Monday, June 17, 2013

Obrolan Kamar Remang-remang



oleh: Herlangga Juniarko
 
            Kini kamar itu tengah diisi oleh sepasang kekasih lelaki dan wanita yang tengah asyik bermain cinta dan memadu kasih dengan tanpa balutan apapun dalam diri mereka, tanpa dosa yang akan terus mengganggu mereka, dan tanpa adanya keraguan yang akan mereka tanggung kelak suatu hari.
            Keduanya tengah asyik bermain cinta di sebuah kamar remang-remang dengan sebuah kasur busa dengan ukuran untuk dua orang saja. Selain kasur, kamar itu tak berisi apapun juga kecuali lantai keramik putih yang disinari sebuah bohlam yang menghasilkan suasana oranye yang hampir padam untuk menambah syahdunya cinta mereka.
            Pasangan itu masih asyik saja bermain cinta tanpa peduli apa yang ada di sekitar mereka. Mereka tak peduli pada nyamuk-nyamuk malam, semut dan cicak yang kini sedang menonton aksi dari perbuatan mereka, bahkan mereka tak peduli pada setiap setan, malaikat, dan Tuhan yang sedang mengawasi mereka saat ini. Mereka hanya peduli pada kenikmatan yang sedang di rengguknya dari diri masing-masing. Kenikmatan yang akan mengikat mereka, setidaknya itulah yang dikatakan orang-orang kebanyakan.

