herlangga juniarko

Powered By Blogger

Wednesday, April 6, 2016

Perbedaan Implikatur Antara Penutur dan Mitra Tutur dalam Kerelevansian Tuturan

oleh Herlangga

             Setiap manusia pada dasarnya adalah makhuk yang tidak bisa berdiri sendiri dan selalu membutuhkan bantuan dari yang lain. Dengan demikian manusia pasti akan berusaha bersosialisasi dengan yang lain dengan cara berkomunikasi melalui sandi-sandi yang mereka buat sendiri yang biasa disebut bahasa.
            Bahasa yang diciptakan manusia pun terkadang tidak mampu menampung apa yang ingin disampaikan oleh penuturnya. Keinginan yang tidak tersampaikan itu pun berusaha disampaikan dengan cara menyiratkannya dalam bahasa yang digunakan. Siratan-siratan dalam sebuah tuturan tersebut disebut implikatur.
            Dalam berkomunikasi, implikatur ini dapat menyampaikan pesan dari si penutur dengan memunculkan dan membentuk konteks sehingga percakapan dapat lebih berjalan dengan baik. Implikatur juga meski disebut sebagai penyimpangan maksim dalam teori Grice ternyata dapat muncul dalam setiap tuturan bagaimana pun bentuknya bahkan jika penutur tidak memberikan implikatur dalam tuturannya.
            Namun seperti yang kita tahu, mitra tutura adalah orang yang menerima pesan dari penutur sehingga seringkali terjadi perbedaan penerimaan implikatur oleh si mitra tutur dan pemberian implikatur dari si penutur. Kita biasa menyebut hal ini sebagai sebuah kesalahpahaman dalam percakapan.
            Tulisan ini akan membicarakan kesalahpamahan tersebut dilihat dari sisi kerelevansian tuturan yang yang terjadi dan bagaimana suatu tuturan dapat kembali menjadi relavan meskipun terjadi perbedaan implikatur antara yang member dan yang menerima. Dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari teori relevansi maka akan terlihat bahwa suatu tuturan memiliki kerelevansiannya masing-masing sehingga setiap ujaran tersebut bisa menjadi sebuah konteks.
            Dalam tulisan ini pula dibahas bagaimana strategi mitra tutur dalam membentuk ulang konteks yang diinginkan penutur setelah mengalami perbedaan penangkapan implikatur dalam tuturannya masing-masing sehingga percakapan menjadi relevan dengan kesamaan konteks.

Landasan Teori 


            Teori relevansi adalah teori yang membahas bagaimana suatu tuturan memiliki keterkaitan dengan suatu hal yang dapat membentuk konteks. Keterkaitan ini dapat juga disebut sebagai efek kontekstual dari suatu tuturan. Efek kontekstual sendiri adalah suatu keterkaitan antara informasi lama yang sudah diketahui oleh seseorang dengan informasi yang baru didapat. Keterkaitan tersebut tentu dapat dengan mudah diproses oleh otak sehingga menghasilkan efek kontekstual.
            Usaha dalam memproses informasi-informasi tersebut juga sangat penting dlam kerelevanan suatu tuturan, karena tuturan yang paling relevan adalah tuturan yang menghasilkan efek kontekstual paling banyak dan menggunakan usaha yang paling sedikit dalam memproses informasi-informasi tersebut.
            Tujuan dari teori relevansi sendiri adalah menerangkan bagaimana seseorang dapat mengikuti suatu pembicaraan meskipun secara struktur percakapan tersebut tidak berkaitan.
Contoh percakapan yang relevan
A: Sekarang jam berapa?
B: Masih lama

