herlangga juniarko

Powered By Blogger

Sunday, March 18, 2012

Malam di Taman Kasih

Oleh: Herlangga Juniarko

            Saat ini adalah malam, malam yang begitu ramai untukku, dengan lampu-lampu taman yang redup seakan hampir padam tertelan malam dan pohon-pohon yang tidak begitu rindang menghiasi malam yang dingin di taman kota. Dan aku disini dengan kemeja putih yang tidak dimasukkan kedalam celana katun hitam dan dibalut oleh jas hitam khas orang kantoran, karena aku kini bekerja sebagai editor majalah lokal.
            Mungkin saat ini orang-orang sedang bergulat dengan mimpinya masing-masing sambil ketenangan yang damai mereka dapatkan. Namun di sini, aku sedang menenenangkan hatiku yang tengah risau bersiap menunggu jawaban, jawaban yang akan menuntunku kearah yang lebih baik yang akan diberikan oleh seseorang yang dikasih, menenangkan diri dari setiap kemungkinan yang terjadi pada malam ini. Dalam ragu aku mencoba mendekati seseorang yang cantik nan jelita yang tengah duduk di bangku taman yang terbuat dari adukan semen yang entah mengapa seperti selalu menyejukan hati siapapun yang duduk di atasnya. Dan dia yang dikasih tengah ada di sana dengan setiap khayalan yang hanya datang secara tiba-tiba.
            Saat aku mencoba mendekati yang dikasih, dadaku tiba-tiba seperti menghentikanku bagaikan petir yang menyambar tiang yang sudah kokoh dan mantap pada pendiriannya, petir yang membuat aku sakit di seluruh tubuh. Dan dalam pikiran-pikiran negatif yang menderaku, aku kembali melihatnya, dengan kacamata kotak layaknya orang berilmu, dengan kemeja putih yang terlihat lebih tebal dari kemeja biasanya, dengan rok hitam yang kontras dengan kemejanya menutup hingga kedua mata kakinya. Mungkin kini dia sudah mulai mencari keberadaanku sambil meleburkan pikiran di malam yang indah ini.
            Pakaiannya malam ini meningatkanku pada kejadian pada sepuluh tahun yang lalu, saat aku berjanji padanya bahwa aku akan melamarnya jika aku sudah menyelesaikan sekolahku dan sudah mempunyai cukup penghasilan. Dan kini aku bersiap untuk melakukannya.
            “Sepuluh tahun itu lama sekali! Siapapun dapat melakukan apapun dalam tempo sepuluh tahun” pikiranku memberitahu tahu tanpa permisi dan mampu menghasudku untuk jatuh sekarang.
            ”Pergilah! Lamarlah dia saat ini atau kau akan menyesal selama kau masih bisa bernafas dan mungkin dunia akan mengutukmu karena itu” bisik hatiku dalam remang-remang malam bulan april ini.
            ”Bagaimana jika dia sudah memiliki yang dikasih?” pikiranku membalas dengan tanpa ampun membuatku menjadi bimbang.
            ”Engkau sudah memegang syaratnya kawan, gelarmu doktor kini dan kau sudah memiliki cukup penghasilan” hatiku mengingatkanku pada syarat yang diberikannya padaku jika aku hendak melamarnya.
            Malam makin larut dan sang bulan sudah mulai berkuasa atas para bintang di langit malam ini. Maka aku pun segera melangkahkan kakiku kearahnya dengan pikiran negatif yang baru saja ku buang dalam pekat dan dinginnya malam ini. Aku mendatangi ahli sejarah yang sedari dulu ku kasihi itu.
            Kini dia sudah menyelesaikan kuliahnya pada sarjana tingkat dua dan yang ku ketahui dia telah bekerja pada bidangnya dengan penghasilan yang cukup tinggi. Hal itu mungkin akan membuatku mengurungkan niatku untuk ku sunting sebagai istri, karena pekerjaan ku yang hanya sebagai penulis yang hidup hanya berdasar pada media masa yang hidup dari masyarakat.             Ketakutan yang selalu muncul akan kebahagiaannya di masa depan telah membuatku merasa diri tak akan mampu membuatnya hidup dalam kebahagiaan bersamaku.
            ”Engkau akan membuatnya bahagia bahkan dalam setiap detiknya, kau akan membuatnya bahagia bahkan sampai ruang hampa tanpa nyawanya !” hatiku membisikan lagi hal yang akan membuatku membuang ketakutan yang akan membinasakan diriku sendiri.
            “Engkau sudah mendambakannya sejak lama, maka datangilah dia” hatiku terus membertitahuku apa yang harus ku perbuat.
            Aku pun mendatanginya dengan langkah yang cukup pasti. Mungkin dia adalah semangat yang membuatku mampu bertahan dan melawan hidup ini untuk mencapai tujuanku bahkan mungkin dia adalah tujuanku yang sebenarnya. Di malam ini, malam yang telah sunyi dari segala ramainya dunia, dia sudah berada di hatiku. Memang hanyalah dia yang tercantik dihatiku hingga seluruh bintang yang ada di langit malam ini iri padanya.
