oleh: Herlangga Juniarko
Kini kamar itu tengah diisi oleh
sepasang kekasih lelaki dan wanita yang tengah asyik bermain cinta dan memadu
kasih dengan tanpa balutan apapun dalam diri mereka, tanpa dosa yang akan terus
mengganggu mereka, dan tanpa adanya keraguan yang akan mereka tanggung kelak
suatu hari.
Keduanya tengah asyik bermain cinta
di sebuah kamar remang-remang dengan sebuah kasur busa dengan ukuran untuk dua
orang saja. Selain kasur, kamar itu tak berisi apapun juga kecuali lantai
keramik putih yang disinari sebuah bohlam yang menghasilkan suasana oranye yang
hampir padam untuk menambah syahdunya cinta mereka.
Pasangan itu masih asyik saja
bermain cinta tanpa peduli apa yang ada di sekitar mereka. Mereka tak peduli
pada nyamuk-nyamuk malam, semut dan cicak yang kini sedang menonton aksi dari
perbuatan mereka, bahkan mereka tak peduli pada setiap setan, malaikat, dan
Tuhan yang sedang mengawasi mereka saat ini. Mereka hanya peduli pada
kenikmatan yang sedang di rengguknya dari diri masing-masing. Kenikmatan yang
akan mengikat mereka, setidaknya itulah yang dikatakan orang-orang kebanyakan.
Akhirnya mereka selesai dengan
terkulainya seorang pria berumur 19 tahunan dengan badan ideal dan potongan
rambut agak dimohawk, juga senyum puas dari seorang wanita berumur 20 tahunan
dengan rambut panjang tergerai di atas bantal dan kulit berwarna kuning langsat
tanpa cacat sedikitpun tengah terhampar di atas kasur bersama seorang pria.
Keduanya masih tiduran di atas kasur yang spreinya mulai acak-acakan oleh buas
dari nirwana yang sengaja diturunkan untuk setiap manusia yang berpikir.
Kini kamar itu hanya berisi
kesenyapan dari nirwana. Kesenyapan yang selalu hadir bersama dosa-dosa yang
tak mampu dikutuk Tuhan hingga para malaikat dan seluruh setan pun ikut
menikmati setiap detik dari sesuatu yang menghasilkan kesenyapan dari nirwana yang
indah itu.
Dua orang itu masih terdiam dalam
senyap yang mengalirkan keringat yang begitu indah bagi mereka. Dan mereka
masih mencoba mencari sisa-sisa keindahan sesaat itu meskipun hanya yang muncul
dari raga dan jiwa mereka yang kini mulai basah karena tertimbun oleh aura yang
sudah menguasai setiap inchi dari kamar remang-remang yang sedang mereka
singgahi itu.
Kamar itu kini sangat sunyi sekali,
hanya suara angin malam beserta suara yang mulai muncul dari binatang-bintang
malam saja yang terdengar menemani kesunyian yang mereka hasilkan dalam malam
yang mereka habiskan. Suara-suara itu masih terus saja bersahutan tanpa henti
hingga menyesaki kamar itu dan tetap setia menemani pikiran-pikiran yang
dilayangkan kedua insan itu ke udara yang mulai dingin agar setan-setan dan
malaikat-malaikat dapat ikut menikmati apa yang mereka rasakan dalam sunyi yang
menggigiti kulit mereka ini.
“Rinjani, apakah kau menyesal
melakukan hal ini denganku?” tanya seorang pria yang masih terlentang pasra di
samping wanita yang ditanya olehnya.
“Menyesal? Sungguh, demi malam yang
sunyi ini, aku tidak pernah menyesal melakukannya dengan mu” jawab wanita itu
sambil memandangi pria yang berada di sampingnya dengan rasa heran.
“Rinjani, aku benar-benar
mencintaimu, bahkan tubuhku tak mampu lagi menopang cintaku padamu yang terlalu
besar ini” pria itu mulai memandangi wanita itu dengan sepenuh hati. Setelah
itu, dia kembali memandangi langit-langit yang mulai dihinggapi binatang malam
dengan tatapan kosong.
“Apakah kau memiliki perasaan cinta
yang sama denganku?” pri itu mulai melanjutkan lagi perkataannya tadi yang
sempat terpotong oleh sunyinya malam di kamar remang-remang ini. Sunyi yang
begitu indah bagi mereka berdua.
“Rangga, aku akan terus mencintaimu
sepenuh hatiku, meskipun kau hanyalah seorang bajingan yang akan terus menerus
menagih cintaku padamu. Percayailah itu, karena aku akan terus mencintaimu”
wanita itu menjawab dengan keyakinan dalam hati yang tak akan bisa dibonhongi
lagi.
