Friday, May 23, 2014

Kutuliskan Bayangmu Dalam Rintik Hujan

oleh: Herlangga


            Di kafe itu bau rinai hujan masih semerbak dari luar jendela. Air-airnya terus bercipratan setelah usai berhantaman dengan bumi yang kupijak ini. Kafe dan hujan kini seolah-olah mengingatkanku pada kejadian saat itu. Saat dunia masih terlalu sempit untuk kita berdua dan akhirnya aku melamarmu di kafe kenangan ini.
            Hidup memang belum usai benar dan hari pasti berganti menjadi esok, tapi kata-kata bijak yang sering kudengar di televisi sebagai amanat seperti selalu menamparku.
            “Hari ini adalah anugrah dan esok haruslah lebih baik dari hari ini” katanya. Itulah kata-kata yang terus menamparku dari waktu ke waktu karena hari esokku kini sudah menguap bersama air hujan sore ini.
            Padahal ketika itu kita sudah di ujung pernikahan. Lamaranku sudah kau terima dengan sempurna kala itu. Dan dengan manis kau tersenyum padaku sambil menerima cincin itu. Aku pun sudah mendatangi ayahmu dan mengungkapkan maksud hati dan akhirnya ia pun menyetujuinya.
            “Aku sangat senang sekali saat ini” kataku.
            “Ya, aku pun begitu” katamu membalas sambil terus menyiapkan pernikahan kita.
            Dan tiba-tiba hal itu terjadi ketika seminggu sebelum pernikahan kita dimulai. Kita hendak membuat kartu undangan untuk rekan-rekan kita agar bisa datang ke pernikahan istimewa ini.
            Di luar hujan yang sempat redup kini kembali deras. Lalu kuteguk secangkir kopi yang telah kupesan tadi. Sore itu ingatanku terus tertuju padamu dan seolah-olah di kaca jendela kafe itu mulai muncul wajahmu bersama kenangan kita dahulu.
            Ketika itu undangan sudah kita buat bersama sambil menikmati romantisme terakhir sebelum pernikahan. Aku sadar bahwa ini bukanlah yang terakhir benar, tapi awal dari kehidupan baru yang siap kita bingkai bersama dalam waktu yang abadi. Dunia memang terasa begitu indah saat itu.
            Setelah itu kita pun menyusun daftar orang yang akan menghadiri pernikahan kita. Saat menyusun nama-nama itulah kau tiba-tiba termenung. Entah apa yang kau pikirkan sehingga tiba-tiba kau seperti hendak meneteskan airmata.
            “Ada apa?” tanyaku sedikit khawatir kala itu.
            “Aku tak apa-apa” jawabmu seperti biasa. Jawaban yang justru membuatku semakin cemas akan keadaanmu.
            Tiba-tiba kau pergi begitu saja ke dalam kamarmu dan aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu. Aku hanya bisa berharap bahwa kau akan baik-baik saja. Tetapi rasa penasaranku semakin meninggi kala itu. Kemudian aku pun melihat daftar nama-nama yang akan kita undang untuk pernikahan kita nanti.
            Aku sedikit tercekat kala itu. Aku melihat nama kekasihmu dahulu yang tanpa alasan yang jelas kau tinggalkan.
            “Apakah mungkin kau masih mencintainya?” pikirku dalam hati. Namun mulai kubuang jauh-jauh pikiran negatif itu karena sebentar lagi kita akan menikah. Akan sangat tidak indah jika kita harus berkonflik karena hal ini.
            Kuteguk lagi kopi yang masih hangat di atas meja kafe ini. Sedangkan di luar angin semakin kencang saja menerkam rintik-rintik hujan yang rapuh itu. Rintik-rintik hujan yang sama rapuhnya dengan diriku kini. Dan sosokmu kini mulai berkelebat di angin yang semakin memburu itu.
            “Apakah kau tidak apa-apa?” tanyaku lagi keesokan harinya.
            “Aku tidak apa-apa, percayalah” jawabmu dan lagi-lagi jawaban yang semakin membuatku khawatir.
            “Baiklah kalau begitu. Hmmm, apakah ada masalah dengan daftar orang yang akan kita undang nanti?” tanyaku dengan sedikit menyelidiki.
            “Aku rasa tidak ada. Sebaiknya kita segera mengirimkan undangan itu pada mereka” jawabmu, tetapi jawabanmu kali ini sedikit banyak membuatku tenang.
