herlangga juniarko

Powered By Blogger

Thursday, December 27, 2018

Dari Lavender yang Jadi Imaji

:Hinata

oleh: Herlangga

I
Matamu masih lavender
Sejujurnya lavender selalu mengingatkanku akan pengharum ruangan di kamar
Setelah menyemprotnya ke seluruh ruangan maka ada imaji yang terbangun
Aku akan menggambarkannya untukmu:
Sebuah kamar terisi bunga di sekeliling
Dan seseorang dengan rambut lavender di sana
Oh tentu, Tuhanmu akan tahu siapa dia,
Karena kau pernah berkata bahwa dunia kita tersekat imaji dua dimensi

II
Maaf, aku tak datang ke pernihakanmu
Entah mengapa, Tuhanmu dan Tuhanku bersepakat tidak mengizinkanku datang
Atau mungkin membiarkan segalanya tetap bersekat dalam ruang imaji

Sejujurnya,aku ingin memaksa Tuhanmu yang setara aku untuk tunduk
Tapi tak apa.

Friday, November 2, 2018

Episode Terakhir dari Kenangan

oleh: Cecep Syamsul Hari

Ketika waktu berhenti,
kota-kota menghapus jejak airmatamu
dengan keheningan kenangan.

Aku tak lagi mampu mengingat
kapan kisah cinta itu dimulai,
kapan selesai.

Barangkali pada sebuah senja
di bising kota asing dan kumuh,
pada beranda sebuah hotel di ujung jalan
riuh.

Atau dalam kafe tanpa

Wednesday, September 5, 2018

Mula Batu, 1

oleh: Sapardi Djoko Damono

1

sejak itu kita berjanji untuk beriman pada kata

sejak itu kita ciptakan dewa
yang tak pernah terpejam matanya
yang tak pernah tertutup telinganya
yang selalu menuding telunjuknya
yang memaksa kita mendengar dan mengucapkan
satu-satunya kata

sejak itu kita berjanji untuk beriman pada kata
agar ada yang mengawasi kita
ketika naik-turun bukit
ketika masuk-keluar gua

kita beri tanda pohon demi pohon
agar bisa kita tafsirkan padanannya
kita beri nama hewan-hewan
yang sejak mula berkerumun di sekitar
agar pada suatu hari kelak
ketika langit seperti debu arang
ketika terjadi banjir besar bisa mendengar gema syiar di hutan-
       hutan dan sepasang demi sepasang dengan
       patuh naik ke perahu
agar pada suatu saat yang sudah disiratkan mencapai
     sebuah bukit yang sudah tersurat namanya

kita pun merentangkan jarak
kita pun merentangkan waktu
kita pun melipat jarak
kita pun memapatkan waktu
lalu kita bentur-benturkan keduanya agar bepercikan
       warna dan berdenting suara dan kenangan dan cinta
       dan remah-remah segala yang pernah keluar-masuk
       mimpi kita
dan kita bentur-benturkan keduanya agar melesat kembali
       dari kobaran api bersama sunyi-senyap-sepi yang
       mulai rontok sayap-sayapnya

kita suratkan babad batu ini


*diambil dari kumpulan sajak "Babad Batu"




Monday, June 11, 2018

Fried Chicken

Oleh: Hasta Indriyana

Sejenak, ia terdiam ketika pelayan bertanya
"Paha atau dada?"

Ia berdesir membayangkan empuk paha
Dan kenyal daging dada. Tapi itu biasa
Pikirnya. Ia tersipu melirik si embak

"Hati yang saya ingin."

Dengan tersenyum, pelayan berkata
"Hati adalah sebentuk daging yang lain
Tapi kami tidak menjual jeroan," terangnya

Ia pun pulang setelah muter-muter mencari
Tak ada yang menjual hati, sambil mendekap
Dada yang diyakininya tempat yang yang dicarinya
Bersarang

Sesampai rumah ia menyimpulkan dengan
Hati-hati bahwa hati sebagaimana jeroan
Pakaian yang dipakainya. Gampang asam
Dan sering-sering harus dicuci


Cimahi, 2016

*diambil dari antologi puisinya yang berjudul "Belajar Lucu dengan Serius"


Thursday, April 12, 2018

Ujian

Oleh: Herlangga

Dalam ruangan kelas, seorang siswa dengan terang-terangan menyontek
Dalam ruangan kelas, seorang guru membiarkan siswanya menyontek
“Sudah biasa,” para siswa bilang
“Menyontek adalah korupsi. 
Dan korupsi sudah menjadi budaya Indonesia” guru itu bilang

