herlangga juniarko

Powered By Blogger

Monday, September 5, 2016

Embun Pagi

oleh: Herlangga

“Mencintaimu, bagiku adalah kesetiaan paling purba”


            “Kringg” Pukul 5 pagi, Ponselku berbunyi seperti biasa. Itu adalah suara telepon masuk. Di layarnya masih tertulis nama yang sama setiap waktunya, yaitu Prasidina. Lelaki yang masih setia menjadi bagian dari pagiku.
            “Hai Rinjani, sudah bangun?” katanya dari seberang sana.
            “Hmm, ya seperti itulah” jawabku singkat sambil mengumpulkan kesadaranku.
            Sebenarnya itu adalah jawaban yang biasa aku berikan kepadanya setiap pagi. Tapi tak kusangka ia masih saja mau membangunkanku setiap pagi. Sebenarnya bukan aku yang memintanya, tapi dia sendiri yang menginginkannya.
            “Kalau kamu sering telat, UN nanti bagaimana?” katanya saat kami masih SMA.
            “Sepertinya aku memang sulit bangun deh, Pras” jawabku saat itu.
            “Ya sudah kalau begitu, aku akan membangunkanmu setiap paginya”
            Dan begitulah akhirnya, ia menjadi alarmku setiap paginya sampai sekarang bahkan saat hari libur sekalipun. Mungkin ia senang melakukannya. Aku tak pernah tahu. Ia seperti seseorang yang menyetiai embun pagi kemudian membagikannya pada orang-orang. Embun pagi selalu indah bagiku, seperti sekumpulan mimpi orang-orang yang tertidur kemudian menjadi airmata pagi. Pras, begitulah aku memanggilnya, memang orang yang sangat setia terhadap segala hal.
            “Jadi kamu masuk jam berapa hari ini?” ia bertanya seperti biasa.
            “Mungkin hari ini aku akan mulai masuk kuliah jam sepuluh. Katanya ada dosen yang tidak bisa masuk. Jadi, masuk kelas agak siang” jawabku
            “ Baiklah, kalau begitu aku jemput kamu jam tujuh saja ya. Katanya hari ini kamu mau ke toko buku, kan?”
            “Oh iya aku hampir saja lupa. Makasih ya sudah mengingatkanku.”
            “Iya sama-sama. Kalau begitu sampai nanti jam tujuh ya, Rin”
            “Iya” telepon pun kututup.
            Layar ponselku masih seperti embun pagi. Tenang dan menyejukkan. Wajah seorang lelaki masih ada di sana. Tirai jendela kamar sedikit kubuka. Ada beberapa air yang menetes dari genting rumahku. Mungkin semalam hujan, pikirku. Embun pagi ini memang masih setia.
            Sebenarnya kami berbeda tempat kuliah, tapi ia selalu menyempatkan diri menjemputku. Ia selalu saja memiliki jadwal kuliah agak siang sehingga bisa selalu mengantar jemputku. Aku sering kali menolaknya karena memang agak kasihan juga jika ia selalu mengantar-jemput diriku. Tapi seringkali pula ia memaksa untuk melakukannya.
            Kemudian jam menjentikkan jarumnya ke angka tujuh. Pras pun datang dengan motornya seperti biasa. Setelah mengunci pintu aku pun pergi dengannya. Pagi ini dingin sekali, kupikir mungkin karena hujan semalam.
            Motor melaju cukup stabil di jalanan yang agak lenggang. Pohon-pohon masih berjajar di pinggir jalan. Punggungnya cukup menenangkan bagiku. Aku tahu hampir setiap hari aku pulang dan pergi dengannya, tapi tetap saja ia sosok lelaki yang besar dan berwibawa. Bagiku seperti ada aura yang berbeda darinya. Aku sangat merasakannya karena terkadang punggung ini adalah punggung yang menahan airmata kesedihanku. Kemudian ada yang menetes dari atas, yaitu air. Ah, embun menjadi rintik hujan pagi ini.