Wanita itu terus memandangi pria yang
baru saja membahagiakannya itu. Dia masih terus memandangi pria itu dengan
tatapan yang penuh dengan cinta, meskipun tergambar sedikit keraguan dan
kecemasan di wajahnya yang cantik itu. Mungkin juga batinnya merasakan hal yang
sama. Perasaan dalam batin yang seperti menyiksanya secara perlahan-lahan.
“Kapan kau akan melamar diriku ini?”
wanita itu bertanya dengan berbalut kecemasan dalam pertanyaan yang
diluncurkannya itu.
Setelah memberikan pertanyaan yang
bernafaskan kecemasan itu, wanita itu mulia duduk dan mengambil sebuah selimut
yang berada di bawah kakinya untuk sekedar menutupi bagian-bagian tubuhnya yang
sudah terlena akan hasrat setiap manusia.
Pria itu terdian seketika itu juga.
Dia memandangi lagi langit-langit kamar itu seakan tengah memikirkan sesuatu.
Lalu dia pun mengambil selimut yang juga dipakai oleh wanita itu. Pria itu kini
duduk sambil menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut. Mereka kini saling
berhadapan dan saling memandang satu sama lain.
“Aku akan melamarmu saat semester 7,
saat aku akan mulai menyusun skripsi dan siap untuk lulus” pria itu berkata
sambil memadangi wanita yang sangat dicintainya itu dengan serius dan tepat di
mata dari wanita itu.
“Aku tak bisa menunggu selama itu,
Rangga” wanita itu memandangi pria itu dengan kecemasan yang amat sangat.
“Kenapa? Kini aku sudah memasuki
semester 3, tak bisakah kau menungguku 2 tahun lagi?” kini giliran pria itu
yang mulai cemas dan dia mulai cemas karena kecemasannya sendiri yang mulai
memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Orangtuaku sudah menjodohkanku
dengan orang lain, Rangga”
“Kau bisa menolaknya kan?”
“Kau bisa menolaknya kan?”
“Aku tak bisa menolak permintaan
orangtuaku”
“Kau pasti bisa menolaknya, Rinjani.
Apakah kau sudah tak mencintaiku lagi?”
“Aku tak bisa menolaknya, tapi aku
pun selalu mencintaimu dan di sisi lain, aku pun memikirkan diriku dan
keluargaku sendiri” wanita itu menghela napas sejenak sambil memalingkan
tatapan matanya pada arah yang lain.
“Keluargaku akan bersatu dengan
keluarganya dan akan berdampak pada besar dan saling menguntungkan keluarga
kami” kali ini wanita itu menundukkan kepalanya seperti mencoba menghilangkan
beban yang ada di kepalanya.
“Apakah kau tak bisa menunggu hingga
2 tahun lagi?”
“Jikapun aku dapat menunggu selama 2
tahun lagi, pasti orangtuaku tak akan mengizinkan diriku bersamamu untuk
selamanya, bahkan akal sehatku pun pasti akan berkata seperti itu”
Pria itu kini terdiam sementara.
Pria itu merasakan ada sesuatu yang sangat dahsyat telah menusuk dadanya hingga
terasa sesak kini. Dia pun mulai merebahkan dirinya di atas kasur dan kembali
melihat langit-langit dengan tatapan kosong seakan tak percaya dengan apa yang
terjadi pada dirinya kini.
“Aku hanyalah seorang penulis lepas,
mungkin saat lulus pun aku akan tetap seperti ini. Hanya bergantung pada media
masa dan tak tentu penghasilan” pria itu berkata pada dirinya sendiri, dalam
hati tentu saja.
“maafkan aku, Rangga” wanita itu
mulai berbaring di atas kasur itu lagi. Kini dia pun mulai menatap
langit-langit pula untuk sejenak menghilangkan beban yang begitu besar pada
dirinya. Tergambar sangat jelas dari raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang
sangat mendalam yang tersimpan dalam hatinya.
“Aku akan segera bertunangan,
Rangga” wanita itu berkata dengan sangat pelan namun masih sedikit terdengar
dan mengenai telinga sang pria.
“Kapan?” pria itu menanggapi dengan
rasa sesak dalam dadanya dan telah menjalar ke tenggorokannya.
“Minggu depan, saat aku akan
merayakan ulang tahunku” wanita itu memberi tahu dengan berat hati dan
mengetahui bahwa jawabannya ini pasti akan melukai pria yang dicintainya itu.
Lagi-lagi pria itu terdiam dan
merasakan rasa sesak yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia kini
membayangkan wanita yang sangat dicintainya itu akan bersama denganorang lain
yang tidak dikenalnya untuk selama-lamanya.
Kepalanya kini terasa sangat berat
sekali hingga dia tak mampu lagi sekedar menoleh pada wanita yang ada di
sampingnya. Wanita yang ia pikir akan selalu menemaninya hingga akhir hayatnya.