            Tiga hari sebelum pernikahan kita, aku mulai mengirimkan undangan-undangan itu dengan jasa pos dan hari itu pula mereka akan menerima kabar gembira kita. Setelah itu kita mulai mempersiapkan hal lain lagi agar pernikahan kita terlihat sempurna dan sesuai dengan yang kita harapkan.
            Kita kembali mempersiapkan konsep pernikahan yang serba berwarna coklat dan violet itu. Tetapi lagi-lagi kau seperti tak terlihat senang, padahal konsep itulah yang kau ajukan padaku saat setelah lamaranku diterima.
            Lagi-lagi aku menjadi resah. Entah mengapa kini aku mulai berpikir bahwa pernikahan kita nanti tidak akan berjalan baik.
            “Aku tidak apa-apa. Kita akan menjalani ini dengan baik” katamu dengan seyum yang selalu mempu meluluhkan hatiku.
            “Ya, aku pun berpikir begitu. Tapi apakah sebaiknya kita ganti saja tema warna pernikahan kita?” tanyaku sambil terus menyelidiki.
            “Tidak perlu, aku senang dengan warna ini” jawabmu berusaha meyakinkanku.
            Angin yang tadi sempat membesar kini mulai mereda dengan perlahan. Tapi rasa cintaku padamu tak pernah berhenti begitu saja, bahkan semakin bertambah sebanyak rintik hujan yang berjatuhan ke bumi ini. Dan mulai kuteguk kembali kopi yang ada di atas meja itu sambil terus memandangi bayanganmu di kaca jendela.
            Dua hari sebelum pernikahan tiba, persiapan pernikahan sudah benar-benar matang. Hanya tinggal mempersiapkan mental dalam diri kita saja agar kita bisa semakin bersatu. Tetapi pagi itu segalanya seperti hendak retak dan lebur.
            Dia, orang yang pernah menjadi kekasihmu dulu datang padamu. Dia masih bisa tersenyum kepadamu. Tentu ada sedikit cemburu dalam hatiku, tetapi itu semua kupendam karena hanya tinggal dua hari lagi kita akan menikah.
            Saat itu kau mendatanginya dengan perasaan yang resah, bahagia dan kesedihan yang mendalam. Aku dapat melihatnya dari matamu dan sikapmu kala mendatanginya. Dan kau masih bisa tersenyum pula padanya.
            Namun, tiba-tiba dia memegang tanganmu dan itu membuatku hampir memukulnya dengan segala amarahku.
            “Aku akan selalu mencintaimu” katanya padamu dengan pandangan yang sangat dalam.
            “Aku...”
            “Menikahlah denganku dan kita akan pergi mengarungi kehidupan kita bersama tanpa ada yang dapat menghalangi” katanya lagi dengan kata-kata yang hampir mirip dengan kata-kata yang kuucapkan ketika hendak melamarmu.
            Ketika itu akhirnya aku mengetahui sesuatu bahwa kau masih mencintainya. Kau pun berpaling darinya dan mulai mendekatiku. Kemudian kau tersennyum padaku dengan senyuman yang paling manis.
            “Aku sayang padamu” katamu.
            “Tetapi aku rasa, aku belum mampu mencintaimu dengan penuh. Aku rasa, aku masih ingin bersamanya. Maafkan aku...” katamu dengan sedikit menahan tangis yang akan segera membuncah keluar.
            “Tapi kita hampir menikah” kataku menyela kata-katamu
            “Maafkan aku...”
            Aku hampir menangis kala itu. Hatiku terasa remuk dalam badai asmara yang menimpaku. Dan kata-kata maaf darimu seakan kutukan untuk membuatku menderita. Sedetik kemudian kau pergi bersama lelaki yang pernah kau cintai, mungkin pula masih sangat kau cintai sampai sekarang.
            Malam sudah jatuh menimpa bumi kini. Hujan pun sudah selesai melakukan ritualnya. Sedangkan kopiku kini sudah habis dan hanya menyisakan ampas yang abadi seperti cintaku padamu yang masih terus akan tersisa cukup banyak.
            Aku pun telah selesai pula menuliskan kisahku tentang percintaan kita yang berakhir dengan kutukan yang abadi. Tetapi sebelum pulang aku kembali memandangmu dari cerminan kaca jendela karena aku tak berani memandang langsung padamu yang berada tepat di belakangku. Entah mengapa, aku hanya ingin menikmati wajahmu dari jauh saja.
            Di sana kau masih terus tersenyum dengan manis meskipun senyuman itu bukan untukku lagi. Ya, kau telah bersamanya. Orang yang pernah kau cintai, mungkin akan terus kau cintai. Selamat tinggal...


2012

No comments:

Post a Comment