aku mencoba menenangkan tubuhku yang mulai dihantui
ketegangan ini dengan mencoba merengkuh setiap kekuatan yang masih ada di taman
untuk ku pakai saat ini.
“Apa
aku harus berhenti?” pikiranku muncul seketika.
”Tidak!
Kau akan melanjutkannya” hatiku berkata lain dari pikiranku.
”Mungkin
aku belum siap saat ini” pikiranku kembali muncul.
”Kau
sudah siap kini, dan kau akan melakukannya sekarang. Malam ini, di bawah langit
dunia yang luas ini” hatiku terus memberiku kekuatannya.
Dalam
konflik batin yang muncul terus-menerus dalam diriku. Aku menguatkan diriku ini
dan siap melakukan apa yang kuinginkan sejak lama.
Akhirnya,
dalam malam yang sepi hingga dinginnya menyelimuti. Aku memegang tangan
kanannya dengan kedua tanganku dan berjongkok dihadapannya. Ini adalah pertama
kalinya aku memegang bagian tubuhnya secara langsung menyentuh kulitnya dengan
sengaja. Begitu hangat tangannya itu terasa di tanganku.
Aku
pun menatap matanya yang indah itu dengan bola mata hitam yang terhalang oleh
kacamatanya yang membuatnya semakin cantik. Seketika itu pun dia menatap ku
dengan tajamnya. Maka aku sampaikanlah maksudku.
”Dalam
malam yang begitu dinginnya terhangatkan olehmu, bulan dan bintang malam yang
cantiknya tersaingi olehmu, dan taman kasih ini menjadi saksi bisu yang mempertemukan
kita. Maukah kau menikah denganku?”
Dia
terdiam dan mulai berpikir seperti mengkhayalkan sesuatu yang akan terjadi pada
dirinya kelak, sedang aku masih menatap matanya yang begitu indah itu dengan
sejuta harapan yang siap ku petik dari pohon kebahagiaan.
Kini,
dalam taman yang begitu hening, aku menunggu jawaban dari seseorang yang sangat
ku kasihi yang akan menjadi drama kenyataan sepanjang hayatku.
No comments:
Post a Comment