            Akhirnya mereka selesai dengan terkulainya seorang pria berumur 19 tahunan dengan badan ideal dan potongan rambut agak dimohawk, juga senyum puas dari seorang wanita berumur 20 tahunan dengan rambut panjang tergerai di atas bantal dan kulit berwarna kuning langsat tanpa cacat sedikitpun tengah terhampar di atas kasur bersama seorang pria. Keduanya masih tiduran di atas kasur yang spreinya mulai acak-acakan oleh buas dari nirwana yang sengaja diturunkan untuk setiap manusia yang berpikir.
            Kini kamar itu hanya berisi kesenyapan dari nirwana. Kesenyapan yang selalu hadir bersama dosa-dosa yang tak mampu dikutuk Tuhan hingga para malaikat dan seluruh setan pun ikut menikmati setiap detik dari sesuatu yang menghasilkan kesenyapan dari nirwana yang indah itu.
            Dua orang itu masih terdiam dalam senyap yang mengalirkan keringat yang begitu indah bagi mereka. Dan mereka masih mencoba mencari sisa-sisa keindahan sesaat itu meskipun hanya yang muncul dari raga dan jiwa mereka yang kini mulai basah karena tertimbun oleh aura yang sudah menguasai setiap inchi dari kamar remang-remang yang sedang mereka singgahi itu.
            Kamar itu kini sangat sunyi sekali, hanya suara angin malam beserta suara yang mulai muncul dari binatang-bintang malam saja yang terdengar menemani kesunyian yang mereka hasilkan dalam malam yang mereka habiskan. Suara-suara itu masih terus saja bersahutan tanpa henti hingga menyesaki kamar itu dan tetap setia menemani pikiran-pikiran yang dilayangkan kedua insan itu ke udara yang mulai dingin agar setan-setan dan malaikat-malaikat dapat ikut menikmati apa yang mereka rasakan dalam sunyi yang menggigiti kulit mereka ini.
            “Rinjani, apakah kau menyesal melakukan hal ini denganku?” tanya seorang pria yang masih terlentang pasra di samping wanita yang ditanya olehnya.
            “Menyesal? Sungguh, demi malam yang sunyi ini, aku tidak pernah menyesal melakukannya dengan mu” jawab wanita itu sambil memandangi pria yang berada di sampingnya dengan rasa heran.
            “Rinjani, aku benar-benar mencintaimu, bahkan tubuhku tak mampu lagi menopang cintaku padamu yang terlalu besar ini” pria itu mulai memandangi wanita itu dengan sepenuh hati. Setelah itu, dia kembali memandangi langit-langit yang mulai dihinggapi binatang malam dengan tatapan kosong.
            “Apakah kau memiliki perasaan cinta yang sama denganku?” pri itu mulai melanjutkan lagi perkataannya tadi yang sempat terpotong oleh sunyinya malam di kamar remang-remang ini. Sunyi yang begitu indah bagi mereka berdua.
            “Rangga, aku akan terus mencintaimu sepenuh hatiku, meskipun kau hanyalah seorang bajingan yang akan terus menerus menagih cintaku padamu. Percayailah itu, karena aku akan terus mencintaimu” wanita itu menjawab dengan keyakinan dalam hati yang tak akan bisa dibonhongi lagi.
            Wanita itu terus memandangi pria yang baru saja membahagiakannya itu. Dia masih terus memandangi pria itu dengan tatapan yang penuh dengan cinta, meskipun tergambar sedikit keraguan dan kecemasan di wajahnya yang cantik itu. Mungkin juga batinnya merasakan hal yang sama. Perasaan dalam batin yang seperti menyiksanya secara perlahan-lahan.
            “Kapan kau akan melamar diriku ini?” wanita itu bertanya dengan berbalut kecemasan dalam pertanyaan yang diluncurkannya itu.
            Setelah memberikan pertanyaan yang bernafaskan kecemasan itu, wanita itu mulia duduk dan mengambil sebuah selimut yang berada di bawah kakinya untuk sekedar menutupi bagian-bagian tubuhnya yang sudah terlena akan hasrat setiap manusia.
            Pria itu terdian seketika itu juga. Dia memandangi lagi langit-langit kamar itu seakan tengah memikirkan sesuatu. Lalu dia pun mengambil selimut yang juga dipakai oleh wanita itu. Pria itu kini duduk sambil menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut. Mereka kini saling berhadapan dan saling memandang satu sama lain.
            “Aku akan melamarmu saat semester 7, saat aku akan mulai menyusun skripsi dan siap untuk lulus” pria itu berkata sambil memadangi wanita yang sangat dicintainya itu dengan serius dan tepat di mata dari wanita itu.
            “Aku tak bisa menunggu selama itu, Rangga” wanita itu memandangi pria itu dengan kecemasan yang amat sangat.
            “Kenapa? Kini aku sudah memasuki semester 3, tak bisakah kau menungguku 2 tahun lagi?” kini giliran pria itu yang mulai cemas dan dia mulai cemas karena kecemasannya sendiri yang mulai memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
            “Orangtuaku sudah menjodohkanku dengan orang lain, Rangga”
            “Kau bisa menolaknya kan?”
            “Aku tak bisa menolak permintaan orangtuaku”
            “Kau pasti bisa menolaknya, Rinjani. Apakah kau sudah tak mencintaiku lagi?”
            “Aku tak bisa menolaknya, tapi aku pun selalu mencintaimu dan di sisi lain, aku pun memikirkan diriku dan keluargaku sendiri” wanita itu menghela napas sejenak sambil memalingkan tatapan matanya pada arah yang lain.
            “Keluargaku akan bersatu dengan keluarganya dan akan berdampak pada besar dan saling menguntungkan keluarga kami” kali ini wanita itu menundukkan kepalanya seperti mencoba menghilangkan beban yang ada di kepalanya.
            “Apakah kau tak bisa menunggu hingga 2 tahun lagi?”
            “Jikapun aku dapat menunggu selama 2 tahun lagi, pasti orangtuaku tak akan mengizinkan diriku bersamamu untuk selamanya, bahkan akal sehatku pun pasti akan berkata seperti itu”
            Pria itu kini terdiam sementara. Pria itu merasakan ada sesuatu yang sangat dahsyat telah menusuk dadanya hingga terasa sesak kini. Dia pun mulai merebahkan dirinya di atas kasur dan kembali melihat langit-langit dengan tatapan kosong seakan tak percaya dengan apa yang terjadi pada dirinya kini.
