“Aku sudah memutuskanya,” jawabku. Angin malam menjadi dingin. Ia terkejut. Kemudian kata-kata seperti terbelenggu di mulutnya.
“Aku akan menjadi seorang wanita,” lanjutku.
Kekasihku masih juga terdiam. Airmatanya sedikitnya menetes.
“Aku sangat bahagia,” katanya lirih.
Ini keputusan yang luar biasa bagiku. Untuk menjadi normal aku perlu melakukannya. Setelah hari-hari yang menekan, mungkin esok akan menjadi hari yang menyenangkan. Untuk menjadi normal, memang harus ada yang dikorbankan.
“Apa kamu yakin, Rangga?” kekasihku masih mempertanyakannya kembali.
“Aku yakin,” kataku menegaskan.
Angin malam kemudian bertiup lebih kencang dari biasanya. Mungkin juga itu ketakutanku. Ini pertamakalinya aku berganti kelamin. Kadang ragu menyelimuti pikiran. Namun setiap kulihat kekasihku, aku pun menguatkan diri.
Di sini, berganti kelamin adalah hal yang biasa. Setiap hari orang-orang berganti kelamin. Terkadang ada pula yang masuk ruang operasi seperti masuk kamar mandi. Hanya karena putus cinta ia bisa berganti kelamin. Ini sudah sah, tentu saja. Sudah sejak lama. Tak akan ada yang bisa menyalahkan.
“Aku akan selalu mendukungmu, Rangga. Dan kemudian kita bisa menikah dengan normal. Seperti pasangan lainnya, ya kan?”
“Ya. Segera setelah operasi, menikahlah denganku, Rinjani.”
“Ya. Segera setelah operasi.” Sembari setelah tersenyum ia mengatakannya.
Kemudian ia, kekasihku bangkit dari pangkuanku. Ia berjalan dan melihat ke luar jendela.
“Aku yakin ini akan menjadi luar biasa, ya kan?” katanya sambil memandang ke luar jendela. Wanita itu, rambutnya tergerai. Pesona bulan sabit di malam hari terikat padanya. Aku tentu saja mencintainya.
‘Sebentar lagi,’ pikirku sedikit melayang. Kami akan menjadi pasangan yang normal. Masih teringat dalam pikiranku, beberapa hari setelah kami memutuskan hidup bersama aku menolak untuk berganti kelamin. Ia pun hendak menggantikanku dan aku pun mencegahnya.
“Jika kamu tak mau berganti kelamin, biar aku saja kalau begitu,” katanya waktu itu.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tak ingin ia berganti kelamin demi aku, tetapi aku pun masih belum siap untuk itu. Di sisi lain, diskriminasi terhadap kami pun semakin lama semakin menjadi. Masyarakat mulai membicarakan hal-hal yang buruk mengenai kami. Terkadang, beberapa pasangan lelaki melihatku dengan tatapan jijik.
Bahkan beberapa waktu yang lalu, kami sempat hampir diusir dari kediaman kami. Beberapa orang datang bergerombol, tentu saja dengan tatapan marah.
“Lelaki dan wanita tidak boleh tinggal bersama. Kalian akan menjadi aib tempat ini,” kata seorang wanita sambil memegang tangan pasangannya yang tentunya wanita juga.
“Jika kalian masih ingin tinggal di sini, sebaiknya salah satu dari kalian harus berganti kelamin,” kata seorang lelaki yang bisa dianggap sebagai ketua. “Kasihan banyak anak-anak, nanti mereka melihat contoh yang tidak baik,” tambahnya lagi.
Setelah kejadian itu, maka di sinilah aku sekarang. Memikirkan dan menimbang pernyataan dari sang ketua. Sejujurnya, sempat terpikir juga dalam pikiranku untuk hidup secara sembunyi-sembunyi saja. Toh cinta, hanya kami yang tahu. Tetapi ketika pikiran itu muncul, pikiran untuk hidup dengan normal dan damai selalu datang tanpa aba-aba.
