Senja
ini aku teringat padamu, Rinjani. Awan yang berarak-arak menyapu kemilau
matahari kemudian membuat suasana menjadi sayup. Warna langit berubah seketika
menjadi melankolis. Itu semua membuatku teringat padamu.
Di luar gerimis membuat senja
semakin muram. Besi-besi yang beradu dan bergesekan dengan rel yang sempat
panas membuat tubuhku terguncang sedikit. Inilah kereta yang mengantarkan
jiwa-jiwa penuh rindu. Deru mesin terus bergelora membahana hingga memecah
malam yang hendak terbit dari sela-sela siluet senja. Tetapi sekarang masih
senja, Rinjani. Dan aku terus teringat padamu.
Pada kaca jendela kereta, bukan
pemandangan yang terhampar bebas di luar dan sehamparan pohon-pohon rindang
yang membuatku terpesona, tetapi bayangan dirimu yang tak juga pergi dari
kedalaman otakku dan tercerminkan di kaca jendela yang membuatku merasa
bahagia. Apakah kau masih mengingatnya? Ciuman pertama kita yang terjadi ketika
senja di bawah sebuah pohon rindang yang tidak aku tahu namanya, namun
daun-daunnya terus berguguran tiada henti serupa gerimis.
***
“Tentu saja aku tak tahu, tetapi
mungkin angin yang telah menggugurkan daun-daun itu.” jawabku dengan sedikit
menebak-nebak.
“Hahaha, apa kau tidak merasakannya sedari tadi?
Tidak pernah ada angin yang melintasi tempat ini sedari dulu.” katamu.
Ya. Memang aku tak merasakan ada
angin yang melintasiku sejak aku berada dibawah pohon rindang ini. Sungguh
aneh, kesejukan tempat ini memang sangat alami, tetapi ketiadaan angin yang
melintas di sini membuatku bertanya-tanya. Angin sepertinya terpecah dan
melebur ketika hendak masuk ke wilayah pohon ini bernaung. Ada apa dengan
tempat ini?
“Oh aku baru menyadarinya. Ternyata
aku memang tak merasakan ada sedikit pun angin yang melintas di tempat ini. Tetapi
Rinjani, apakah kau tahu apa nama pohon rindang ini?” tanyaku sedikit
penasaran.
“Hmmm, maaf Rangga, aku tak tahu apa
tepatnya nama pohon ini. Tetapi kakekku pernah mengatakan bahwa pohon ini
adalah pohon keramat.” jawabmu. Sungguh mengecewakan, tetapi tak apa bagiku.
“Lalu, kenapa pohon ini disebut
sebagai pohon keramat?” tanyaku lagi. Kali ini rasa penasaranku semakin
meninggi.
“Konon kata kakekku, pohon ini telah
tumbuh dengan sendirinya kala senja bercampur dengan gerimis yang turun.
Tiba-tiba pohon ini tumbuh sangat cepat dan pada keesokan harinya pohon ini
sudah sebesar dengan
yang dapat kau lihat sekarang. Tetapi keanehan terus berlanjut ketika tak ada
sedikitpun angin yang dapat melintasi tempat ini. Angin secara tiba-tiba saja
terpecah dan melebur menghilang entah kemana.”
“Lalu bagaimana dengan daun-daun
yang berguguran itu. Mengapa tak habis-habisnya daun pada pohon ini meskipun
setiap senja selalu berguguran daunnya?” tanyaku sedikit memotong penjelasanmu
karena rasa penasaranku.
“Aku rasa daun-daun pada pohon ini
memang tak akan pernah habisnya. Memang ketika senja daun-daunnya selalu
berguguran seluruhnya hingga tak bersisakan sehelai pun ketika senja telah
habis. Tetapi ketika malam sedang pekat-pekatnya, pohon ini memunculkan kembali
daun-daun itu sehingga pada pagi hari pohon ini menjadi rimbun seperti biasa.”
jelasmu lagi. Tetapi aku masih terus ingin bertanya agar waktu tak mati dan aku
masih punya alasan untuk memandangi wajahmu.