            Setelah aku sudah cukup menenangkan hati yang tengah risau ini. Maka aku mendekatinya sambil berjalan perlahan, sepertinya dia sudah melihatku, tatapan dan senyum manisnya seakan mengucapkan selamat datang padaku sehingga mampu menghangatkan udara yang mulai kehilangan oksigen di sini.
            “Hai, sudah lamakah engkau menunggu disini?” aku bertanya padanya dengan mengambil posisi duduk di sampingnya.
            “Mungkin sampai mentari menyinariku dari timur pun aku akan terus menunggumu disini, di malam yang akan menjadi sebuah drama yang akan mengalir sendiri” jawabnya sambil membenarkan posisi duduknya untuk memberi tempat padaku.
            “Ya, drama malam ini mungkin akan menjadi yang terbaik yang pernah ada di taman kota yang sepi ini.” Aku membenarkan jawabannya itu.
            Saat duduk itu, teringatlah aku pada saat aku dan dia pulang bersama setelah perkuliahan dan lika-liku hidup di sebuah kota besar, ketika menaiki sebuah kendaraan besar yang membawa orang-orang yang sibuk dalam hidup mereka. Bersama-sama kami melebur dalam jenuh dan riangnya setiap orang yang berda di dalam kendaraan panjang dan gerbong-gerbong yang sudah menjadi saksi bisu dari segala sejarah manusia itu. Harapan yang selalu ku tinggalkan dalam kereta itu adalah membantu setiap yang selalu ada di sana dan setiap rasaku pada dia yang berusaha membunuh segala yang ku pertahankan sampai saat ini.
            Kini, ketika aku melihat jam tanganku yang sudah menunjukan jam sembilan malam, aku pun mencoba untuk segera mngatakan maksudku padanya. Namun lagi-lagi, otakku memunculkan kembali bayangan-bayangan yang mencobah membunuh hatiku secara perlahan-lahan.
            “Ayolah kawan, kenapa harus berhenti sekarang? Kau sudah memulainya dan kau harus melanjutkannya kembali” hatiku menegaskan padaku apa yang harus kulakukan saat ini.
            ”Apakah aku harus melakukannya sekarang?” pikiranku seperti menjawab hingga aku hampir siap untuk mundur.
            ”Kau harus melakukannya sekarang! Di bawah malam bulan april ini, para bintang akan menjadi saksimu yang tak akan pernah lupa dan berbohong pada siapapun” hatiku terus menegaskan hal yang membuatku akan melakukannya
            ”Ah, aku baru ingat, dua hari yang akan datang adalah hari yang sangat berharga baginya, yaitu hari ulang tahunnya” pikiranku mengingatkan sesuatu yang penting dari hidupnya dan mungkin diriku juga.
            ”Aku harus melakukannya saat ini juga dan dua hari lagi aku akan mendatangi ayahnya untuk meminta sang bidadari yang disayanginya itu untuk menemaniku hingga ajal yang mampu memisahkan aku dan dia” pikiranku kini memberikan rencana kedepan yang sangat indah untuk hidupku kedepannya dan sekaligus mengubah hhidupku selamanya.
            Dalam konflik batin yang kini kian surut dalam terpaan angin malam, langahku semakin ringan kini untuk menyatakan rasa yang terpendam sejak lama sehingga aku sudah tak merasakan lagi dinginnya malam yang menggetarkan kulitku. Sebuah langkah yang ku buat untuk sekedar merasakan hal-hal yang biasa pada manusia namun merupakan sebuah hal yang cukup istimewa dalam hidup yang ku tempuh kini.
            Dalam sepi yang membuat setiap insan mengalami hal yang luar biasa dalam khayalannya masing-masing, aku melihat lurus ke depan tanpa berani melihat wajahnya yang jelita itu. Sedari dulu hingga sekarang aku tak mampu melihat wajahnya lama sekali bahkan dengan sengaja menyentuh tubuhnya yang indah itu. Aku terus berusaha mengumpulkan setiap semangat yang tersisa di bumi yang mulai ditelan malam itu.
            ”Kau akan mengatakan sesuatu yang sangat besar saat ini, maka kau akan selalu bertanggungjawab pada apa yang sudah kau lakukan” hatiku memberikan semangat yang tersisa dari dalam tubuhku dan mengingatkan kembali sebuah prinsip yang selalu ku tanamkan sejak aku merasakan dunia yang kejam ini.
            Entah mengapa, keadaanku saat ini terasa sangat bersemangat dalam penyampaian sebuah rasa yang sejak lama terpendam ini. Sepertinya, setiap kali aku memandang wajahnya, selalu memberi semangat dalam hidupk.
