oleh Herlangga
Setiap
manusia pada dasarnya adalah makhuk yang tidak bisa berdiri sendiri dan selalu
membutuhkan bantuan dari yang lain. Dengan demikian manusia pasti akan berusaha
bersosialisasi dengan yang lain dengan cara berkomunikasi melalui sandi-sandi
yang mereka buat sendiri yang biasa disebut bahasa.
Bahasa
yang diciptakan manusia pun terkadang tidak mampu menampung apa yang ingin
disampaikan oleh penuturnya. Keinginan yang tidak tersampaikan itu pun berusaha
disampaikan dengan cara menyiratkannya dalam bahasa yang digunakan. Siratan-siratan
dalam sebuah tuturan tersebut disebut implikatur.
Dalam
berkomunikasi, implikatur ini dapat menyampaikan pesan dari si penutur dengan
memunculkan dan membentuk konteks sehingga percakapan dapat lebih berjalan
dengan baik. Implikatur juga meski disebut sebagai penyimpangan maksim dalam
teori Grice ternyata dapat muncul dalam setiap tuturan bagaimana pun bentuknya
bahkan jika penutur tidak memberikan implikatur dalam tuturannya.
Namun
seperti yang kita tahu, mitra tutura adalah orang yang menerima pesan dari
penutur sehingga seringkali terjadi perbedaan penerimaan implikatur oleh si
mitra tutur dan pemberian implikatur dari si penutur. Kita biasa menyebut hal
ini sebagai sebuah kesalahpahaman dalam percakapan.
Tulisan
ini akan membicarakan kesalahpamahan tersebut dilihat dari sisi kerelevansian
tuturan yang yang terjadi dan bagaimana suatu tuturan dapat kembali menjadi
relavan meskipun terjadi perbedaan implikatur antara yang member dan yang
menerima. Dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari teori relevansi maka
akan terlihat bahwa suatu tuturan memiliki kerelevansiannya masing-masing
sehingga setiap ujaran tersebut bisa menjadi sebuah konteks.
Dalam
tulisan ini pula dibahas bagaimana strategi mitra tutur dalam membentuk ulang
konteks yang diinginkan penutur setelah mengalami perbedaan penangkapan
implikatur dalam tuturannya masing-masing sehingga percakapan menjadi relevan
dengan kesamaan konteks.
Landasan Teori
Teori
relevansi adalah teori yang membahas bagaimana suatu tuturan memiliki keterkaitan
dengan suatu hal yang dapat membentuk konteks. Keterkaitan ini dapat juga
disebut sebagai efek kontekstual dari suatu tuturan. Efek kontekstual sendiri
adalah suatu keterkaitan antara informasi lama yang sudah diketahui oleh
seseorang dengan informasi yang baru didapat. Keterkaitan tersebut tentu dapat
dengan mudah diproses oleh otak sehingga menghasilkan efek kontekstual.
Usaha
dalam memproses informasi-informasi tersebut juga sangat penting dlam
kerelevanan suatu tuturan, karena tuturan yang paling relevan adalah tuturan
yang menghasilkan efek kontekstual paling banyak dan menggunakan usaha yang
paling sedikit dalam memproses informasi-informasi tersebut.
Tujuan
dari teori relevansi sendiri adalah menerangkan bagaimana seseorang dapat
mengikuti suatu pembicaraan meskipun secara struktur percakapan tersebut tidak
berkaitan.
Contoh percakapan yang relevan
A: Sekarang jam berapa?
B: Masih lama
Secara struktur percakapan di atas
tidaklah berkaitan, tetapi tetap relevan jika maksud dari si A bisa sampai pada
si B sehingga B pun bisa menjawab dengan baik. Jawaban B pun dapat dipahami
dengan baik karena melihat informasi yang lama yaitu situasi, kebiasaan, dan
faktor faktor lainnya. misalnya percakapan tersebut muncul karena si A
menanyakan jam karena takut ketinggalan kereta dan si B sedang menunggu kereta
yang sama dengan si A karena sudah terbiasa. Maka percakapan tersebut muncul
dan relevan karena menghasilkan efek kontekstual yang cukup bagi si B.
