herlangga juniarko

Powered By Blogger

Monday, April 23, 2012

Apa Itu Masakan Padang???


          Sekarang, maksud saya saat ini yang saya maksud ketika saya sedang menulis yang saat ini sudah sering disebut mengetik. Keadaan saya sedang kelaparan, sehingga saya harus makan sehingga saya akan mencari makanan sehingga saya harus melakukan ha-hal yang sepertinya perlu untuk dilakukan supaya menghasilkan kata sehingga.
          Saya keluar kamar supaya saya tidak menulis(baca:mengetik) lagi. Karena saya sudah cape memencet tombol satu persatu, supaya tombol-tombol komputer ini tidak saya anggap sebagai rendang padang, supaya saya tidak menuliskan kata supaya lagi, supaya saya tidak melihat jemuran yang ada diluar kamar saya lagi (terus, apa hubungannya?). oke, untuk yang terakhir itu tidak ada hubungannya, tapi yang pasti saya sudah lapar. Dan butuh minimal bayi merah untuk dimakan(baca:rendang).
          Akhirnya dengan terpaksa saya mengangkat pantat saya untuk tidak duduk lagi, sehingga saya berdiri di depan kursi yang tadi sudah saya duduki meski pun kursi itu tidak mau diduduki oleh saya, karena anatomi tulang pantat saya yang begitu keras, malahan terkesan tajam, sehingga dapat merusak apapun yang saya duduki dengan kejamnya yang akhirnya dapat dikatakan bahwa pantat saya ini adalah pantat psikopat.
          Setelah hal tadi terjadi, saya mulai keluar dari rumah saya dan mencari sepeda dengan roda dua(bukan roda tiga) untuk pergi mencari makanan yang bisa dimakan tentunya. Mumpung awal bulan, mumpung lagi ada uang, dan mumpung ada mumpungnya, maka saya putuskan hari ini saya akan mencari masakan padang yang tidak mungkin saya temukan tergelatak pasrah di tengah jalan secara tiba-tiba, kecuali saya nemu lampu bukan sembarang lampu yaitu lampu bohlam 5 watt yang saya tidak tahu untuk apa saya tulis bohlam itu dalam cerita ini, tapi yang pasti tujuan saya kali ini adalah rumah makan padang yang tidak cuma satu di Cicalengka tapi ada beberapa.
          Akhirnya saya mencari rumah makan padang yang paling jauh jaraknya dari tempat saya menulis cerita ini, saya memilih tempat yang paling jauh karena yang saya tahu bahwa masakan padang itu memiliki tingkat keuangan yang harus stabil agar mampu menyiapkan segala resiko yang akan terjadi di rumah makan padang dan yang saya tahu juga bahwa resiko membeli masakan padang adalah sakit jantung mendadak karena mahalnya, tiba-tiba dompet kosong, mencuci piring dengan sukarela, dan yang paling sering adalah muka menjadi panas secara tiba-tiba karena saking pedasnya.
          Setelah saya sampai di depan rumah makan padang dengan mata berbinar-binar karena kelelahan mengayuh sepeda(bukan karena melihat makanan padang yang begitu enak) saya beranikan masuk ke dalam yang sudah pasti rumahnya yang bikin itu punya masakan. Tak lupa saya sedikit pegang saku celana saya siapa tahu tiba-tiba ada manusia ngepet yang ga sengaja nyentuh saya waktu di jalan tadi. Setelah saya pastikan keuangan sudah mantap saya masuk ke dalam sana dan saya dapati tukang padang dengan seyum yang di paksa atau tidaknya sungguh saya tidak peduli, yang saya pedulikan adalah makanan yang ada disana sekarang.
          “bu, saya mau rendang dong” pinta saya
          “beli dek, jangan minta” jawab tukang rendang
          “ya belilah, masa saya jauh-jauh datang kesini cuman mau minta” jawab saya dengan agak bijaksana walaupun tidak.
          “habis situ mukanya kaya pengamen yang suka ngamen sih” dengan datarnya dia menjawab.
          Setelah mendengar itu, saya hanya bisa menundukan kepala seraya berdoa
          “TUHAN!!! Dosa apa aku ini hingga dikutuk seperti ini”
          Tiba-tiba terdengar suara yang muncul langsung ke otakku
          “salahkan saja dirimu, kenapa kau mendzalimi orang tua”
          Akhirnya secara tidak sengaja teringat seorang nama dalam otakku, dia adalah briyan dika jefri dili perdana (temen sekelasku yang dianggap tua, kasihan sekali dia), dan karena saya malas untuk mengingatnya jadi tak usah saya ceritakan secara panjang lebar.
          “ya udah bu, saya mau beli rendang aja lah satu” itu saya kepada si ibu rendang
          “nah gitu dong bayar, jangan ngutang terus” itu si ibu rendang kepada pemuda yang barusan bayar. Maksudnya sesuai analisa saya, dia seperti melunasi.
          “jadi semuanya sepuluh ribu rupiah saja” itu si ibu rendang pada saya, padahal harapan saya itu jangan pada saya, agar saya dapat pergi dengan begitu saja dan menyerahkan pembayaran pada pemuda yang barusan melunasi.
          “bu, pernah bunuh orang?”
          “belum”
          “mau coba?”
          “ngga ah males”
          “huh, dasar pemalas, gimana usahanya mau maju kalo males gini”
          “udah, jangan banyak ngomong, bayar aja CEPET!!” sepertinya teriakannya itu tertuju padaku.
          Akhirnya saya merogoh celana saya agak lama sambil berharap dia pergi ke kamar mandi untuk menunaikan tugas mulia dari WC sehingga saya dapat segera beraksi meninggalkan rumah makan itu dengan menyamar sebagai anak-anak yang lagi main petak umpet.
          Sekali lagi yang akhirnya, saya mendapat selembar uang sepuluh ribu dari celana saya yang sudah agak kumal mungkin sudah kecuci beberapa kali namun syukurnya dia masih hidup dan masih bisa bernapas dengan baik, buktinya hidungnya si sultan......(Ah entah siapa itu namanya) masih kelihatan sehingga saya kira dia masih hidup karena masih bernapas.
          Saya berikan uang tersebut kepada dia yaitu tukang rendang tadi dengan harapan nanti di jalan saya bakalan nemu uang sebesar tadi di jalan, maksudnya bertemu dengan uang yang sudah tak terpakai lagi di jalan raya.
          Selain masalah uang tadi, saya juga memikirkan semoga perut saya kuat menerima cobaan yang akan diterimanya secara bertubi-tubi dari rendang dengan bumbu yang diberikan si tukang rendang tanpa pake akhlak, dan yang paling penting juga adalah semoga kamar mandi tidak sedang di pake saat saya harus menunaikan tugas mulia yang akan diberkati oleh sang WC ini.
          Akhirnya yang benar-benar terakhir, saya pulang dengan kantong seperti dicabuli oleh tukang rendang tadi tanpa mampu berbuat apapun juga. Sungguh malang sekali nasibku ini.

Bandung, 2012

No comments:

Post a Comment