Di tengah jalan, guru itu ditilang polisi.
Tak ada helm. Tak ada SIM. Tak ada STNK.
Kemudian disodorkannya beberapa pecah puluhan ribu.
“Untuk rokok dan kopinya, pak polisi,” kata guru itu sambil tersenyum.
“Kasihan guru, beri teguran saja dulu,” kata polisi itu.
Mereka pun berpisah.
“Ramah dan pemaaf adalah sifat asli orang Indonesia” kata polisi itu lagi
“apalagi ada rokok dan kopi”

Sepulang ke rumah, polisi itu bertemu seorang siswa yang baru lulus.
“Aku ingin menjadi polisi” kata siswa itu
“Bisa saja. Tergantung” kata polisi itu
“Lima ratus. Cukup?”
“Bisa diatur”
Segalanya bisa diatur dan direncanakan. Orang Indonesia tidaklah sembrono.
Hukum mati ditolak untuk warga Indonesia karena nantinya bisa jadi bumerang.
Cerdas.

Pun ujian bagi siswa, tak lagi tempat hasil uji belajar, tetapi tempat menguji kecerdikan.
Siapa yang paling cerdik, dia yang selamat.
Adapula yang menyebutnya ujian persahabatan. Entah mengapa.


23 April 2015 - 24 Nopember 2017


Monday, March 26, 2018

Di Selat Alas Kau Berjanji Menikam Seseorang

Oleh: Pringadi Abdi

ini tidak mungkin dipercaya, jarak sepuluh kilometer antara 
lombok dan sumbawa dapat memicu kematian

seseorang dapat ditikam, didorong ke laut lalu tenggelam
orang-orang tidak akan tahu, mereka lebih suka memikirkan
harga daging sapi, seikat kangkung, kelangkaan ikan
pada bulan purnama, juga ombak dan cuaca barat siwa
daripada negara, ketua KPK, penumpang yang terlantar di bandara 
apalagi hanya mayat, yang tak memiliki hubungan kerabat

di situlah, kadang-kadang aku merasa sedih
teringat pesan singkatmu semalam, kita tak memiliki masa silam
padahal udara pernah sangat kejam. aku ingin berteriak
tapi dadaku dibuatnya sesak, hidupku dibuatnya terisak 

terserah, bila kapal ini bernasib seperti munawar, lalu aku terdampar
melihat bekas pulau kenawa yang terbakar, dan baru
ditumbuhi belukar, aku pasrah, tetapi bukan aku yang mati

karena belum kusampaikan kata-kata yang sudah lama
menjadi bantal dalam tidurku, sambil membayangkan adegan di pasar
ketika aku tertipu, ingin membeli cumi tapi diberi gurita
itu membuatku tak terima, kau membuatku mengira
kau telah jatuh cinta padaku selama-lamanya

kepalsuan itulah yang membuatku ragu pada wanita mana saja
juga jarak mana saja, karena jarak sepuluh kilometer ini
harus kutempuh dua jam lebih lamanya, sementara
sepuluh kilometer yang lain hanya membutuhkan waktu sepuluh menit! 

5 Maret 2018


*puisi ini diambil dari Kompasiana Pringadi Abdi Surya

Monday, March 19, 2018

Batas

Oleh: Aan Mansyur

Semua perihal diciptakan sebagai batas. 
Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain. 
Hari ini membatasi besok dan kemarin. Besok batas hari ini dan lusa. Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara, dan kantor wali kota, juga rumahmu dan seluruh tempat di mana pernah ada kita. 

Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta. Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi ini dipisahkan kata-kata. Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang. Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang.

Seorang ayah membelah anak dari ibunya— dan sebaliknya. Atau senyummu, dinding di antara aku dan ketidakwarasan. Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dari tidur.

Apa kabar hari ini? Lihat, tanda tanya itu,
jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi.



* diambil dari bukunya yang berjudul "Tidak Ada New York Hari Ini"
** puisi ini pun dibacakan oleh Nicholas Saputra dalam film "Ada Apa Dengan Cinta 2"


Friday, March 9, 2018

Yang Abadi di Kaca Jendela

oleh: Herlangga

Hujan menderas. Bising pada genting dan jendela
dan aku merasa sendiri padahal ruang diributi hujan dan kenangan

Kenangan dan matamu di kaca jendela adalah keabadian
Meski hujan terus membentur-benturkan dirinya serupa cahaya lampu kota yang jatuh dan berceceran di jalan
Lalu kau di ruang imaji seakan berkata
"apalagi yang abadi di kaca jendela itu?"
Retoris!
Aku tak perlu menjawabnya
Sungguh tak ada lagi yang abadi, kecuali matamu yang sempat membendung katakata dan merubahnya menjadi hujan

Dari jauh, guntur mengilatkan cahaya
Dirimu jatuh menjadi genangan


2017