            “Aku hanyalah seorang penulis lepas, mungkin saat lulus pun aku akan tetap seperti ini. Hanya bergantung pada media masa dan tak tentu penghasilan” pria itu berkata pada dirinya sendiri, dalam hati tentu saja.
            “maafkan aku, Rangga” wanita itu mulai berbaring di atas kasur itu lagi. Kini dia pun mulai menatap langit-langit pula untuk sejenak menghilangkan beban yang begitu besar pada dirinya. Tergambar sangat jelas dari raut wajahnya menunjukkan kesedihan yang sangat mendalam yang tersimpan dalam hatinya.
            “Aku akan segera bertunangan, Rangga” wanita itu berkata dengan sangat pelan namun masih sedikit terdengar dan mengenai telinga sang pria.
            “Kapan?” pria itu menanggapi dengan rasa sesak dalam dadanya dan telah menjalar ke tenggorokannya.
            “Minggu depan, saat aku akan merayakan ulang tahunku” wanita itu memberi tahu dengan berat hati dan mengetahui bahwa jawabannya ini pasti akan melukai pria yang dicintainya itu.
            Lagi-lagi pria itu terdiam dan merasakan rasa sesak yang telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dia kini membayangkan wanita yang sangat dicintainya itu akan bersama denganorang lain yang tidak dikenalnya untuk selama-lamanya.
            Kepalanya kini terasa sangat berat sekali hingga dia tak mampu lagi sekedar menoleh pada wanita yang ada di sampingnya. Wanita yang ia pikir akan selalu menemaninya hingga akhir hayatnya. Wanita yang selalu menjadi kebahagian yang nyata dalam hidupnya. Dan kini dia akan bersama orang lain yang mampu membahagiakan wanita itu lebih dari dirinya membahagiakan wanita tersebut.
            “Ya, sebaiknya kau mengakhiri hidupmu bersamanya” pria itu berkata dengan suara yang agak serak dan berat di tenggorokannya.
            “Aku kira hidupmu akan lebih baik jika kau bersamanya dibandingkan dengan aku yang hanya menjadi seorang penilis ini. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh keluargamu” pria itu melanjutkan kata-katanya yang sempat terputus karena duka yang menahannya untuk terus melanjutkan kata-katanya.
            “Aku kira, aku hanyalah seorang wanita yang lemah yang tak berani melawan hidupku sendiri” wanita itu berkata sambil memalingkan badannya dari pria itu. Seakan-akan berusaha menutupi segala kesedihan yang sedang menderanya dan menekan batinnya yang lemah lembut itu.
            “Aku sangat mencintaimu, Rangga. Tapi aku tak mampu melawan hidupku dan ketakutanku sendiri akan masa depan keluargaku ini” wanita itu berkata dengan suara yang agak lirih dan menyayat hati.
            Kini wanita itu seperti akan menagis. Tangisan yang berusaha mengeluarkan segala beban yang ada di hatinya.
            “Aku pun selalu mencintaimu, Rinjani. Meskipun kau bukanlah milikku lagi karena kepentingan keluargamu” pria itu berkata dengan suara yang yang berat dan semakin berat dengan perkara yang sedang dihadapinya ini.
            Pria itu kini mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dia berusaha meredam beban yang sedang melanda batinnya saat ini, walaupun dia tak akan mampu melakukannya. Pria itu terlalu mencintai wanita yang ada di sampingnya. Dia bahkan tak tahu apa yang harus dilakukannya selanjutnya tanpa kehadiran wanita itu di sisinya.
            Sedang wanita itu masih saja dilanda ketidaksiapan meninggalkan pria itu untuk selamanya. Dia tak akan mungkin lupa setiap belaian yang selalu menghangatkan seluruh jiwa dan setiap raganya. Dan setiap rasa dalam batin yang gersang yang muncul karena mencintainya.
            Di kamar itu, segala haru kini mulai bercampur menjadi sebuah rasa yang satu. Kebahagiaan selalu berakhir dengan kepasrahan akan takdir. Dan wanita itu menjadi korban yang harus menanggung cobaan batin yang sangat berat.
            Wanita itu kini mulai membalikkan badannya lagi untuk menghadap pria yang selalu ada di sampingnya kini. Dengan hati yang masih kacau dan keputusasaan yang berada di ambang, kini dia mengambil nafas panjang dan melepaskan segala kerisauannya dalam hembusan nafas yang menyegarkannya.
            “Apakah kau benar-benar mencintaiku, Rangga?” wanita itu bertanya dengan mata memelas seperti menginginkan suatu kepastian walaupun kepastian itu terasa sangat hampa bagi dirinya sendiri.
            “Aku sungguh sangat mencintaimu, Rinjani” pria itu berkata dengan tegas.
            Sedetik kemudian setelah pria itu menegaskan jawabannya untuk kesekian kalinya, dia mencium kekasihnya dengan sangat mesra tepat di bibirnya. Bibir yang selalu ia nikmati sedari dulu ktika dunia terasa begitu indah bagi mereka berdua.
            Wanita itu hanya mampu menikmati ciuman itu. Ciuman yang benar-benar diresapinya kali ini hingga ia tak mampu lagi untuk memeluk pria itu dengan sangat erat, seakan-akan ia tak ingin melepaskannya hingga ia tak mampu lagi menahan segala kebijakan dalam takdir. Dia memeluknya dengan penuh gelora dalam setiap bagian tubuhnya yang ingin merasakan kebahagiaan yang nyata.
            Hasrat pria itu kini sudah tak tertahan lagi hingga kini keduanya hanya bisa terbuai dalam suasana dan panasnya cinta yang hanya sesaat ini. Cinta yang mungkin akan berakhir pada malam ini dalam segala kerisauan dan kebahagiaan yang akan mereka rasakan pada saat yang begitu romantis ini.
            “Rinjani, Rinjani. Kau begitu cantik sekali malam ini. Kenapa pula takdir harus mengambilmu dari sisiku ini?” pria itu berkata sambil terus semakin tenggelam dalam suasana remang-remang di kamar itu.
            “Ah Rangga, pangeranku. Lakukanlah saja semua yang ingin kau lakukan pada diriku malam ini juga. Mungkin ini adalah malam yang tak akan pernah tergantikan oleh malam-malam yang ada dalam hidup kita”

2012

No comments:

Post a Comment