Di kafe itu bau rinai hujan masih
semerbak dari luar jendela. Air-airnya terus bercipratan setelah usai
berhantaman dengan bumi yang kupijak ini. Kafe dan hujan kini seolah-olah
mengingatkanku pada kejadian saat itu. Saat dunia masih terlalu sempit untuk
kita berdua dan akhirnya aku melamarmu di kafe kenangan ini.
Hidup memang belum usai benar dan
hari pasti berganti menjadi esok, tapi kata-kata bijak yang sering kudengar di
televisi sebagai amanat seperti selalu menamparku.
“Hari ini adalah anugrah dan esok
haruslah lebih baik dari hari ini” katanya. Itulah kata-kata yang terus
menamparku dari waktu ke waktu karena hari esokku kini sudah menguap bersama
air hujan sore ini.
Padahal ketika itu kita sudah di
ujung pernikahan. Lamaranku sudah kau terima dengan sempurna kala itu. Dan
dengan manis kau tersenyum padaku sambil menerima cincin itu. Aku pun sudah
mendatangi ayahmu dan mengungkapkan maksud hati dan akhirnya ia pun
menyetujuinya.
“Aku sangat senang sekali saat ini”
kataku.
“Ya, aku pun begitu” katamu membalas
sambil terus menyiapkan pernikahan kita.
Dan tiba-tiba hal itu terjadi ketika
seminggu sebelum pernikahan kita dimulai. Kita hendak membuat kartu undangan
untuk rekan-rekan kita agar bisa datang ke pernikahan istimewa ini.
Di luar hujan yang sempat redup kini
kembali deras. Lalu kuteguk secangkir kopi yang telah kupesan tadi. Sore itu
ingatanku terus tertuju padamu dan seolah-olah di kaca jendela kafe itu mulai
muncul wajahmu bersama kenangan kita dahulu.
Ketika itu undangan sudah kita buat
bersama sambil menikmati romantisme terakhir sebelum pernikahan. Aku sadar
bahwa ini bukanlah yang terakhir benar, tapi awal dari kehidupan baru yang siap
kita bingkai bersama dalam waktu yang abadi. Dunia memang terasa begitu indah
saat itu.
Setelah itu kita pun menyusun daftar
orang yang akan menghadiri pernikahan kita. Saat menyusun nama-nama itulah kau
tiba-tiba termenung. Entah apa yang kau pikirkan sehingga tiba-tiba kau seperti
hendak meneteskan airmata.
“Ada apa?” tanyaku sedikit khawatir
kala itu.
“Aku tak apa-apa” jawabmu seperti
biasa. Jawaban yang justru membuatku semakin cemas akan keadaanmu.
Tiba-tiba kau pergi begitu saja ke
dalam kamarmu dan aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu. Aku hanya
bisa berharap bahwa kau akan baik-baik saja. Tetapi rasa penasaranku semakin
meninggi kala itu. Kemudian aku pun melihat daftar nama-nama yang akan kita
undang untuk pernikahan kita nanti.
Aku sedikit tercekat kala itu. Aku
melihat nama kekasihmu dahulu yang tanpa alasan yang jelas kau tinggalkan.
“Apakah mungkin kau masih
mencintainya?” pikirku dalam hati. Namun mulai kubuang jauh-jauh pikiran
negatif itu karena sebentar lagi kita akan menikah. Akan sangat tidak indah
jika kita harus berkonflik karena hal ini.
Kuteguk lagi kopi yang masih hangat
di atas meja kafe ini. Sedangkan di luar angin semakin kencang saja menerkam
rintik-rintik hujan yang rapuh itu. Rintik-rintik hujan yang sama rapuhnya
dengan diriku kini. Dan sosokmu kini mulai berkelebat di angin yang semakin
memburu itu.
“Apakah kau tidak apa-apa?” tanyaku
lagi keesokan harinya.
“Aku tidak apa-apa, percayalah”
jawabmu dan lagi-lagi jawaban yang semakin membuatku khawatir.
“Baiklah kalau begitu. Hmmm, apakah
ada masalah dengan daftar orang yang akan kita undang nanti?” tanyaku dengan
sedikit menyelidiki.
“Aku rasa tidak ada. Sebaiknya kita
segera mengirimkan undangan itu pada mereka” jawabmu, tetapi jawabanmu kali ini
sedikit banyak membuatku tenang.
Tiga hari sebelum pernikahan kita,
aku mulai mengirimkan undangan-undangan itu dengan jasa pos dan hari itu pula
mereka akan menerima kabar gembira kita. Setelah itu kita mulai mempersiapkan
hal lain lagi agar pernikahan kita terlihat sempurna dan sesuai dengan yang
kita harapkan.