“Lalu kemana daun-daun itu pergi
setelah mereka melepaskan diri dari pohon ini?”
“Setelah senja, konon daun-daun itu
berubah menjadi kupu-kupu cahaya yang menyerupai bintang-bintang kemudian
terbang ke angkasa sehingga kita tak bisa membedakan lagi antara bintang dan
kupu-kupu cahaya itu.” Jelasmu sambil membentangkan tangan seakan-akan hendak
menangkap semua kupu-kupu cahaya yang tadi kau ceritakan.
“Hmmm, sungguh cerita yang menarik, Rinjani.
Aku sangat menyukainya.” Kataku dengan penuh apresiasi karena cerita yang
sangat luar biasa ini.
“Jadi bagimu itu hanya cerita
biasa?” tanyamu dengan wajah sedikit cemberut.
“Hahaha” aku kemudian tertawa “Aku
hanya bercanda, Rinjani. Kau sangat cantik”
Sungguh ini senja begitu teduh
bagiku. Daun-daun terus berguguran sedikit demi sedikit dari pohon tanpa nama
pada senja ini, seperti gerimis yang indah. Tanpa ada sedikitpun angin yang
menerpa, tempat ini tidak kehilangan kesejukkannya. Daun-daun yang bentuknya
menyerupai kupu-kupu itu hanya sebagian yang jatuh ke tanah dan bertemu dengan
rumput-rumput yang hijau. Dan sebagian lainnya mengambang di udara dan bergerak
dengan bebasnya seperti memiliki kehendaknya sendiri. Tetapi semua berlangsung
sangat alamiah dan tak disadari sedikitpun.
Dan kau, Rinjani, masih berdiri di
hadapanku dengan anggunnya. Kau masih saja memandangi daun-daun yang gugur
entah mengapa, juga mamandangi dunia senja yang begitu lembut, seperti hatimu.
Aku memandangimu dan sesekali meihat
guguran daun-daun itu. Pada suatu ketika kita saling berpandangan. Aku
merasakan bukan mata kita saja yang saling tertambat, tapi hati kita pun saling
berpegangan dengan erat ketika itu.
Lalu
kita pun berciuman. Inilah ciuman pertama kita saat remaja. Ciuman panjang yang
mengalunkan melodi alam cinta. Darah kita saling berdesir menyatu dalam damai.
Begitu lembut seperti senja yang kita arungi dalam ciuman itu. Pada akhirnya
ciuman kita berakhir ketika kita berada di pengghujung senja.
“Aku
mencintaimu, Rinjani” tiba-tiba hanya kata itulah yang meluncur dari mulutku,
tetapi aku senang karena akhirnya aku mampu mengucapkannya padamu.
“Apa
kau ingin tahu cerita yang lain dari pohon ini?” tanyamu begitu lirih dan penuh
perasaan.
“Apa
itu?”
“Ketika
sepasang kekasih saling berciuman di bawah pohon ini ketika daun-daun saling
berguguran pada senja.” Katamu. “Maka mereka akan akan menjadi pasangan sejati yang tak akan
terpisahkan selamanya, sedang cinta mereka akan menjadi abadi dan tersimpan dalam
salah satu jiwa kupu-kupu cahaya yang mengangkasa.”
“Ya
Rinjani. Kita akan menjadi sepasang kekasih senja. Dan tak akan ada yang mampu
memisahkan kita.”
Setelah
itu, senja telah luntur dan berganti malam. Kita pun pulang bersama ke kampung
untuk menikmati malam yang penuh bintang. Atau kita dapat menyebutnya kupu-kupu
cahaya yang menyerupai bintang.
***
Kereta masih melaju dan menembus
senja di kota yang berlainan dengan tempatmu tinggal. Kita sudah berpisah
selama lima tahun. Aku bukan meninggalkanmu, tetapi hanya menuntut ilmu dan
bekerja untuk dapat hidup denganmu.