Secara struktur percakapan di atas tidaklah berkaitan, tetapi tetap relevan jika maksud dari si A bisa sampai pada si B sehingga B pun bisa menjawab dengan baik. Jawaban B pun dapat dipahami dengan baik karena melihat informasi yang lama yaitu situasi, kebiasaan, dan faktor faktor lainnya. misalnya percakapan tersebut muncul karena si A menanyakan jam karena takut ketinggalan kereta dan si B sedang menunggu kereta yang sama dengan si A karena sudah terbiasa. Maka percakapan tersebut muncul dan relevan karena menghasilkan efek kontekstual yang cukup bagi si B.
            Percakapan tadi pun sebenarnya muncul dengan inplikaturnya masing-masing. Si A memberikan implikatur bahwa ia menanyakan kedatangan kereta dan tidak benar-benar menanyakan jam. Implikatur yang dimunculkan oleh si A kemudian diterima oleh si B dengan implikatur yang sama pula sehingga percakapan ini dapat dimengerti oleh keduanya.
            Sebenarnya teori relevansi sendiri merupakan suatu kritikan terhadap teori maksim Grice yang menyatakan bahwa dalam percakapan terdapat empat atruan dasar yaitu, kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Menurut Sperber dan Wilson sendiri dari keempat aturan tersebut aturan relevansi atau keterhubungan percakapan adalah yang paling penting sehingga ketiga aturan yang lainnya dapat diabaikan.
            Dalam teori relevansi juga terdapat beberapa prinsip dari kerelevanan, yaitu 
  1. Setiap tuturan muncul dengan relevansi masing-masing.
  2.  Penutur berasumsi tentang kemampuan kognitif dan konteks dari mitra tutur. 
  3. Struktur ujaran berpengaruh sehingga menghasilkan beberapa persepsi. 
  4. Inti dari sebuah tuturan ‘dipahami’, tuturan akan dianggap premis yang ketika digabung akan menjadi konteks bagi mitra tuturnya. 
  5. Interpretasi yang paling mudah adalah yang paling relevan. 
  6. Konteks adalah sejumlah informasi dalam memori dan terwujud dalam lingkungan fisik.
          Dengan melihat prinsip-prinsip di atas dapat terlihat bahwa suatu percakapan dapat bener-benar relevan dapat membentuk konteks percakapan dengan baik. konteks pun dibentuk dengan baik jika tuturan yang disebut premis dapat relevan. Selain untuk membentuk konteks tersebut penutur haruslah memiliki asumsi mengenai mitra tutur agar mitra tutur dapat mengambil implikatur si penutur dengan baik dan tidak terjadi kesalahpahaman.
Metode Penelitian
            Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode observasi di wilayah Bandung. Pengambilan data diambil secara acak dari percakapan sehari-hari yang seringkali muncul di lapangan. Data-data adalah hasil dari pengamatan dan pengalaman penulis sendiri.
            Pengolahan data tulisan ini menggunakan metode kualitatif untuk memahami fenomena kerelevansian percakapan. Keberadaan penulis dalam pengambilan data-data ini adalah secara pasif. Penulis tidak mengikuti percakapan yang terjadi sebagai sumber data.
Temuan dan Bahasan
            Setelah pengumpulan data , ditemukan terdapat beberapa macam strategi yang biasa digunakan oleh mitra tutur dalam membentuk ulang konteks agar terjadi kesamaan konteks antara penutur dan mitra tutur. 

1.      Temuan Pertama

A: Siapa nih yang kentut?
B: Bukan saya
A: Emang siapa lagi yang nuduh kamu?
B: Oh kirain

            Dalam percakapan di atas terdapat penyadaran dari mitra tutur untuk membentuk ulang konteks. Strategi yang dilakukan adalah menyadarkan lawan bicaranya bahwa terjadi kesalahpahaman dan kemudian membentuk ulang konteks agar sesuai dengan yang diinginkan.
            Terlihat dari percakapan “Siapa nih yang kentut?” dari A yang memiliki maksud mencari tahu kemudian ditangkap implikaturnya oleh si B sebagai tuduhan kepada dirinya yang terlihat dari tuturan “bukan saya”. Dua percakapan awal merupakan kesalahpahaman dari perbedaan maksud implikatur yang ditangkap.
            A yang menyadari kesalahpamahan setelah menjadi mitra tutur B kemudian membentuk ulang konteks yang berbeda tersebut dengan strategi menyadarkan penutur sebelumnya bahwa terjadi perbedaan maksud yang ditangkap dengan menuturkan “siapa lagi yang nuduh kamu?”  dan membentuk ulang konteks sehingga pada akhirnya keduanya memiliki relevansi tuturan dengan konteks yang sama.

