herlangga juniarko

Powered By Blogger

Wednesday, June 19, 2013

Hari Ulang Tahun



oleh: Herlangga Juniarko

            Hari ini adalah hari yang sungguh seharusnya sangat membuatnya bahagia. Untuk sebagian orang, hari ulang tahun adalah hari yang cukup spesial dengan berbgai kebahagiaan memutari setiap waktu pada tanggal tersebut. Begitu pula yang terjadi pada Evie, dia memaknai hari ulang tahunnya kali ini dengan berbagai renungan yang begitu dalam, renungan yang selalu ia sadari bahwa ia adalah hanya makhluk Allah SWT dan ia takkan mampu untuk menyalahi hal itu.
            Sakitnya semakin parah saja di hari ulang tahunnya ini, ia mengalami kanker pankreas stadium empat yang akan membuat kesempatan hidupnya kini semakin menipis. Kini ia hanya akan mencoba menjadi sang mentari yang menyinari dunia di hari senja. Kini ia hanya berpasrah pada takdir yang Allah berikan padanya dan berusaha untuk menjadi lebih indah ketika ajalnya mulai mendekat.
            Di malam ulang tahunnya yang seharusnya akan selalu berakhir bahagia. Ia hanya duduk terpaku di teras rumahnya. Teras yang selalu meneduhkan hatinya dengan pohon-pohon kersen dan mangga yang ada di halaman rumahnya. Ia hanya duduk termenung sambil sesekali membenarkan kerudung sucinya.
            Di malam yang dingin itu, kini ia merasa dekat sekali dengan Sang Penciptanya. Ia ingin sekali bertemu dengan sang penciptanya itu, meskipun ia merasa diri tak akan pernah pantas untuk bertemu dengan-Nya.