Percakapan
tadi pun sebenarnya muncul dengan inplikaturnya masing-masing. Si A memberikan
implikatur bahwa ia menanyakan kedatangan kereta dan tidak benar-benar
menanyakan jam. Implikatur yang dimunculkan oleh si A kemudian diterima oleh si
B dengan implikatur yang sama pula sehingga percakapan ini dapat dimengerti
oleh keduanya.
Sebenarnya
teori relevansi sendiri merupakan suatu kritikan terhadap teori maksim Grice
yang menyatakan bahwa dalam percakapan terdapat empat atruan dasar yaitu,
kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Menurut Sperber dan Wilson sendiri
dari keempat aturan tersebut aturan relevansi atau keterhubungan percakapan
adalah yang paling penting sehingga ketiga aturan yang lainnya dapat diabaikan.
Dalam
teori relevansi juga terdapat beberapa prinsip dari kerelevanan, yaitu
- Setiap tuturan muncul dengan relevansi masing-masing.
- Penutur berasumsi tentang kemampuan kognitif dan konteks dari mitra tutur.
- Struktur ujaran berpengaruh sehingga menghasilkan beberapa persepsi.
- Inti dari sebuah tuturan ‘dipahami’, tuturan akan dianggap premis yang ketika digabung akan menjadi konteks bagi mitra tuturnya.
- Interpretasi yang paling mudah adalah yang paling relevan.
- Konteks adalah sejumlah informasi dalam memori dan terwujud dalam lingkungan fisik.
Dengan
melihat prinsip-prinsip di atas dapat terlihat bahwa suatu percakapan dapat
bener-benar relevan dapat membentuk konteks percakapan dengan baik. konteks pun
dibentuk dengan baik jika tuturan yang disebut premis dapat relevan. Selain
untuk membentuk konteks tersebut penutur haruslah memiliki asumsi mengenai
mitra tutur agar mitra tutur dapat mengambil implikatur si penutur dengan baik
dan tidak terjadi kesalahpahaman.
Metode Penelitian
Metode
yang digunakan oleh penulis adalah metode observasi di wilayah Bandung.
Pengambilan data diambil secara acak dari percakapan sehari-hari yang seringkali
muncul di lapangan. Data-data adalah hasil dari pengamatan dan pengalaman
penulis sendiri.
Pengolahan
data tulisan ini menggunakan metode kualitatif untuk memahami fenomena
kerelevansian percakapan. Keberadaan penulis dalam pengambilan data-data ini
adalah secara pasif. Penulis tidak mengikuti percakapan yang terjadi sebagai
sumber data.
Temuan dan Bahasan
Setelah
pengumpulan data , ditemukan terdapat beberapa macam strategi yang biasa
digunakan oleh mitra tutur dalam membentuk ulang konteks agar terjadi kesamaan
konteks antara penutur dan mitra tutur.
1. Temuan Pertama
A: Siapa nih yang kentut?
B: Bukan saya
A: Emang siapa lagi yang nuduh kamu?
B: Oh kirain
Dalam
percakapan di atas terdapat penyadaran dari mitra tutur untuk membentuk ulang
konteks. Strategi yang dilakukan adalah menyadarkan lawan bicaranya bahwa
terjadi kesalahpahaman dan kemudian membentuk ulang konteks agar sesuai dengan
yang diinginkan.
Terlihat
dari percakapan “Siapa nih yang kentut?” dari A yang memiliki maksud mencari tahu
kemudian ditangkap implikaturnya oleh si B sebagai tuduhan kepada dirinya yang
terlihat dari tuturan “bukan saya”. Dua percakapan awal merupakan
kesalahpahaman dari perbedaan maksud implikatur yang ditangkap.