            “Mau berteduh?” kata Pras dari depan.
            “Mungkin” jawabku dan beberapa saat kemudian kami berada di sebuah halte sebelum hujan membasahi kami.
            “Kamu kebasahan, Rin?”
            “Tidak”
            “Semoga hujannya tidak terlalu lama”
            “Kenapa?”
            “Tentu saja aku tidak mau kita terjebak di sini, Rin”
            “Tapi hujan ini menyenangkan, kan Pras?”
            “Ya tapi kamu tahu kan, kalau aku tidak menyukai hujan”
            “Tapi hujan ini memang indah kan. Kita berdua menikmati hujan yang menderas di halte sambil rimbun pohon masih tersedia di jalanan haha”
            “Kamu mulai menjadi penyair lagi”
            Hujan semakin menderas saja. Mungkin semalam banyak orang yang luka hatinya hingga airmatanya menjadi hujan pagi ini. Aku selalu menyukai hujan, tetapi Pras sebaliknya. Ia tak menyukai hujan karena suatu hal.
            “Rin” tiba-tiba ia memegang bahuku. Aku berbalik padanya.
            “Hmm?” aku heran dengan sikapnya. “Ada apa?” lanjutku.
            “Aku cinta kamu” ia melepaskan tangannya dari bahuku. Mata kami bertemu sesaat sebelum akhirnya terlapas karena sunyi.
            Hujan masih deras. Suara hujan adalah suara kesunyian kami. Hujan ini cukup deras tanpa petir dan angin yang besar. Hanya hujan saat itu. Suara hujan. Ia memalingkan wajahnya.
            “Apa?” aku mendengar apa yang ia katakannya tadi dengan jelas. Mungkin aku ingin mendengarnya lagi?
            “Aku cinta padamu, Niken Saraswati Rinjani” kata pras mengulanginya lagi.
            Seperti ada petir yang menyambar. Mungkin juga ada gempa. Aku bingung bahkan hampir tak percaya. Prasidina teman yang selalu menemaniku sedari SMA ternyata mencintaiku. Aku memandang wajahnya. Ada keyakinan dan keraguan yang menjadi satu di sana.
            “Maaf, Pras.” Itu adalah kata yang keluar dari mulutku. Mungkin sedikit kejam, tetapi seperti ak ada kata lain lagi yang keluar dari mulutku saat itu untuk membuat kata menjadi lebih lembut.
            “Jadi kau masih mencintainya ya?”
            “Seperti itulah, aku masih menyukai ia yang ribuan kilometer jaraknya dariku. Namun, kami masih menyukai hujan yang sama”
            “Haha, mungkin inilah alasan kenapa aku tidak menyukai hujan, Rin. Karena ia menyukai hujan sama sepertimu”
            Langit masih menderaskan hujan. Ia melihat langit. Sunyi terisi oleh suara hujan. aku menunduk. Hujan masih setia menghibur orang-orang yang kesepian.
            “Rin, sepertinya ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan di kampus. Apa kau bisa ke toko buku sendiri? Besok aku akan mentraktirmu sebagai gantinya” ia tersenyum.
            “Ya”
            Ia mulai menyalakan motornya. Hujan masih menderas. Kini punggungnya mulai kehujanan. Hujan masih deras. Mungkin jiwanya pun kehujanan. Hujan masih deras.
            “Rin,” wajahnya kini menghadapku. Ada senyum di bibirnya. “Aku mungkin akan setia mencintaimu” lanjutnya kemudian berlalu di dalam hujan.
            Kesetiaan seperti apakah yang dimiliki hujan pada langit, pada pohon , dan pada orang-orang kesepian? Mungkin kesetiaan adalah hal terakhir yang dimiliki seseorang. Tapi aku masih setia pada seserorang yang mencintai hujan.
            Dan Pras, bagiku ia masih menjadi embun pagi.


2016

No comments:

Post a Comment