herlangga juniarko

Powered By Blogger

Monday, September 26, 2016

Di Bawah Jalan Layang Pasupati

Menyantap cuanki di bawah jalan layang
Kemudian wajahmu menggenang di kuah mie
Di sampingnya pedagang pisang coklat
Aku tak pernah membelinya
Karena bagiku kamu lebih manis daripada seluruh gula di dunia
Kecuali gula buatan tentu saja

Ah, es kelapa di seberang jalan menyegarkan
Mungkin es kelapanya lebih nikmat dari buatanmu
Karena di dalamnya tak ada potongan rindu atau serutan cemburu
Tapi entah darimana, aku seperti menyeruput sendu
Mungkin kenangan masih tertinggal di lidah

Mobilmobil di atas kepala. Di jalan layang
Aku harap ada yang mau membawakan isakmu padaku


2016
Herlangga Juniarko

Saturday, September 24, 2016

Dermaga

oleh: Nurul Lutfia

dermaga itu menyetiai pertemuan demi pertemuan
awal kenang yang merekam tiap jejak perjalanan
pangkal dari pertemuan adalah perpisahan
selalu begitu. kau pemotret ulung
tiap pertemuan-perpisahan

suatu waktu, kau, aku akan sama-sama pergi
meninggalkan kota yang merangkum pertemuan kita 
rindu adalah dermaga harap yang kaulabuhkan tanpa isyarat
hanya larik doa yang menggantung di pantai cerita.


Bandung, 5 April 2014 


*catatan: saya masih ingat ketika membaca puisi ini di Pendopo Indramayu dulu. Sangat menyenangkan :)

Thursday, September 22, 2016

Altair

oleh: Karle Wilson Baker

Three of them walk together
Joyous and fair and high,
Through the still, heavenly weather
Up in the summer sky ...

Under their feet are the fountains
The night-bird's heart outpours
Flooding the mimic mountains
Of the shadowy sycamores.

Over the sky forever
She leadeth her comrades sweet;
No dream of our mortal fever
Troubleth her straying feet.

She lifteth the years from my shoulders,
She looseth the weight from my wings;
Long hidden from all beholders
An old, sealed fountain sings....

Three of them walk together--
She is the fairest of three;
And sweet as the heavenly weather
She maketh the heart of me!


1919
*diambil dari Blue Smoke karya Karle Wilson Baker

Sunday, September 18, 2016

Kupanggil Namamu

Oleh: WS Rendra

Sambil menyeberangi sepi
kupanggil namamu, wanitaku
Apakah kau tak mendengarku?

Malam yang berkeluh kesah
memeluk jiwaku yang payah
yang resah
kerna memberontak terhadap rumah
memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala.

Sia-sia kucari pancaran sinar matamu.
Ingin kuingat lagi bau tubuhmu
yang kini sudah kulupa.
Sia-sia
Tak ada yang bisa kujangkau
Sempurnalah kesepianku.

Angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.

Monday, September 5, 2016

Friday, September 2, 2016

Seorang Perempuan yang Menjadi Kabut: Metafora Kau, Aku, dan Waktu

oleh: Herlangga

Ah cintaku, pagi ini tiba-tiba kau kabut
Aku ingat kau pernah berkata
“Ini semua hanyalah ilusi waktu”
Aku masih tidak percaya
Bagaimana mungkin kau bisa menjadi kabut

Bukankah kemarin kau masih menjadi fana
Lalu kau berkata dalam romansa
“Ilusi waktu akan terus mengikismu sedikit demi sedikit, sayangku”
Aku masih tidak percaya
Bagaimana mungkin kau menjadi setipis kabut

Kabut itu masih setipis kerudung yang sering kau pakai
Aku tahu karena langit masih teduh sepertimu
Lalu aku menyaksikan kau perlahan menjadi cahaya