“Mencintaimu, bagiku adalah kesetiaan paling purba”
“Kringg” Pukul 5 pagi, Ponselku
berbunyi seperti biasa. Itu adalah suara telepon masuk. Di layarnya masih
tertulis nama yang sama setiap waktunya, yaitu Prasidina. Lelaki yang masih
setia menjadi bagian dari pagiku.
“Hai Rinjani, sudah bangun?” katanya
dari seberang sana.
“Hmm, ya seperti itulah” jawabku
singkat sambil mengumpulkan kesadaranku.
Sebenarnya itu adalah jawaban yang
biasa aku berikan kepadanya setiap pagi. Tapi tak kusangka ia masih saja mau
membangunkanku setiap pagi. Sebenarnya bukan aku yang memintanya, tapi dia
sendiri yang menginginkannya.
“Kalau kamu sering telat, UN nanti
bagaimana?” katanya saat kami masih SMA.
“Sepertinya aku memang sulit bangun
deh, Pras” jawabku saat itu.
“Ya sudah kalau begitu, aku akan
membangunkanmu setiap paginya”
Dan begitulah akhirnya, ia menjadi
alarmku setiap paginya sampai sekarang bahkan saat hari libur sekalipun.
Mungkin ia senang melakukannya. Aku tak pernah tahu. Ia seperti seseorang yang
menyetiai embun pagi kemudian membagikannya pada orang-orang. Embun pagi selalu
indah bagiku, seperti sekumpulan mimpi orang-orang yang tertidur kemudian
menjadi airmata pagi. Pras, begitulah aku memanggilnya, memang orang yang
sangat setia terhadap segala hal.
“Jadi kamu masuk jam berapa hari
ini?” ia bertanya seperti biasa.
“Mungkin hari ini aku akan mulai
masuk kuliah jam sepuluh. Katanya ada dosen yang tidak bisa masuk. Jadi, masuk
kelas agak siang” jawabku
“ Baiklah, kalau begitu aku jemput
kamu jam tujuh saja ya. Katanya hari ini kamu mau ke toko buku, kan?”
“Oh iya aku hampir saja lupa.
Makasih ya sudah mengingatkanku.”
“Iya sama-sama. Kalau begitu sampai
nanti jam tujuh ya, Rin”
“Iya” telepon pun kututup.
Layar ponselku masih seperti embun
pagi. Tenang dan menyejukkan. Wajah seorang lelaki masih ada di sana. Tirai
jendela kamar sedikit kubuka. Ada beberapa air yang menetes dari genting
rumahku. Mungkin semalam hujan, pikirku. Embun pagi ini memang masih setia.
Sebenarnya kami berbeda tempat
kuliah, tapi ia selalu menyempatkan diri menjemputku. Ia selalu saja memiliki
jadwal kuliah agak siang sehingga bisa selalu mengantar jemputku. Aku sering
kali menolaknya karena memang agak kasihan juga jika ia selalu mengantar-jemput
diriku. Tapi seringkali pula ia memaksa untuk melakukannya.
Kemudian jam menjentikkan jarumnya
ke angka tujuh. Pras pun datang dengan motornya seperti biasa. Setelah mengunci
pintu aku pun pergi dengannya. Pagi ini dingin sekali, kupikir mungkin karena
hujan semalam.
Motor melaju cukup stabil di jalanan
yang agak lenggang. Pohon-pohon masih berjajar di pinggir jalan. Punggungnya
cukup menenangkan bagiku. Aku tahu hampir setiap hari aku pulang dan pergi
dengannya, tapi tetap saja ia sosok lelaki yang besar dan berwibawa. Bagiku
seperti ada aura yang berbeda darinya. Aku sangat merasakannya karena terkadang
punggung ini adalah punggung yang menahan airmata kesedihanku. Kemudian ada
yang menetes dari atas, yaitu air. Ah, embun menjadi rintik hujan pagi ini.
