Sunday, December 20, 2015

Pagi Hari dan Cerita-cerita Tentang Kemarin

oleh: Herlangga
 
“Sejujurnya, aku sungguh tidak menyukai orangtuaku”

            Pagi ini, awan masih mendung. Rinjani masih tertidur di sampingku. Lampu masih menyala. Dan ranjang ini masih hangat. Semua sepertinya akan baik-baik saja meskipun aku tak menginginkannya.
            Aku beranjak dari ranjangku dan mulai membuat segelas kopi untuk menyegarkan pikiran dan jiwa. Sambil duduk di ruang tamu aku masih memikirkan kenangan yang selalu ingin kulupakan, yaitu orangtuaku.
            “Oh kau sudah bangun?” aku melihat Rinjani yang masih terlilit selimut. Wajahnya sungguh cantik setiap paginya dengan rambut panjang terurai agak berantakan. Ia masih terlihat cantik.
            Kemudian ia duduk di sampingku dan juga mulai meminum kopiku. Setelah menghela nafasnya, ia menyandarkan tubuhnya padaku.
            “Hei Rangga” katanya. “Apakah ini semua akan baik-baik saja?”
            “Tentu saja ini akan baik-baik saja. Selama kita saling memiliki, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan” kataku sambil tersenyum.
            “Jadi, apakah kamu benar-benar tak ingin menikahiku?” katanya. Kini mata kami saling bertemu, lalu angin seperti berhembus perlahan dan mengingatkanku pada sebuah kenangan yang tak pernah terlupakan.
***
            “Jadi ini semua salahku?” ayahku sambil memegangi tangan ibuku dengan kuat berteriak.
            Malam itu aku terbagun karena suara teriakan ayah dan ibuku. Meskipun umurku baru sepuluh tahun tapi aku sudah mengerti situasi yang terjadi saat ini. Jadi, aku menenangkan adikku yang terbagun juga.
            Mungkin adikku yang baru berumur lima tahun itu juga mengerti situasi yang terjadi saat ini. Aku pun berusaha agar ia tidak menangis dan mulai membuatnya kembali tidur.
            “Jadi kau menganggap bahwa semua yang terjadi ini adalah salahku?” kali ini ibuku yang berteriak.
            Ya, akhir-akhir ini mereka sangat sering bertengkar, bahkan oleh hal sepele. Mereka kini sudah seperti mencari hal-hal yang dapat membuat mereka menyerang satu sama lain. Karena itu, suasana dirumah ini selalu saja panas bagiku ketika mereka ada di rumah.
            “Hah, aku mengerti sekarang. Lebih baik kita berpisah saja dari sekarang” kali ini ibuku lagi yang berteriak.
            Sepeti petir di gurun pasir, aku mendengar kata-kata yang tidak ingin aku mengerti maknanya. Aku mendengar kata-kata paling tak tereja dalam imajinasiku yang langsung sampai pada telingaku. Aku ingin sekali tak mengerti kata-kata itu, tapi ternyata otakku telah menemukan maknanya sendiri.
            “Apakah ini semua akan baik-baik saja?” dalam hati aku berkata. Aku masih berharap ini semua akan berakhir baik-baik saja, meskipun aku mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Meskipun aku menangis, aku benar-benar ini berakhir baik-baik saja.
            “Baiklah, kita akan berpisah” ayahku berteriak lebih tinggi kali ini dan mulai pergi keluar rumah. Bantingan pintu serta tangisan ibu seperti tanda bagiku bahwa segalanya tidak akan berakhir dengan baik. Dan sayangnya, itu adalah hal yang sudah kuperkirakan sejak awal.
            Malam itu aku tak bisa tidur.
***
            “Rangga?”
            “Ah ya, ada apa, Rinjani” kataku saat aku sadar bahwa Rinjani ada di sampingku.
            “Apa kau tak apa-apa?” katanya.
            “Ya, aku baik-baik saja” kataku. “Apa kau ingin makan sesuatu, Rin?”
            “Akhir-akhir ini kau sering sekali melamun, apa kau benar tak apa-apa?”
            “Tentu saja.” Dan sambil tersenyum, aku berkata “Hari ini aku yang akan memasak untukmu. Jadi bersiap-siaplah”
            Kemudian dengan penuh semangat agar tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, aku pergi ke dapur, memasak nasi goring sederhana dan mulai sarapan bersama kekasihku.
            Setelah selesai sarapan, aku mulai duduk di beranda dan Rinjani setelah merapikan diri menyusulku kemudian sambil kembali menyandarkan tubuhnya padaku.
            “Pagi ini sungguh cerah” kata Rinjani.
            “Ya, mungkin ini karena semalam hujan cukup deras”
            “Apa hari ini kau tidak akan pergi kemana pun?”
            “Ya hari ini aku libur. Jadi, aku akan menemanimu hari ini” kataku sambil mendekap tubuhnya.
            “Jika begitu, bagaimana kalau kita mengunjungi orangtuamu”
