herlangga juniarko

Powered By Blogger

Saturday, August 15, 2015

Pada Sela-sela Stasiun

oleh: Herlangga


            Tak biasanya ia duduk sendiri di bangku stasiun kereta api sambil termenung. Kekasihnya baru saja meninggalkannya kemarin. Sekarang ia hanya bisa termenung  dan membayangkan wajah kekasihnya seperti terbawa arus derasnya kereta api.
            Seperti prosa, hujan dan senja selalu membawa kesedihan pada tokohnya. Tetapi sekarang di stasiun ini, ia tak menemukan sedikit pun bulir air yang jatuh ke atap stasiun. Sedangkan senja masih terlalu lama untuk dinanti. Sekarang pukul 10.00, masih ada 44 menit lagi untuk meninggalkan stasiun tua ini.
            Ia pulang cepat hari ini. Bandung-Cicalengka. Rute yang selalu ia lalui dengan kebahagiaan. Ia bahkan tak percaya bahwa barui kemarin ia pulang bersama kekasihnya dan sekarang ia harus pulang bersama kesedihan. Padahal ia masih mencintai sang kekasih.
***
            Di salah satu sudut stasiun, terlihat seorang pria agak kecil dengan pakaian khasnya yang hitam. Mungkin ia sedikit kelelahan setelah menjalani kehidupannya seharian ini. tetapi kelelahannya selalu lenyap saat ia pulang, karena sekarang ia sedang duduk di samping kekasihnya. Kelelahan selalu terkikis sedikit demi sedikit setiap kali ia memandangi sosok dengan kerudung coklat panjang dan berkacamata di sampingnya.
            Saat ini jam menunjukkan pukul 16.00. Pria itu mulai membuka pembicaraan agar waktu tak terlalu membeku saat itu, meskipun jika bisa ia ingin seperti itu selamanya. Biarlah waktu membeku agar kekasihnya tetap di sampingnya.
            “Mawar, apakah harimu menyenangkan hari ini?” Ia mulai berbicara.