Kita kembali mempersiapkan konsep
pernikahan yang serba berwarna coklat dan violet itu. Tetapi lagi-lagi kau
seperti tak terlihat senang, padahal konsep itulah yang kau ajukan padaku saat
setelah lamaranku diterima.
Lagi-lagi aku menjadi resah. Entah
mengapa kini aku mulai berpikir bahwa pernikahan kita nanti tidak akan berjalan
baik.
“Aku tidak apa-apa. Kita akan
menjalani ini dengan baik” katamu dengan seyum yang selalu mempu meluluhkan
hatiku.
“Ya, aku pun berpikir begitu. Tapi
apakah sebaiknya kita ganti saja tema warna pernikahan kita?” tanyaku sambil
terus menyelidiki.
“Tidak perlu, aku senang dengan
warna ini” jawabmu berusaha meyakinkanku.
Angin yang tadi sempat membesar kini
mulai mereda dengan perlahan. Tapi rasa cintaku padamu tak pernah berhenti
begitu saja, bahkan semakin bertambah sebanyak rintik hujan yang berjatuhan ke
bumi ini. Dan mulai kuteguk kembali kopi yang ada di atas meja itu sambil terus
memandangi bayanganmu di kaca jendela.
Dua hari sebelum pernikahan tiba,
persiapan pernikahan sudah benar-benar matang. Hanya tinggal mempersiapkan
mental dalam diri kita saja agar kita bisa semakin bersatu. Tetapi pagi itu
segalanya seperti hendak retak dan lebur.
Dia, orang yang pernah menjadi
kekasihmu dulu datang padamu. Dia masih bisa tersenyum kepadamu. Tentu ada
sedikit cemburu dalam hatiku, tetapi itu semua kupendam karena hanya tinggal
dua hari lagi kita akan menikah.
Saat itu kau mendatanginya dengan
perasaan yang resah, bahagia dan kesedihan yang mendalam. Aku dapat melihatnya
dari matamu dan sikapmu kala mendatanginya. Dan kau masih bisa tersenyum pula
padanya.
Namun, tiba-tiba dia memegang
tanganmu dan itu membuatku hampir memukulnya dengan segala amarahku.
“Aku akan selalu mencintaimu”
katanya padamu dengan pandangan yang sangat dalam.
“Aku...”
“Menikahlah denganku dan kita akan
pergi mengarungi kehidupan kita bersama tanpa ada yang dapat menghalangi”
katanya lagi dengan kata-kata yang hampir mirip dengan kata-kata yang kuucapkan
ketika hendak melamarmu.
Ketika itu akhirnya aku mengetahui sesuatu
bahwa kau masih mencintainya. Kau pun berpaling darinya dan mulai mendekatiku.
Kemudian kau tersennyum padaku dengan senyuman yang paling manis.
“Aku sayang padamu” katamu.
“Tetapi aku rasa, aku belum mampu
mencintaimu dengan penuh. Aku rasa, aku masih ingin bersamanya. Maafkan aku...”
katamu dengan sedikit menahan tangis yang akan segera membuncah keluar.
“Tapi kita hampir menikah” kataku
menyela kata-katamu
“Maafkan aku...”
Aku hampir menangis kala itu. Hatiku
terasa remuk dalam badai asmara yang menimpaku. Dan kata-kata maaf darimu
seakan kutukan untuk membuatku menderita. Sedetik kemudian kau pergi bersama
lelaki yang pernah kau cintai, mungkin pula masih sangat kau cintai sampai
sekarang.
Malam sudah jatuh menimpa bumi kini.
Hujan pun sudah selesai melakukan ritualnya. Sedangkan kopiku kini sudah habis
dan hanya menyisakan ampas yang abadi seperti cintaku padamu yang masih terus
akan tersisa cukup banyak.
Aku pun telah selesai pula
menuliskan kisahku tentang percintaan kita yang berakhir dengan kutukan yang
abadi. Tetapi sebelum pulang aku kembali memandangmu dari cerminan kaca jendela
karena aku tak berani memandang langsung padamu yang berada tepat di
belakangku. Entah mengapa, aku hanya ingin menikmati wajahmu dari jauh saja.
Di sana kau masih terus tersenyum
dengan manis meskipun senyuman itu bukan untukku lagi. Ya, kau telah
bersamanya. Orang yang pernah kau cintai, mungkin akan terus kau cintai.
Selamat tinggal...
2012
No comments:
Post a Comment