            Pertanyaan itu seperti hal yang tidak perlu kudengarkan. Orangtua seperti sebuah ikatan yang kuat terhadap anak tapi terlalu lemah untuk mengikat masing-masing diri. Bahkan bagiku, pernikahan adalah sebuah hal yang sangat tidak perlu untuk terjadi. Lagipula, mengapa orang-orang harus menikah jika meraka pada akhirnya berpisah? Bukankah dengan cinta ikatan mereka akan lebih kuat? Lalu untuk apa sebuah formalitas dari pernikahan yang hanya menggembar-gemborkan cinta mereka kepada khalayak ramai, padahal belum tentu cinta mereka terus bersemai?
            “Rin, apakah kau sudah tahu keadaan keluargaku?”
            “Ya aku tahu” dengan sedikit tertunduk. “Tapi bukankah aku perlu memberitahu meraka tentang kita?” kali ini ia menatap langit beserta awan-awannya.
            Ya, aku memang perlu memberitahu mereka. Toh aku pun memang telah bertemu orang tua Rinjani yang merupakan manusia yang terus berkarir. Terkadang terpikirkan juga olehku mungkin kehidupan Rinjani tidak lebih baik dariku.
            Semenjak SMA ia harus tinggal sendiri di rumahnya. Orangtuanya terus bekerja dan mungkin bila sempat bisa sebulan sekali mengunjungi putrinya yang sendirian di rumah.
            Tentu saja aku tak tahu rasanya. Keluarganya masih utuh, tapi hanya kesunyian yang ada di dalamnya. Orang-orang mungkin akan mengangapnya sebagai perempuan yang sangat mandiri, tetapi kesunyian mungkin akan terlalu dingin baginya.
            “Ya, mungkin aku akan mengantarkanmu kepada orangtuaku” kataku sambil menatap awan yang sama dengannya.
***
            “Nikmatilah, anggap saja rumah sendiri” katanya sambil bergegas menuju dapur.
            Ini adalah kali pertama aku datang ke rumah Rinjani. Terasa sangat nyaman. Di pertengahan masa SMAku, aku telah berkunjung ke banyak tempat, tapi sepertinya hanya tempat ini yang memberikan kesunyian yang tak terbantahkan.
            “Ini kopimu” Rinjani datang sambil membawa dua cangkir kopi untuk kami. Hari sudah mulai beranjak senja. Mungkin aku agak terlambat mengantarkannya pulang. Ia memang tidak terbiasa bepergian, jadi bepergian bersamanya selalu terasa lebih lama.
            “Hari ini menyenangkan sekali” kata Rinjani memulai percakapan.
            “Ya tentu. Oh ngomong-ngomong kemana orangtuamu?”
            Rinjani tiba-tiba tertunduk, lalu kesunyian menjadi jeda yang terlalu panjang bagi percakapan kami. Seperti terlalu banyak percakapan yang tertahan dan tak perlu diungkapkan.
            “Kau tahu, aku pernah menceritakan kepadamu tentang orangtuaku, bukan?”
            Ya. Selama kami mulai bersahabat semenjak masuk SMA yang mungkin karena kami memiliki aura yang sama, kami tidak menutup apapun tentang jatidiri kami. Termasuk masalah keluarga.
            “Ya, aku tahu. Jadi ternyata memang seperti itu yah” kataku dengan pelan karena merasa bersalah.
            “Rangga, sampai saat ini pun aku masih tidak mengerti suatu hal.” Wajahnya kemudian tertunduk dan menjatuhkan beberapa helai rambutnya. “Kenapa mereka harus memutuskan menikah? Lihatlah siapa yang pada akhirnya menderita?”
            Sejujurnya aku pun tak tahu, Rin. Mengapa orang-orang harus menikah? Mungkinkah hanya karena memenuhi formalitas saja, aku pun masih belum tahu.
            “Lihatlah bahkan mereka jarang bertemu dan malah meninggalkan anaknya seorang diri. Apakah yang seperti itu masih bisa disebut keluarga? Apakah pekerjaan lebih penting daripada keluarga? Apakah aku memang tidak berharga bagi mereka? Atau jangan-jangan aku hanyalah sekedar bagian dari formalitas pernikahan mereka yang ….”
            Aku pun secara tiba-tiba memeluknya. Rinjani terisak di bahuku. Aku mungkin sedikit mengerti perasaannya. Ada perasaan terbuang, tersia-siakan, dan kesendirian yang menjadi satu.
            Aku tak tahu, Rin. Segalanya memang berjalan secara tidak pasti. Kini aku sedikit tersadar bahwa orang-orang yang menikah hanyalah orang-orang yang mencintai kemudian dengan mudahnya saling mengkhianati. Mereka adalah orang-orang yang mengkhianati masyarakat lewat pengumbaran cinta mereka yang semu.
            “Aku tak tahu, Rin. Sungguh aku masih belum sepenuhnya memahami tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia ini. Tetapi jika kesunyian rumah ini terlalu dingin bagi dirimu, maka aku akan menghangatkan untukmu. Aku mencintaimu”
            Langit beranjak ke malam yang begitu panjang bagi kami untuk saling memahami.
***
            “Jadi Rangga, apakah kita harus menikah?”
            “Aku tidak menginginkannya, Rin”
            “Lalu bagaimana dengan anak ini” ia mengelus perutnya pelan. Tatapannya sendu ke arahku.
            “Tentu saja aku akan bertanggungjawab dan merawatnya dengan baik. Bukan sebagai suamimu, tetapi sebagai orang yang selalu mencintaimu, Rin.”

Bandung, 2014

No comments:

Post a Comment