herlangga juniarko

Powered By Blogger

Monday, April 4, 2016

Cerita Picisan dari Jalan Malioboro

oleh: Herlangga

            Hari ini aku mempersiapkan diri untuk pernikahan. Ia yang sangat kucintai sudah bersiap dengan pakaian pengantin yang berwarna putih bersih. Tentu saja aku yakin bahwa hatinya pun bersih seperti wajahnya yang selalu bersinar laksana purnama malam kelam atau lentera yang menerangi tidurku. Mengingat wajahnya seperti mengingat kala pertama kali aku berjumpa derngannya.
***
            Seorang laki-laki berjalan dan akhirnya menjatuhkan buku seorang perempuan di jalanan penuh sesak Malioboro. Seperti dalam cerita-cerita singkat di layar kaca, mereka akan jatuh cinta. Maka laki-laki itu pun membantu membereskan buku sang perempuan. Mereka akan saling tersenyum dan beberapa hari kemudian mereka akan menjadi sepasang kekasih picisan.
            Aku dari sudut jalan hanya memandangi mereka sambil berpikir bahwa mereka akan menjadi pasangan yang sangat serasi seperti dalam cerita-cerita dalam layar kaca. Meskipun dalam layar kaca tersebut cerita selalu berakhir setelah mereka menjadi sepasang kekasih dan entah apa yang terjadi selanjutnya, apakah mereka akan berpisah atau melanjutkan hubungannya. Semua menjadi gelap setelah itu.
            Aku sedikit termenung dan berpikir sekejap kemudian. Aku membuat sebuah puisi singkat saat itu. Saat perempuan tadi melewatiku. Aku menggenggam tangannya dan sedetik kemudian kuberikan puisiku tadi.
            Reaksinya adalah tentu saja ia melepaskan tangannya dari genggamanku secepat mungkin lalu mengempaskan puisiku begitu saja kemudian berjalan dengan sangat cepat menjauhiku. Saat itu aku masih terpaku di sana, sedangkan mataku tak bisa lepas dari dirinya. Sungguh, ia sangat cantik. Mungkin tercantik yang pernah kutemui.
            Setalah itu, masih dapat kudengar suaranya sayup-sayup sampai ke telingaku.
            “Dasar orang gila yang konyol!” katanya
            Suaranya tak pernah dapat kulupakan sejak saat itu dan terus mengalun.