‘Aku pun ingin seperti pasangan lelaki atau pasangan wanita pada umumnya,’ pikirku.
Pada dasarnya aku tidaklah berbeda dari yang lain. Hanya saja jati diri dan orientasi seksku yang berbeda dari orang lain. Kami pun terdiskriminasi secara sosial. Ada rasa malu untuk berbuat sesuatu di depan umum. Itulah aku sekarang.
“Pada akhirnya kamu harus menyerah pada masyarakat, kan?” tiba-tiba Rinjani mengatakan sesuatu di tengah lamunan malam.
“Ya, aku sempat berpikir bahwa kita akan seperti ini terus dan melawan diskriminasi ini. Tetapi mungkin ini adalah saat yang tepat untuk berhenti,” kataku.
Malam mungkin akan semakin panjang. Bulan terasa semakin terang.
“Aku ingin anak kita menjadi pembeda nanti. Tidak seperti anak-anak pasangan lain yang terlalu biasa.” Rinjani kini memandangku.
Mungkin sebelum berganti kelamin aku akan pergi mendonorkan spermaku ke bank sperma besok. Memiliki anak adalah hal lain di sini. Pasangan lelaki mau pun pasangan wanita bisa mengatur berapa banyak ia ingin punya anak. Mereka tinggal datang ke rumah sakit dan rumah sakit akan mengaturnya untukmu.
Pasangan lelaki bisa mengadopsi seorang anak di rumah sakit atau meminjam rahim di rumah sakit. Sedangkan pasangan wanita bisa mengadopsi seperti biasa atau menyatukan ovum dan sperma di dalam rahimnya jika salah satu dari mereka memiliki rahim. Lagi pula bank ovum dan sperma pasti memiliki stok yang banyak. Tak perlu khawatir dengan anak, teknologi sekarang sudah sangat maju.
Malam menjadi semakin dalam. Ingatan-ingatan mulai meliar kemudian beranak-pinak menjadi rencana dan harapan.
“Rangga, kupikir nanti aku ingin anak lelaki saja,” katanya tiba-tiba.
“Aku pun begitu.”
Kupikir lagi, teknologi sangat luar biasa saat ini. Mengatur kelamin anak adalah hal yang mudah. Tinggal katakan saja. Lagi pula kelamin si anak akan berubah seiring perkembangan zaman. Seorang anak akan tumbuh sebagaimana lingkungannya. Jika ia tak suka menjadi laki-laki, ia bisa memilih sebagai wanita.
Seseorang memiliki kebebasannya sendiri. Ia bisa memilih mengikuti norma atau melawan norma yang ada di masyarakat. Segala hal tentu saja memiliki risikonya sendiri. Entah itu kekangan atau kesenangan.
Kupandangi lagi kekasihku yang tengah menatap bulan sabit. Wanita itu, rambutnya tergerai. Pesona bulan sabit di malam hari terikat padanya. Aku tentu saja mencintainya.
“Rinjani, apa kau pernah berpikir untuk menjadi bulan saja?” kataku.
“Kenapa?”
“Bulan memiliki kebebasan yang luar biasa. Ia bisa menjadi purnama atau sabit dan orang-orang akan tetap menyukainya. Bahkan saat ia menghilang, Orang-orang mulai merinduinya.”
“Rangga, kau sudah menjadi bulan dalam tubuhku, tetapi aku tak suka jika kau menghilang.”
“Haha,” aku tertawa, “Bagaimana kalau sekarang kita tidur saja, Rin. Besok akan menjadi hari yang panjang.”
Malam yang dingin membuat selimut sampai ke dada. Ragu menjadi beku. Pikiran-pikiran pemberontakan selalu muncul menjelang pejam.
“Rinjani, kira-kira apa yang akan terjadi besok?”
“Besok aku akan tetap mencintaimu, Rangga”
“Kalau begitu, bisakah kita tetap seperti ini saja? aku hanya ingin menjadi diriku sendiri.”
2021
No comments:
Post a Comment