Pun, aku menganggapmu begitu,
Tuan lugu yang selalu bersua tentang aku,
Terus menjamah kerudungku dengan rindumu,
Aku adalah adalah potongan tulang rusukmu, itu katamu
Dan aku bersua, sungguh lucu!
Siapa kamu?
Berani-beraninya selalu mengeja namaku!
Aku takkan bisa kaurindu dalam diammu, Tuan!
Coba katakan!
Kamu akan menungguku sampai langit tak berseliput awan?
Kamu mau menyisakan sehimpit ruang sampai burung-burung gereja tak lagi berdatangan?
Kamu mau merinduku sampai kemarau tak lagi menyesap sepiku?
Kamu mau menjadi udaraku yang bisa setiap saat kuhirup?
Aku yakin kau takkan mau, Tuan.
Sesak, aku merasa udara menyesakkan dadaku
Ketika kamu, dengan segaris senyuman mengangguk mau
Lagi, kamu mau mengisi ruang dalam jelaga hatiku
Aku membisu, aku malu
Aku tak punya lagi peluru untuk menyerangmu
Karena setiamu telah mencumbuku
Sekarang, kamu bukan pentul korek lagi, Tuan
Doa-doa dalam diammu mematahkan lengan egoku
Sajakmu telah merobohkan tembok keangkuhanku
Aku terbius pada setiap lema yang kautulis
Seakan di setiap lemanya mengendap cintamu
Mengembun, menunggu digapai olehku
Dan sekarang, pun aku mau menerimamu
No comments:
Post a Comment