A
yang menyadari kesalahpamahan setelah menjadi mitra tutur B kemudian membentuk
ulang konteks yang berbeda tersebut dengan strategi menyadarkan penutur
sebelumnya bahwa terjadi perbedaan maksud yang ditangkap dengan menuturkan
“siapa lagi yang nuduh kamu?” dan
membentuk ulang konteks sehingga pada akhirnya keduanya memiliki relevansi
tuturan dengan konteks yang sama.
2. Temuan Kedua
A: Kemana?
B: Keresek
A: Serius!
Dalam
percakapan di atas terdapat pemaksaan dari mitra tutur untuk membentuk ulang
konteks. Strategi yang dilakukan oleh mitra tutur adalah dengan memaksa penutur
sebelumnya untuk mengikuti konteks yang diharapkan terbentuk.
Terlihat
dari percakapan “Kemana?” dari A yang memiiki maksud mencari tahu kemudian
ditankap oleh B sebagai sebuah candaan yang terlihat dari tuturan “Keresek”.
Dua percakapan awal bisa termasuk ke dalam kesalahpahaman karena tidak samanya
impllikatur yang muncul dari kedua orang tersebut meskipun tuturannya masih
relevan.
A
yang menyadari kesalahpahaman setelah menjadi mitra tutur B kemudian membentuk
ulang konteks yang berbeda tersebut dengan strategi memaksa penutur sebelumnya
untuk mengikuti konteks yang ia bentuk sehingga keduanya memiliki konteks yang
sama dalam bertutur.
3. Temuan Ketiga
A: Kemaren saya abis dari Jakarta
B: Lah saya aja kemaren abis dari
hongkong juga biasa aja
A: oh ya udah saya mau ikut dah,
sekalian mudik
Dalam
percakapan di atas terdapat pengikutan dari mitra tutur untukmembentuk ulang
konteks. Strategi yang dilakukan oleh mitra tutur adalah dengan mengikuti
penutur sebelumnya dalam ‘pembentukan konteksnya.
Terlihat
dari percakapan “kemaren saya abis dari Jakarta” dari A yang memiliki maksud
memberitahu kemudian ditangkap oleh B sebagai sebuah candaan yang terlihat dari
tuturan “lah saya aja kemaren abis dari Hongkong juga biasa aja”. Dua percakapan
awal di atas menjadi sebuah kesalahpahaman karena terjadi perbedaan maksud
pembentukan konteks yang berbeda.
A
yang menyadari kesalahpahaman setelah menjadi mitra tutur B kemudian membentuk
ulang konteks yang akan dibentuknya sehingga menjadi sama dengan konteks yang
dibangun oleh B.
Simpulan
Berdasarkan
temuan-temuan dan pembahasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa
kesalahpahaman dapat terjadi meskipun tuturan tersebut relevan. Ini dapat
terjadi karena adanya perbedaan implikatur antara penutur dan mitra tutur.
Selain itu, mitra tutur bisa menjadi penentu konteks dalam percakapan sehingga
konteks yang dibawa dalam tuturan mitra tutur akan selalu menjadi konteks dari
percakapan.
Karena
suatu tuturan memiliki relevansinya masing-masing, maka tuturan pun akan selalu
membangun suatu konteks. Dengan begitu dalam percakapan, strategi-strategi yang
di atas pasti akan selalu dilakukan oleh mitra tutur yang baru untuk menjaga
sebuah percakapan tetap “nyambung”.
Referensi
Djajasudarma, T. Fatimah. 2012. Wacana dan Pragmatik. Bandung: Refika Aditama.
Grundy, Peter. 2008. Doing Pragmatics. USA: Od University Press.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud.
Nasanis, Yassir. 2007. PELBBA 18. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Yuliawati, Susi. 2008. Konsep Percakapan Dalam Analisis Wacana. Bandung: FS UNPAD
Grundy, Peter. 2008. Doing Pragmatics. USA: Od University Press.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Depdikbud.
Nasanis, Yassir. 2007. PELBBA 18. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Yuliawati, Susi. 2008. Konsep Percakapan Dalam Analisis Wacana. Bandung: FS UNPAD
No comments:
Post a Comment