            ”Apa maksud dari engkau untuk mengajakku untuk bertemu di taman ini?” dia bertanya padaku, sekaligus menghamburkankonflik batin yang tengah melanda diriku ini.
            ”Aku ingin membicarakan sesuatu hal yang mungkin akan menjadi sebuah sejarah besar dalam hidupku dan duniaku ini” jawabku dengan tegas dan hati yang sudah cukup kuat untuk diriku sendiri.
            ”Apakah hal ini ada hubungannya dengan diriku?” dia bertanya, mungkin dengan rasa penasaran tentang apa yang akan ku bicarakan.
            ”Aku ingin bertanya, apakah engkau dan aku sudah saling mengenal dengan cukup baik?” aku bertanya padanya untuk memulai pembicaraan ini.
            ”Tentu saja, meskipun kau dan aku sudah cukup lama tidak saling menampakkan diri di hadapan masing-masing, tetapi aku masih mengenalmu dengan baik seperti dulu kita saling mengenal” dia menjawab persis seperti yang aku duga sebelumnya tanpa meleset sedikitpun dari apa yang kuinginkan.
            Aku mulai memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong sembil mencoba berpikir apa yang harus ku lakukan selanjutnya agar malam ini menjadi malam yang indah bagi kami. Jalan yang ku lihat kini mulai lengang dari kendaraan yang berlalu lalang. Jalan yang lengang itu seperti memerintahkanku untuk segera menyampaikan maksud dan tujuanku yang sudah lama ku simpan ini.
            Namun, entah mengapa, sepertinya angin malam yang berhembus kini sedikit demi sedikit mulai mengikis dan membawa semangat dan kekuatanku yang kususun ini kepada sang mentari malam dan menyebarkannya seperti debu.
            Namun, dalam dinginnya malam ini. Semangatku selalu muncul kembali seperti rumput-rumput di taman setiap kulihat wajahnya yang selalu tentram dan menentramkan itu.
            “Kau sudah siap kawan, lakukanlah sekarang dan buktikan pada dunia yang sudah sunyi ini, tentang keberanianmu!” hatiku memerintahkanku dengan sangat tegas agar aku segera memulainya.
            “Apakah engkau masih mengingat janjiku?” ketika di sepuluh tahun yang lalu, saat semua begitu indah di bumi ini” aku mencoba memastikan bahwa dia masih ingat janjiku itu.
            “Mungkin janjimu itu sudah menjadi fosil-fosil yang siap untuk dicari olehku, tetapi aku masih ingat walau fosil itu sudah terpendam jauh di bawah saraf-sarafku” dia menjawab dengan sedikit mengingat kembali tentang apa yang ku katakan tadi.
            Malam ini begitu dingin. Dan tubuhku seakan menjadi lebih dingin dari udara yang ada di taman kasih ini. Aku mencoba menenangkan tubuhku yang mulai dihantui ketegangan ini dengan mencoba merengkuh setiap kekuatan yang masih ada di taman untuk ku pakai saat ini.
            “Apa aku harus berhenti?” pikiranku muncul seketika.
            ”Tidak! Kau akan melanjutkannya” hatiku berkata lain dari pikiranku.
            ”Mungkin aku belum siap saat ini” pikiranku kembali muncul.
            ”Kau sudah siap kini, dan kau akan melakukannya sekarang. Malam ini, di bawah langit dunia yang luas ini” hatiku terus memberiku kekuatannya.
            Dalam konflik batin yang muncul terus-menerus dalam diriku. Aku menguatkan diriku ini dan siap melakukan apa yang kuinginkan sejak lama.
            Akhirnya, dalam malam yang sepi hingga dinginnya menyelimuti. Aku memegang tangan kanannya dengan kedua tanganku dan berjongkok dihadapannya. Ini adalah pertama kalinya aku memegang bagian tubuhnya secara langsung menyentuh kulitnya dengan sengaja. Begitu hangat tangannya itu terasa di tanganku.
            Aku pun menatap matanya yang indah itu dengan bola mata hitam yang terhalang oleh kacamatanya yang membuatnya semakin cantik. Seketika itu pun dia menatap ku dengan tajamnya. Maka aku sampaikanlah maksudku.
            ”Dalam malam yang begitu dinginnya terhangatkan olehmu, bulan dan bintang malam yang cantiknya tersaingi olehmu, dan taman kasih ini menjadi saksi bisu yang mempertemukan kita. Maukah kau menikah denganku?”
            Dia terdiam dan mulai berpikir seperti mengkhayalkan sesuatu yang akan terjadi pada dirinya kelak, sedang aku masih menatap matanya yang begitu indah itu dengan sejuta harapan yang siap ku petik dari pohon kebahagiaan.
            Kini, dalam taman yang begitu hening, aku menunggu jawaban dari seseorang yang sangat ku kasihi yang akan menjadi drama kenyataan sepanjang hayatku.


No comments:

Post a Comment