Sekarang,
maksud saya saat ini yang saya maksud ketika saya sedang menulis yang saat ini
sudah sering disebut mengetik. Keadaan saya sedang kelaparan, sehingga saya
harus makan sehingga saya akan mencari makanan sehingga saya harus melakukan
ha-hal yang sepertinya perlu untuk dilakukan supaya menghasilkan kata sehingga.
Saya
keluar kamar supaya saya tidak menulis(baca:mengetik) lagi. Karena saya sudah
cape memencet tombol satu persatu, supaya tombol-tombol komputer ini tidak saya
anggap sebagai rendang padang, supaya saya tidak menuliskan kata supaya lagi,
supaya saya tidak melihat jemuran yang ada diluar kamar saya lagi (terus, apa
hubungannya?). oke, untuk yang terakhir itu tidak ada hubungannya, tapi yang
pasti saya sudah lapar. Dan butuh minimal bayi merah untuk
dimakan(baca:rendang).
Akhirnya
dengan terpaksa saya mengangkat pantat saya untuk tidak duduk lagi, sehingga
saya berdiri di depan kursi yang tadi sudah saya duduki meski pun kursi itu
tidak mau diduduki oleh saya, karena anatomi tulang pantat saya yang begitu
keras, malahan terkesan tajam, sehingga dapat merusak apapun yang saya duduki
dengan kejamnya yang akhirnya dapat dikatakan bahwa pantat saya ini adalah
pantat psikopat.
Setelah
hal tadi terjadi, saya mulai keluar dari rumah saya dan mencari sepeda dengan
roda dua(bukan roda tiga) untuk pergi mencari makanan yang bisa dimakan
tentunya. Mumpung awal bulan, mumpung lagi ada uang, dan mumpung ada
mumpungnya, maka saya putuskan hari ini saya akan mencari masakan padang yang
tidak mungkin saya temukan tergelatak pasrah di tengah jalan secara tiba-tiba,
kecuali saya nemu lampu bukan sembarang lampu yaitu lampu bohlam 5 watt yang
saya tidak tahu untuk apa saya tulis bohlam itu dalam cerita ini, tapi yang
pasti tujuan saya kali ini adalah rumah makan padang yang tidak cuma satu di
Cicalengka tapi ada beberapa.
Akhirnya
saya mencari rumah makan padang yang paling jauh jaraknya dari tempat saya
menulis cerita ini, saya memilih tempat yang paling jauh karena yang saya tahu bahwa
masakan padang itu memiliki tingkat keuangan yang harus stabil agar mampu
menyiapkan segala resiko yang akan terjadi di rumah makan padang dan yang saya
tahu juga bahwa resiko membeli masakan padang adalah sakit jantung mendadak
karena mahalnya, tiba-tiba dompet kosong, mencuci piring dengan sukarela, dan
yang paling sering adalah muka menjadi panas secara tiba-tiba karena saking
pedasnya.
Setelah
saya sampai di depan rumah makan padang dengan mata berbinar-binar karena
kelelahan mengayuh sepeda(bukan karena melihat makanan padang yang begitu enak)
saya beranikan masuk ke dalam yang sudah pasti rumahnya yang bikin itu punya
masakan. Tak lupa saya sedikit pegang saku celana saya siapa tahu tiba-tiba ada
manusia ngepet yang ga sengaja nyentuh saya waktu di jalan tadi. Setelah saya
pastikan keuangan sudah mantap saya masuk ke dalam sana dan saya dapati tukang
padang dengan seyum yang di paksa atau tidaknya sungguh saya tidak peduli, yang
saya pedulikan adalah makanan yang ada disana sekarang.
“bu,
saya mau rendang dong” pinta saya
“beli
dek, jangan minta” jawab tukang rendang
“ya
belilah, masa saya jauh-jauh datang kesini cuman mau minta” jawab saya dengan
agak bijaksana walaupun tidak.
“habis
situ mukanya kaya pengamen yang suka ngamen sih” dengan datarnya dia menjawab.
Setelah
mendengar itu, saya hanya bisa menundukan kepala seraya berdoa
“TUHAN!!!
Dosa apa aku ini hingga dikutuk seperti ini”
Tiba-tiba
terdengar suara yang muncul langsung ke otakku
“salahkan
saja dirimu, kenapa kau mendzalimi orang tua”
Akhirnya
secara tidak sengaja teringat seorang nama dalam otakku, dia adalah briyan dika
jefri dili perdana (temen sekelasku yang dianggap tua, kasihan sekali dia), dan karena saya malas untuk mengingatnya jadi tak usah saya
ceritakan secara panjang lebar.
“ya
udah bu, saya mau beli rendang aja lah satu” itu saya kepada si ibu rendang
“nah
gitu dong bayar, jangan ngutang terus” itu si ibu rendang kepada pemuda yang
barusan bayar. Maksudnya sesuai analisa saya, dia seperti melunasi.
“jadi
semuanya sepuluh ribu rupiah saja” itu si ibu rendang pada saya, padahal
harapan saya itu jangan pada saya, agar saya dapat pergi dengan begitu saja dan
menyerahkan pembayaran pada pemuda yang barusan melunasi.
“bu,
pernah bunuh orang?”
“belum”
“mau
coba?”
“ngga
ah males”
“huh,
dasar pemalas, gimana usahanya mau maju kalo males gini”
“udah,
jangan banyak ngomong, bayar aja CEPET!!” sepertinya teriakannya itu tertuju
padaku.
Akhirnya
saya merogoh celana saya agak lama sambil berharap dia pergi ke kamar mandi
untuk menunaikan tugas mulia dari WC sehingga saya dapat segera beraksi
meninggalkan rumah makan itu dengan menyamar sebagai anak-anak yang lagi main
petak umpet.
Sekali
lagi yang akhirnya, saya mendapat selembar uang sepuluh ribu dari celana saya
yang sudah agak kumal mungkin sudah kecuci beberapa kali namun syukurnya dia
masih hidup dan masih bisa bernapas dengan baik, buktinya hidungnya si
sultan......(Ah entah siapa itu namanya) masih kelihatan sehingga saya kira dia masih
hidup karena masih bernapas.
Saya
berikan uang tersebut kepada dia yaitu tukang rendang tadi dengan harapan nanti
di jalan saya bakalan nemu uang sebesar tadi di jalan, maksudnya bertemu dengan
uang yang sudah tak terpakai lagi di jalan raya.
Selain
masalah uang tadi, saya juga memikirkan semoga perut saya kuat menerima cobaan
yang akan diterimanya secara bertubi-tubi dari rendang dengan bumbu yang
diberikan si tukang rendang tanpa pake akhlak, dan yang paling penting juga
adalah semoga kamar mandi tidak sedang di pake saat saya harus menunaikan tugas
mulia yang akan diberkati oleh sang WC ini.
Akhirnya
yang benar-benar terakhir, saya pulang dengan kantong seperti dicabuli oleh
tukang rendang tadi tanpa mampu berbuat apapun juga. Sungguh malang sekali
nasibku ini.
Bandung, 2012
No comments:
Post a Comment