2.      Temuan Kedua

A: Kemana?
B: Keresek
A: Serius!

            Dalam percakapan di atas terdapat pemaksaan dari mitra tutur untuk membentuk ulang konteks. Strategi yang dilakukan oleh mitra tutur adalah dengan memaksa penutur sebelumnya untuk mengikuti konteks yang diharapkan terbentuk.
            Terlihat dari percakapan “Kemana?” dari A yang memiiki maksud mencari tahu kemudian ditankap oleh B sebagai sebuah candaan yang terlihat dari tuturan “Keresek”. Dua percakapan awal bisa termasuk ke dalam kesalahpahaman karena tidak samanya impllikatur yang muncul dari kedua orang tersebut meskipun tuturannya masih relevan.
            A yang menyadari kesalahpahaman setelah menjadi mitra tutur B kemudian membentuk ulang konteks yang berbeda tersebut dengan strategi memaksa penutur sebelumnya untuk mengikuti konteks yang ia bentuk sehingga keduanya memiliki konteks yang sama dalam bertutur. 

3.      Temuan Ketiga

A: Kemaren saya abis dari Jakarta
B: Lah saya aja kemaren abis dari hongkong juga biasa aja
A: oh ya udah saya mau ikut dah, sekalian mudik

            Dalam percakapan di atas terdapat pengikutan dari mitra tutur untukmembentuk ulang konteks. Strategi yang dilakukan oleh mitra tutur adalah dengan mengikuti penutur sebelumnya dalam ‘pembentukan konteksnya.
            Terlihat dari percakapan “kemaren saya abis dari Jakarta” dari A yang memiliki maksud memberitahu kemudian ditangkap oleh B sebagai sebuah candaan yang terlihat dari tuturan “lah saya aja kemaren abis dari Hongkong juga biasa aja”. Dua percakapan awal di atas menjadi sebuah kesalahpahaman karena terjadi perbedaan maksud pembentukan konteks yang berbeda.
            A yang menyadari kesalahpahaman setelah menjadi mitra tutur B kemudian membentuk ulang konteks yang akan dibentuknya sehingga menjadi sama dengan konteks yang dibangun oleh B.

Simpulan
            Berdasarkan temuan-temuan dan pembahasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa kesalahpahaman dapat terjadi meskipun tuturan tersebut relevan. Ini dapat terjadi karena adanya perbedaan implikatur antara penutur dan mitra tutur. Selain itu, mitra tutur bisa menjadi penentu konteks dalam percakapan sehingga konteks yang dibawa dalam tuturan mitra tutur akan selalu menjadi konteks dari percakapan.
            Karena suatu tuturan memiliki relevansinya masing-masing, maka tuturan pun akan selalu membangun suatu konteks. Dengan begitu dalam percakapan, strategi-strategi yang di atas pasti akan selalu dilakukan oleh mitra tutur yang baru untuk menjaga sebuah percakapan tetap “nyambung”.

Referensi 

Djajasudarma, T. Fatimah. 2012. Wacana dan Pragmatik. Bandung: Refika Aditama.
Grundy, Peter. 2008. Doing Pragmatics. USA: Od University Press.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud.
Nasanis, Yassir. 2007. PELBBA 18. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Yuliawati, Susi. 2008. Konsep Percakapan Dalam Analisis Wacana. Bandung: FS UNPAD

No comments:

Post a Comment