“Mau berteduh?” kata Pras dari depan.
“Mungkin” jawabku dan beberapa saat
kemudian kami berada di sebuah halte sebelum hujan membasahi kami.
“Kamu kebasahan, Rin?”
“Tidak”
“Semoga hujannya tidak terlalu lama”
“Kenapa?”
“Tentu saja aku tidak mau kita
terjebak di sini, Rin”
“Tapi hujan ini menyenangkan, kan
Pras?”
“Ya tapi kamu tahu kan, kalau aku
tidak menyukai hujan”
“Tapi hujan ini memang indah kan.
Kita berdua menikmati hujan yang menderas di halte sambil rimbun pohon masih
tersedia di jalanan haha”
“Kamu mulai menjadi penyair lagi”
Hujan semakin menderas saja. Mungkin
semalam banyak orang yang luka hatinya hingga airmatanya menjadi hujan pagi
ini. Aku selalu menyukai hujan, tetapi Pras sebaliknya. Ia tak menyukai hujan
karena suatu hal.
“Rin” tiba-tiba ia memegang bahuku.
Aku berbalik padanya.
“Hmm?” aku heran dengan sikapnya.
“Ada apa?” lanjutku.
“Aku cinta kamu” ia melepaskan
tangannya dari bahuku. Mata kami bertemu sesaat sebelum akhirnya terlapas
karena sunyi.
Hujan masih deras. Suara hujan
adalah suara kesunyian kami. Hujan ini cukup deras tanpa petir dan angin yang
besar. Hanya hujan saat itu. Suara hujan. Ia memalingkan wajahnya.
“Apa?” aku mendengar apa yang ia
katakannya tadi dengan jelas. Mungkin aku ingin mendengarnya lagi?
“Aku cinta padamu, Niken Saraswati Rinjani”
kata pras mengulanginya lagi.
Seperti ada petir yang menyambar.
Mungkin juga ada gempa. Aku bingung bahkan hampir tak percaya. Prasidina teman
yang selalu menemaniku sedari SMA ternyata mencintaiku. Aku memandang wajahnya.
Ada keyakinan dan keraguan yang menjadi satu di sana.
“Maaf, Pras.” Itu adalah kata yang
keluar dari mulutku. Mungkin sedikit kejam, tetapi seperti ak ada kata lain
lagi yang keluar dari mulutku saat itu untuk membuat kata menjadi lebih lembut.
“Jadi kau masih mencintainya ya?”
“Seperti itulah, aku masih menyukai
ia yang ribuan kilometer jaraknya dariku. Namun, kami masih menyukai hujan yang
sama”
“Haha, mungkin inilah alasan kenapa
aku tidak menyukai hujan, Rin. Karena ia menyukai hujan sama sepertimu”
Langit masih menderaskan hujan. Ia
melihat langit. Sunyi terisi oleh suara hujan. aku menunduk. Hujan masih setia
menghibur orang-orang yang kesepian.
“Rin, sepertinya ada beberapa urusan
yang harus aku selesaikan di kampus. Apa kau bisa ke toko buku sendiri? Besok
aku akan mentraktirmu sebagai gantinya” ia tersenyum.
“Ya”
Ia mulai menyalakan motornya. Hujan
masih menderas. Kini punggungnya mulai kehujanan. Hujan masih deras. Mungkin
jiwanya pun kehujanan. Hujan masih deras.
“Rin,” wajahnya kini menghadapku.
Ada senyum di bibirnya. “Aku mungkin akan setia mencintaimu” lanjutnya kemudian
berlalu di dalam hujan.
Kesetiaan seperti apakah yang
dimiliki hujan pada langit, pada pohon , dan pada orang-orang kesepian? Mungkin
kesetiaan adalah hal terakhir yang dimiliki seseorang. Tapi aku masih setia pada
seserorang yang mencintai hujan.
Dan Pras, bagiku ia masih menjadi
embun pagi.
2016
No comments:
Post a Comment