***
            Alunan melodi pernikahan yang dimainkan melalui sang maestro piano masih bergaung di telingaku. Alunan piano yang selalu membawa kebahagiaan bagi sang pengantin. Alunan piano yang membawa pula kesedihan yang mendalam bagi seseorang yang mencintai salah satu dari pengantin.
            Ia yang sedih adalah ia yang selalu mencintai namun tak pernah tercatat dalam sejarah. Memang seperti inilah, kisah dari percintaan memang sangat mudah ditebak. Semua selalu berujung pada bahagia dan penderitaan.
            Sedangkan ia yang berbahagia adalah ia yang telah mendapatkan apa yang ia idamkan. Mungkin setelah melalui beberapa perjuangan yang mengesankan. Tapi apalah artinya perjuangan jika tujuan tidak tersampaikan. Maka hasil adalah hal yang utama dari suatu hal bagaimana pun caranya.
            Aku mengikuti gerakan pengantin wanita yang ada di sampingku. Mengikuti langkahnya melaju dan terus tersenyum padanya.
***
            Setelah perempuan tadi melewatiku beberapa meter, aku pun mengikutinya. Aku berusaha agar ia tidak mengetahuiku.
            Perempuan tadi terus berjalan menyusuri Malioboro sambil sesekali menyelipkan badannya di antara para pedagang dan pembeli yang sekedar bertransaksi. Terkadang ia hanya melihat saja beberapa turis yang lalu-lalang di Malioboro. Dan akhirnya ia berbelok ke kanan dan masuk ke dalam sebuah gang yang tisak terlalu kecil.
            Aku masih mengikutinya dari belakang di sudut yang ia tak dapat ketahui. Dan akhirnya derap kakinya menghilang di balik sebuah rumah yang masih bertahan dengan arsitektur jawanya. Kemudian aku mencatat rumahnya. Memandangi rumah tersebut dari kejauhan dan pergi setelah malam menjelang.
            Setiap hari setelah pulang kuliah aku selalu berada di posisi ketika aku bertemu pertama kali dengannya. Dari kejauhan aku selalu mengamatinya.
            Pada suatu ketika ia tersenyum padaku. Dan itulah pertama kalinya ia tersenyum padaku setelah aku mengamatinya selama setahun penuh. Kami saling bertatapan dan aku pun membalas senyumnya. Sungguh ia sangat cantik sekali dengan senyum seperti itu.
            Ia berkata “Aku Rinjani. Sepertinya kamu sering memperhatikanku.”
            Ia masih tersenyum dengan sangat manisnya.
***
            Pengantin perempuan itu tersenyum padaku ketika kami saling menatap. Aku pun membalas senyumannya dengan sangat dalam. Kemudian berjalan kembali menuju tempat pengambilan sumpah setia. Aku pun mengikutinya dari samping sambil terus memandanginya. Sambil terus tersenyum padanya. Hanya itu yang dapat kulakukan saat itu dan memandangi para tamu yang hadir sesekali.
            Rasanya derap langkah Rinjani terlalu anggun untuk dapat kuabaikan. Ia seperti seorang bidadari yang baru saja turun dari langit setelah sebelumnya bermandikan kembang tujuh rupa di langit sana, tetapi tanpa sayap. Ia mampu membuatku seperti merasakan udara paling bersih di puncak gunung.
***
            Akhirnya Rinjani pergi dengan derap langkah yang selalu kuikuti hingga suatu sudut pengamatanku. Ia memang anggun. Mungkin sekarang aku dapat melupakan serorang lelaki yang pernah kucintai.
            Semenjak aku mengetahui bahwa lelaki yang kucintai itu telah dijodohkan dengan orang lain aku pun membiarkannya pergi di jalan Malioboro. Dan pada hari kepergian itu pula, aku menemukan Rinjani yang meskipun aku hanya dapat mengguminya dari kejauhan akibat mentalku yang tak pernah mampu mendekati seorang perempuan.
Setahun kemudian aku lulus kuliah. Saat itu setalah berganti pakaian, aku kembali ke jalan Malioboro. Di sana aku hendak mengungkapkan segala perasaanku pada Rinjani. Di jalanan yang tak pernah sepi dari manusia yang berlalu-lalang ini aku ingin menjadi sepasang kekasih yang tak pernah sepi pula dari cinta.
Setelah beberapa saat aku menemukannya berjalan ke arah yang biasa ia lalui seperti biasa. Ia berjalan ke arahku. Aku menggenggam tangannya. Kami berpandangan.
“Aku mencintaimu” kataku.
Kemudian aku menciumnya dengan mesra di tengah keramaian Malioboro. Ia membalas ciumanku dengan mesra pula. Aku hanya menikmati sebuah ciuman ini. Mungkin ini akan berlangsung selamanya.
Lalu ia mendorongku hingga agak sedikit menjauh darinya. Matanya berkaca-kaca.
“Aku mencintaimu Rinjani” kataku lagi seakan menyakinkannya.
Ia pun berlari menjauhiku
***
            Setelah sumpah setia yang mereka ucapkan selesai. Aku pun melihat sepasang pengantin sedang berciuman mengekspresikan kebahagiaan mereka di depan para tamu undangan yang hadir.
            Sepasang pengantin itu merupakan kedua orang yang aku kenal. Mereka adalah Rinjani dan Lawu. Rinjani adalah seorang perempuan yang aku temukan di jalan Malioboro. Sedangkan Lawu adalah lelaki yang pernah aku cintai dan meninggalkanku di jalan Malioboro pula.
Mereka berdua adalah orang yang saling bertabrakan di jalan Malioboro di hari yang sama ketika aku melepaskan Lawu dan bertemu Rinjani. Persis seperti cerita-cerita dalam layar kaca. Mereka adalah salah satu sepasang kekasih picisan yang berakhir dengan bahagia.
Dan aku adalah salah satu yang paling menderita dalam kisah ini. Aku bahkan tak mampu mencatatkan namaku sendiri dalam sebuah kisah.
Akhirnya aku pun berjalan ke arah mereka (mungkin lebih tepat kepada Rinjani) dan memberikan sebuah kertas yang berisi sebuah puisi yang pernah aku tulis dalam sekejap ketika pertama kali bertemu dengan Rinjani.
Sepasang Burung yang Akhirnya Berjodoh Karena Angin

Menyaksikan sepasang merpati terbang
Selamat, berjodohlah kalian.

Malioboro, (waktu tidak pernah diperlukan)

***
Di sisi lain:
            Namaku adalah Rinjani. Aku bertemu dengan seseorang yang membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama di Malioboro. kemudian ia mendekatiku dengan cara yang aneh dan membuatku memasang harga diri yang cukup tinggi. Aku tahu ia tak menyerah dan mengikutiku hingga ke rumah. Ia melakukannya selama bertahun-tahun!
            Pada akhirnya aku pun mengenalkan diriku padanya setelah lama ia memperhatikanku. Saat itu aku semakin terpesona dengan senyumannya. Namun pada saat aku hendak menikah. Ia menyatakan cintanya dan kami pun berciuman lama sekali.
            Aku sedih dan meninggalkannya dengan air mata yang tergenang di pelupuk mata. Pada akhirnya aku pun hanya bisa terus tersenyum padanya saat pernikahanku.

2013

No comments:

Post a Comment