            “Ya Allah, apakah Kau akan memanggilku sekarang?” tiba-tiba ia mengeluarkan sebuah kalimat yang entah darimana asalnya.
            Tiba-tiba saja ia kini merasa bahwa malaikat maut sedang berada di dekatnya, seketika itupun ia merasa takut akan kematian yang akan melandanya. Sebuah rasa yang coba untuk ia lenyapkan sedari dulu kini datang kembali mendekatinya.
            “Kenapa aku merasa takut untuk mati?, bukankah selama ini aku telah memusnahkannya?” ia berkata dengan rasa takut yang mulai menghinggapinya.
            Ia merasa bahwa umurnya sudah tidak lama lagi, mungkin umurnya tinggal beberapa hari lagi atau beberapa jam lagi atau bahkan beberapa menit lagi. Ia tak tahu kapan ia akan mati. Tapi seperti manusia pada umumnya, Ia takut akan kematian ketika kematian itu mendekatinya secara nyata lewat penyakit yang tengah dideritanya itu.
            “Aku tidak takut akan kematian, tapi apakah Allah akan memasukanku ke dalam surganya?” ia berkata sembil membenarkan posisi duduknya di teras rumahnya itu.
            Setelah perkataan itu muncul, tersadarlah ia bahwa selama ini ia beribadah untuk mendapatkan surga-Nya, untuk kepentingannya sendiri. Bukankah seharusnya ia harus beribadah untuk Allah, untuk mensyukuri setiap hal yang ia dapatkan dari Allah yang maha memberi.
            “Aku hanya akan beribadah hanya kepada-Mu, ya Allah. Aku hanya akan beribadah hanya karena-Mu. Aku berjanji” dia berkata dengan sepenuh hati meskipun itu adalah hal berat baginya.
            Malam mulai mendingin kini dan jam tangannya sudah menunjukan pukul 22.05. Dan dia masih termenung sendirian di teras rumahnya sambil meratapi penyakitnya yang secara tak terduga sudah menggerogoti umurnya yang baru berusia 25 tahun itu. Sungguh masih muda sekali. Dan dia harus berhadapan dengan masa depan yang tak ia ketahui dengan pasti. Bahkan untuk menyusun rencana ke depan pun ia tak sanggup karena terbentur tembok yang sugguh tebal, yaitu penyakitnya.
            Setelah ia di vonis oleh para dokter bahwa umurnya sudah tak lama lagi, ia mulai menyendiri untuk merenungkan kehidupannya yang sempat indah itu. Tentang rencananya menikah dengan cara yang diridhai oleh Allah, tentang hal yang akan dilakukan kepda anak-anaknya kelak, dan tentang pria yang beruntung dapat mempersuntingnya.
            Namun semua itu tiba-tiba saja menjadi seperti ilusi yang tak akan pernah menjadi kenyataan baginya. Ia tak mau berpasrah pada takdir. Namun apa daya, takdir sudah memaksanya untuk berpasrah pada takdir yang telah dibuat oleh Allah yang maha pembuat segala karena Dia adalah Sang Kholik. Evie hanya mampu menyerahkan segala beban yang dideranya kini kepada Allah semata.
            “Hei, sepertinya malaikat Izrail akan segera mendatangimu” sebuah suara muncul secara tiba-tiba di telinga kirinya menembus kerudung sucinya.
            Evie merasakan ada aura kegelapan yang kini berada di dekatnya. Seperti sebuah tekanan yang sungguh menekan kepadanya sekarang.
            Sosok hitam yang begitu kelam tiba-tiba saja muncul di hadapannya begitu saja tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Sehingga membuatnya kaget setengah mati.
            “Aku dapat memberikanmu hidup panjang, kehidupan yang membahagiakan di dunia ini, hidup yang sangat ideal bagimu” kata sosok hitam itu pada Evie.
            “Siapa kau? Apa maksudmu tentang kebahagiaan?” tanya Evie dengan sedikit tergetar hatinya karena ucapan sosok itu.
            “Aku adalah pembawa kebahagiaan di dunia ini dan aku datang untuk membawa kebahagiaan kepadamu” kata sosok itu dengan nada yang begitu pasti dan begitu menghipnotis siapapun yang mendengarnya.
            Evie terdiam seketika mendengar kata-kata itu. Dia memang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Dia ingin melepaskan beban yang ada di dalam tubuhnya yang seperti memenjarakannya.
            “Apa maksudmu dengan kebahagiaan?” tanya Evie pada sosok itu.
            “Aku akan memberikan kebahagian kepadamu secara pasti, tanpa meminta imbalan sedikitpun kepadamu, karena aku adalah malaikat pembawa kebahagiaan” kata-kata sosok itu semakin membuat Evie tergoda dalam rayuannya.
            “Bagaimana kau akan melakukannya?”
            “Hanya ada satu cara agar aku dapat membuatmu bahagia”
            “Apa itu?” tanya Evie dengan penasaran.
            “Biarkan aku bersemayam ke dalam jiwamu, dengan begitu kau akan merasakan kebahagian yang tiada tara di dunia ini” jawab sosok itu dengan jawaban yang begitu pasti.
            Kini Evie mulai termakan rayuan dari sosok itu. Namun ia masih mengingat dzat yang telah lama bersemayam di hatinya, dzat yang begitu kekal walau apapun yang terjadi. Dialah Allah yang selalu ia jadikan tumpuan dalam melakukan suatu hal.
            “Tidak! Di hatiku masih bersemayam dzat yang tak akan pernah pudar meski setitik” tolak Evie dengan tegas.