            “Oh Orion, hari ini adalah hari yang begitu menyenangkan bagiku.”
            Dan pembicaraan pun mengalir sebagaimana mestinya, yaiu diawalai sebuah pertanyaan klise dan diakhiri oleh sebuah jawaban yang klise pula. Tetapi, keklisean bukanlah sebuah hal yang harus pria itu permasalahkan sekarang, karena justru baginya keklisean adalah salah satu cara untuk membuat dunia tidak kaku.
            Waktu akhirnya telah mencair dan mengalir. 24 menit telah mereka habiskan sejak kata pertama mereka terlontar untuk menghangatkan waktu di stasiun tua ini. Waktu begitu cepat mengalir ketika mereka menikmatinya.
            “Hati-hati jalur 2 dari arah barat akan segera masuk KRD Ekonomi tujuan akhir Cicalengka.” Suara dari pengeras suara stasiun itu akhirnya menggelegar dan memutus pembicaraan sepasang kekasih itu.
            “Baiknya kita akhiri obrolan kita sejenak, Orion”
            “Ya”
            Pria itu akhirnya menghempaskan tubuhnya ke udara untuk berdiri, merenggangkan tubuhnya sejenak kemudian berjalan mengikuti kekasihnya yang tergesa-gesa. Mereka berjalan menuju kereta senjanya seperti biasa. Dan seperti biasanya pula pria itu selalu berpikir dan menggerutu dalam hati tentang cepatnya kedatangan kereta.
            Rasanya pria itu ingin sekali menahan kereta supaya tak segera datang. Ia ingin tetap menghabiskan waktu bersama kekasihnya lebih lama. Meskipun ia hanya bisa memandangnya saja, asalkan ia bisa bersama kekasihnya lebih lama maka taka pa. pria itu paham, setelah kereta sampai ke tujuannya ia tidak akan bertemu lagi dengan kekasihnya sampai senja mempertemukan mereka kembali seperti sekarang ini.
            Mereka pun akhirnya menaiki kereta seperti biasanya. Ikut berjejal-jejal dengan para penumpang lainnya tapi pada akhirnya mereka mendapatkan tempat duduk yang bersebalahan di dalam kereta. Obrolan pun berlanjut di dalam kereta hingga tidak terasa kereta pun beranjak meninggalkan stasiun Bandung dan menghempaskan udara menuju Cicalengka.
            Kereta itu melaju dengan kecepatan yang wajar tanpa memeperdulikan para penumpang tetapi sesekali berhenti sejenak di setiap stasiun yang ia lewati. Pria itu masih berbincang dengan keksaihnya. Mere3ka membincangkan kehidupan yang lalu maupun yang mungkin akan datang. Tak ada yang lebih menyenangkan dari pada berbincang dengan kekasihnya, itulah yang dipikirkan pria itu. Deru kereta api terus menjadi lagu latar perbincangan mereka.
            “Pemandangan di luar sana” kata lelaki itu sambil memnadang pesawahan yang membentang di balik kaca jendela, “selalu membuat hatiku tenang” lanjutnya.
            “Ya” kini kekasihnya member perhatian lebih.
            “Juga kau, Mawar” kini kekasihnya tersenyum, kemudia sunyi menjadi akrab dengan mereka.
            Kereta kembali terhenti. Sekarang adalah stasiun Cimekar. Tak ada yang pemandangan baru bagi mereka, pemandangan diluar masih sama seperti hari sebelumnya. Pesawahan yang membentang, perumahan, dan stadion Sepak bola yang sedang dibangun. Namun, pria itu masih berharap semoga kereta tidak terlalu terburu-buru untuk melaju kembali.
            Mereka masih terdiam. Kebersamaan mereka memang tidak memerlukan bahasa sebagai perantara. Bahasa bagi mereka mungkin hanya formalitas dari kebersamaan. Karena mungkin kesunyian pun bisa menjadi hal yang menarik bagi mereka.
            Dalam kesunyian itu, tiba-tiba Handphone kekasihnya bordering tanda telepon dari seseorang. Pria itu pun melirik sebentar sekedar tertarik perhatiannya. Dan ia dapati sebuah nama dalam handphone kekasihnya. Di sana tertulis “My Abi” . Senyum mulai terkembang dari wajah kekasihnya namun sedikit tertahan. Lalu dengan cepat kekasihnya menerima panggilan tersebut sambil berharap bahwaia tak sempat melihat nama kontak yang memangil itu.
            Pria itu mengerti, maka buru-buru ia palingkan wajahnya kea rah lain. Di sampingnya, kekasihnya mulai berbicara setelah beberapa detik mendengarkan suara dari handphonenya.
            “Sekarang aku sedang di perjalan pulang. Aku akan menelponmu lagi nanti” kata kekasihnya. Setalah memastikan kata “ya” dari ujung telepon itu, kekasihnya pun menutup panggilan tersebut dan kembali ke dalam kesunyian yang mereka buat tadi.