Wanita yang selalu menjadi kebahagian yang nyata dalam hidupnya. Dan kini dia
akan bersama orang lain yang mampu membahagiakan wanita itu lebih dari dirinya
membahagiakan wanita tersebut.
“Ya, sebaiknya kau mengakhiri
hidupmu bersamanya” pria itu berkata dengan suara yang agak serak dan berat di
tenggorokannya.
“Aku kira hidupmu akan lebih baik
jika kau bersamanya dibandingkan dengan aku yang hanya menjadi seorang penilis
ini. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh keluargamu” pria itu melanjutkan
kata-katanya yang sempat terputus karena duka yang menahannya untuk terus
melanjutkan kata-katanya.
“Aku kira, aku hanyalah seorang
wanita yang lemah yang tak berani melawan hidupku sendiri” wanita itu berkata
sambil memalingkan badannya dari pria itu. Seakan-akan berusaha menutupi segala
kesedihan yang sedang menderanya dan menekan batinnya yang lemah lembut itu.
“Aku sangat mencintaimu, Rangga.
Tapi aku tak mampu melawan hidupku dan ketakutanku sendiri akan masa depan keluargaku
ini” wanita itu berkata dengan suara yang agak lirih dan menyayat hati.
Kini wanita itu seperti akan
menagis. Tangisan yang berusaha mengeluarkan segala beban yang ada di hatinya.
“Aku pun selalu mencintaimu,
Rinjani. Meskipun kau bukanlah milikku lagi karena kepentingan keluargamu” pria
itu berkata dengan suara yang yang berat dan semakin berat dengan perkara yang
sedang dihadapinya ini.
Pria itu kini mencoba menenangkan
dirinya sendiri. Dia berusaha meredam beban yang sedang melanda batinnya saat
ini, walaupun dia tak akan mampu melakukannya. Pria itu terlalu mencintai
wanita yang ada di sampingnya. Dia bahkan tak tahu apa yang harus dilakukannya
selanjutnya tanpa kehadiran wanita itu di sisinya.
Sedang wanita itu masih saja dilanda
ketidaksiapan meninggalkan pria itu untuk selamanya. Dia tak akan mungkin lupa
setiap belaian yang selalu menghangatkan seluruh jiwa dan setiap raganya. Dan
setiap rasa dalam batin yang gersang yang muncul karena mencintainya.
Di kamar itu, segala haru kini mulai
bercampur menjadi sebuah rasa yang satu. Kebahagiaan selalu berakhir dengan
kepasrahan akan takdir. Dan wanita itu menjadi korban yang harus menanggung
cobaan batin yang sangat berat.
Wanita itu kini mulai membalikkan
badannya lagi untuk menghadap pria yang selalu ada di sampingnya kini. Dengan
hati yang masih kacau dan keputusasaan yang berada di ambang, kini dia
mengambil nafas panjang dan melepaskan segala kerisauannya dalam hembusan nafas
yang menyegarkannya.
“Apakah kau benar-benar mencintaiku,
Rangga?” wanita itu bertanya dengan mata memelas seperti menginginkan suatu
kepastian walaupun kepastian itu terasa sangat hampa bagi dirinya sendiri.
“Aku sungguh sangat mencintaimu,
Rinjani” pria itu berkata dengan tegas.
Sedetik kemudian setelah pria itu menegaskan
jawabannya untuk kesekian kalinya, dia mencium kekasihnya dengan sangat mesra
tepat di bibirnya. Bibir yang selalu ia nikmati sedari dulu ktika dunia terasa
begitu indah bagi mereka berdua.
Wanita itu hanya mampu menikmati
ciuman itu. Ciuman yang benar-benar diresapinya kali ini hingga ia tak mampu
lagi untuk memeluk pria itu dengan sangat erat, seakan-akan ia tak ingin
melepaskannya hingga ia tak mampu lagi menahan segala kebijakan dalam takdir.
Dia memeluknya dengan penuh gelora dalam setiap bagian tubuhnya yang ingin
merasakan kebahagiaan yang nyata.
Hasrat pria itu kini sudah tak
tertahan lagi hingga kini keduanya hanya bisa terbuai dalam suasana dan
panasnya cinta yang hanya sesaat ini. Cinta yang mungkin akan berakhir pada
malam ini dalam segala kerisauan dan kebahagiaan yang akan mereka rasakan pada
saat yang begitu romantis ini.
“Rinjani, Rinjani. Kau begitu cantik
sekali malam ini. Kenapa pula takdir harus mengambilmu dari sisiku ini?” pria
itu berkata sambil terus semakin tenggelam dalam suasana remang-remang di kamar
itu.
“Ah Rangga, pangeranku. Lakukanlah
saja semua yang ingin kau lakukan pada diriku malam ini juga. Mungkin ini
adalah malam yang tak akan pernah tergantikan oleh malam-malam yang ada dalam
hidup kita”
2012
No comments:
Post a Comment