            “Aku tahu itu, tapi kau masih dapat menyandingkanku dengan dzat itu di hatimu. Jika kau melakukannya tentu akan sangat sempurna sekali hidupmu ini” jawab sosok itu dengan begitu pasti dan meyakinkan.
            Evie kembali berpikir secara otomatis. Dia memikirkan bahwa ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh sosok itu. Toh, hidupnya akan lebih lama jika ia mengikuti apa yang dikatakan oleh sosok itu sehingga ia dapat melakukan hal-hal yang telah direncanakannya dalam hidupnya. Tapi entah mengapa, hatinya seperti mulai mengeras untuk menerima tawaran yang sangat menggiurkan dari sosok itu.
            “Entahlah, aku tak yakin untuk melakukannya. Aku menginginkannya, tapi di sisi lain aku terbentur oleh suatu tembok yang sangat bercahaya dalam hatiku”
            “Jika kau menginginkannya maka lakukanlah, kau dapat hidup lebih lama lagi jika kau melakukannya, selain itu kau pun dapat memperbaikinya di kemudian hari dan saat itulah kau akan kembali bercahaya” rayu sosok hitam itu.
            Angin malam mulai berhembus dengan pasti ke arah Evie. Membelai kerudungnya yang begitu suci dan tak pernah ternodai oleh suatu apapun juga di dunia ini. Dia tak pernah ternoda oleh dunia yang semakin semrawut ini. Tak pernah sekalipun juga. Ia telah memilih untuk menuju jalan Allah yang lurus dengan melewati jalan yang lurus tanpa ada belokan sedikitpun.
            “Aku tak akan terbujuk oleh rayuanmu, kau hanyalah penipu yang berusaha memecah keimananku dengan dunia yang sempit ini” kata Evie dengan tegas kepada sosok hitam itu.
            “Kau pasti merasakan kesepian sehingga kau dapat mengatakan itu, kau tak punya teman sedikitpun yang mampu memberikanmu corak kehidupan yang sebernarnya” kata sosok hitam itu kepada Evie.
            Kata-kata itu membuat Evie tersadar bahwa hidupnya terlalu lurus dan terlalu bercahaya tanpa ada kegelapan yang mampu menyentuhnya. Namun memang itulah jalan yang telah ia ambil sebagai jalan hidupnya. Meskipun begitu, terkadang ada dalam hatinya untuk mencari kegelapan itu walaupun hanya sedikit. Namun keinginan itu ia pendam sedalam-dalamnya karena ketakutannya sendiri. Ketakutan akan terjerumusnya dirinya kedalam jurang yang sangat gelap hingga cahaya tak mampu lagi menyinarinya.
            “Kau memang benar, aku memang terlalu bercahaya dalam hidup ini, sehingga aku akan berusaha menerangi orang-orang yang ada di sekitarku, sehingga mereka menjadi cahaya yang akan menerangi sekitarnya juga” kata Evie dengan pasti dan jelas.
            “Kau bodoh, kau memang bodoh. Kau tidak akan pernah bahagia dengan cara hidup seperti itu. Kau hanya akan menyiksa dirimu sendiri. Dengan begitu kau tidak akan pernah bahagia untuk selamanya” sosok itu berkata dengan nada yang cukup tinggi.
            “Jika aku tak akan bahagia selamanya, itu tak apa bagiku. Aku rela tak bahagia asalkan orang-orang yang ada di sekitarku bahagia karena Allah lewat perantaranya, yaitu aku.” Evie menarik napas sebentar untuk meresapi dinginnya malam ini.
            “Jika Allah menginginkanku tak akan pernah bahagia, maka aku akan menerimanya karena aku hanyalah miliknya. Karena Dia lebih tahu dariku. Karena pasti Dia mempunyai sesuatu hal yang baik bagiku” lanjut Evie dengan begitu tenangnya.
            Malam itu, malam begitu pekat oleh cahaya bulan yang hanya setengah. Angin-angin yang berhembus sedikit demi sedikit membawa sebagian umurnya yang sudah tak lama lagi seperti batu yang terus dikikis oleh angin itu.
            Kerudungnya yang panjang hingga pinggangnya terus tergerai terbawa angin, sedangkan ia hanya memandang bulan yang setengah itu dengan tatapan bahagia. Ia kini sudah menerima segala keadaannya dengan lapang dada. Ia tahu bahwa Allah akan memberikan yang terbaik kepadanya.
            “Kau akan menyesal menolak diriku ini.” Sosok hitam berkata dengan kekesalan yang amat sangat.
            Lalu sosok hitam itu menghilang seperti asap yang menghilang sedikit demi sedikit terbawa angin malam yang dingin. Sosok itu pergi dengan rasa kesal begitu mendalam karena penolakan mentah-mentah dari seorang akhwat yang suci.
            Malam itu, malam yang begitu berharga bagi seorang Evie. Meskipun ia sadar bahwa hari itu jatah umurnya sudah berkurang setahun dan mungkin umurnya hanya tinggal beberapa hari lagi, atau beberapa jam, atau bahkan tinggal beberapa menit lagi hingga malaikat Izrail datang.
            Mungkin kini malaikat Izrail tengah dalam perjalanan untuk mendatangi dirinya yang entah berapa lama malaikat Izrail akan sampai pada dirinya dan mencabut nyawanya yang hanya milik Allah ini.
            Kini ia hanya akan menyerahkan segala hidupnya untuk Allah semata dan mencintai hal-hal di dunia ini hanya karena Allah.


Bandung, 27 April 2012

No comments:

Post a Comment