Kini aku akan segera bertemu
denganmu. Sudah kupersiapkan semuanya sedari awal. Cincin dengan bentuk
kupu-kupu di atasnya akan segera kumasukkan ke jari manismu. Tabungan yang
telah kupersiapkan cukup lama sebagai biaya untuk kita dapat mengikatkan diri
untuk selamanya. Juga selalu kubawa pula cinta yang selalu mengingatkanku
padamu.
Mungkin kau sekarang sedang
menungguku di bawah pohon rindang itu. Dengan sesekali menyuarakan namaku. Tetapi bersabarlah
sedikit lagi. Aku akan segera menemuimu. Bukankah aku sudah berjanji?
Malam mulai menyelimuti kereta yang
membawaku ini. Gerimis di luar tak hentinya menerjang dan kini berubah menjadi
hujan deras. Malam menjadi semakin pekat. Dan kueja namamu pada embun di
jendela kereta, “Niken Sarasvati Rinjani”
Namun hujan semakin menderas.
Rel-rel tua menjadi semakin basah dan licin. Tubuhku terguncang dan oleng
sedikit ke kiri mengikuti gerekan kereta yang hendak berbelok ke kanan. Tetapi kecepatan kereta yang begitu kencang dan
rel-rel yang licin membuat kereta menjadi miring terlalu ke kiri dan akhirnya
tumbanglah kereta ini.
Kereta ini tidak langsung berhenti
melainkan terus bergesekan dengan jalan raya yang ada di sampingnya hingga hancur
seluruh tubuh. Juga tubuhku dan para penumpang lainnya yang ikut terseret
kereta. Aku hanya bisa pasrah saat itu, ketika tubuhku saling bergesekan dengan
aspal karena kaca jendela di sampingku telah pecah dan hancur, sebagian
pecahannya menusuk-nusuk tubuhku.
Saat kereta telah berhenti
bergesekan. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi dengan diriku. Segalanya menjadi
gelap dan hanya ada bayangan wajahmu saat itu, Rinjani. Dalam gelap itu aku
hanya dapat berdoa.
“Tuhan, pertemukanlah aku dengan Rinjani,
meski hanya sekali.”
Setelah itu, aku melihat pintu
rumahmu. Aku masuk dan mendapatimu sedang berdiri menungguku. Lalu kita saling
berciuman untuk melepaskan kerinduan yang sangat mendalam. Itulah ciuman
terlama yang pernah kita alami.
Saat itu seakan-akan waktu telah
berhenti dan hanya menyisakan kau dan aku di bumi. Aku memelukmu sangat erat
seakan tak ingin melepaskanmu. Air matamu membasahi pundakku. Rasanya aku tak
ingin melepaskanmu.
“Maafkan aku, Rinjani. Aku telah
mengingkari janjiku.” kataku sambil melepaskan pelukan kita dan pergi keluar.
Kemudian semuanya menjadi gelap.
***
Rangga, saat itu aku dengan resah
menunggumu di depan pintu rumahku. Aku tahu bahwa kau pasti akan datang esok
hari. Tetapi aku masih terus menunggumu semalaman, seakan-akan aku tak mau
melewatkan satu detik pun momen ketika kau datang ke rumahku setelah sekian
lama kita tak berjumpa.
Pada malam ketika hujan mulai
menyisakan embun-embun yang memenuhi udara dingin. Kau muncul dari depan pintu
rumahku. Aku kaget melihat kau datang secepat ini. Kemudian kau menciumku
begitu lama, memelukku begitu erat, dan berkata dengan lirih
“Maafkan aku, Rinjani. Aku telah
mengingkari janjiku.”
Aku
pun menangis di pelukanmu. Tetapi kau kemudian pergi keluar rumahku dan segera
menutup pintu. Saat aku keluar, kau sudah tiada. Yang ada saat itu hanyalah
sebuah bintang yang cukup terang atau aku sering menyebutnya sebagai kupu-kupu
cahaya.
Bandung, 2013
No comments:
Post a Comment