            “Siapa?” tanya pria itu. Seakan-akan ia tidak tahu dan juga ingin memastikan suatu hal.
            “Teman” jawab kekasihnya singkat.
            Pria itu pun mengerti suatu hal kini. Ia mengerti mungkiin keindahan yang ia miliki sekarang hanyalah semu belaka. Ada rasa sedih yang menyerang secara tiba-tiba sekarang dan dadanya diliputi rasa sesak. Pria itu mengambil sehela napas panjang dan menundukkan kepalanya untuk mencari sisa-sisa udara di dalam kereta. Mungkin udara itu dapat mengisi ruang yang mendadak kosong dalam dadanya supaya ia tidak lagi merasa sesak.
            Kereta pun melaju setelah istirahat sejenak meninggalkan stasiun Cimekar. Sekarang kesunyian terasa lebih mencekam dari biasanya. Kesunyian seperti bukan lagi perantara antara ia dan kekasihnya. Deru kereta seperti membawa kepingan kesedihan kepada pria itu untuk dihisap sebagai pengganti udara.
            Kesunyian itu telah membuat waktu seakan membisu hingga mereka sampai ke stasiun Rancaekek. Kereta kembali berhenti, tetapi tak ada satu kata pun yang mereka keluarkan.
            “aku akan turun di sini, Orion” kata perempuan itu, sedangkan pria itu tidak tahu apa yang harus ia katakana selanjutnya.
            Pria itu hanya menunduk dengan sedih setelah mendengar perkataan dari kekasihnya. Dan sedetik kemudian kekasihnya pun bangkit dan meninggalkan pria itu di dalam kereta.
            Pria itu hanya mampu memandang kekasihnya  yang meninggalkannya begitu saja. Ia mendengar derap langkahnya seperti gendering kesedihan dalam telinganya. Kerudung coklat itu mengibaskan udara seakan mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya. Pada akhirnya pria itu sadar bahwa kekasihnya telah berada di luar kereta dan juga telah mengeluarkan ia dari hati kekasihnya.
***
            Waktu telah menunjukkan pukul 10.44 di stasiiun Bandung ini. tak terasa sudah 44 menit ia mengingat kembali keksaihnya sambil menulisakn sebuah puisi. Kereta tujuan Cicalengka akan segera datang dan ia pun akan segera pulang.
            Perjalanan kali ini sungguh biasa. Kereta berhenti berkali-kali di stasiun yang membawa kenangan.
            Di Stasiun Rancaekek, ia akhirnya kembali bersedih.
            “Hanya sampai Rancaekek ternyata. Aku tak mampu memabwanya samapi Cicalengka” katanya sambil terus mengingat wajah kekasihnya.
            Perjalanan kembali berlanjut. Kereta samapi di Stasiun Cicalengka dengan biasa. Pria itu pun kembali ke rumahnya. Ia ingin meninggalkan kenangannya di stasiun tetapi kenangan itu telah terikat dengan erat pada tubuhnya, maka ia pun membawanya pada kamarnya.
            Di kamarnya, ia kembali membuka puisi-puisi yang pernah ia berikan pada kekasihnya. Sesekali pada puisi tersebut tertulis “untuk Mawar”. Ia kembali membaca puisi-puisi itu dengan perlahan sambil membawa kenangan hingga malam menjelang.
            Sekarang ia berpikir kembali, apakah benar sorang perempuan yang kemarin bersamanya dapat ia sebut sebagai kekasih? Padahal perempuan itu telah memiliki seseorang yang lain di hatinya.
            Maka malam itu pun ia menekan sebuah nomor pada handphonenya. Kemudian seketika itu juga untuk memastikan kehidupannya.
            “Halo” suara seseorang muncul dari telepon dengan merdunya.
            “Anggrek, aku akan menikah denganmu”

Di stasiun Rancaekek, pisau sunyi menancap kejam dalam sekali
tusukan. Kata-kata mengunci diri dalam hati.
Selepas itu kenangan tertinggal dalam gerbong menjelma kau.
dan aku terpaku menyesali diri ketika jejak-jejakmu tak sempat
kupunguti dan tersapu dalam sepi.

Sudah tiga bulan sejak penghujan datang dan membawamu pergi.
Kini Desember datang dan membawa segala tentangmu
Di dalamnya:  pisau sepi yang telah tercabut dari jantungku, panah
                        patah eros, kunci yang sempat mengunci kata, jejak-jejak
                        yang sempat tersapu, juga bayanganmu dalam cermin waktu

Dan hujan akhir tahun mengukir wajahmu seperti ribuan kembang api yang
jatuh berwarna dan berwarni, kemudian gelap seketika.

Stasiun Bandung, 2012

2 comments: