herlangga juniarko

Powered By Blogger

Monday, December 31, 2012

Cerita Tanggal 31 Desember

oleh: Herlangga Juniarko

jendela itu berkata: sekata tanggal nada
janda dan duda telah bersatu dalam campuran mesiu!

dan kuledakkan mereka dalam petasan yang dibeli
anakanak setelah mendapat angpao dari ibunya
jangan beli petasan, berbahaya! kata ibu itu

terlambat. bombom mini itu
sudah meletus di tangan seorang anak
kala malam hendak berganti segala

jendela itu berkata padaku: kematian
memang sekata dengan tanggal dan jantung nada


31 Desember 2012

Cinta dalam Setengah Blues

oleh: Nezar Patria

Cinta, katamu, adalah tangga nada
dan kau pun mulai menyusun not buta

Kudengar piano itu berdenting, garing
Ada suara saksofon, monoton

Mungkin kau tak mengerti
Cinta bukan partitur biasa

Tak bisa dimainkan dari la
Lalu berhenti sebelum si


2012

Friday, December 28, 2012

Asal-Usul Polisi Tidur, 1

oleh: Binhad Nurrohmat

Jalan raya itu dahulu mulus dan rata
motor yang lewat kebut-kebutan aja.

Lantaran marah, masyarakat sirna akalnya
jalan raya itu benjol-benjol dihakimi massa.



Wednesday, December 26, 2012

Ada Apa Dengan Cinta

oleh: Rako Prijanto

Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur di hatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Baru sekali ini aku melihat karya surga dalam mata seorang hawa
Ada apa dengan cinta
Tapi aku pasti akan kembali
Dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya
Bukan untuknya
Bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja


2002
*dari Film "Ada Apa Dengan Cinta" (2002)

Tuesday, December 25, 2012

Drama Penyaliban Dalam Satu Adegan

oleh: Subagio Sastrowardoyo

- "Disinilah aku bergantung
Domba hitam terbantai di tiang
Perempuan malang bersimbah debu
meratap. Merataplah sepatut seorang
ibu meratap kematian anak sulung
Tapi merataplah tanpa kegusaran terhadap
mereka yang menyeret aku dari lurung ke lurung
yang menombak dan memaku aku di tiang gantung
Manusia itu baik. Kelaliman hanya kesesatan
sesaat yang akan luluh dalam penyesalan.
Bagi nabi, pemikir dan penyair hanya ada satu jalan
untuk menghadapi kekejaman. Bagi kami tak ada senjata,
gigi, kuku atau pedang. Hanya penyerahan dan cinta
kepada manusia dan keyakinan akan kebenaran.
Jangan bimbang. Darahku yang berceceran
dari luka tubuhku akan mendekatkan mereka
kepada keinsafan: mereka telah membunuh sesama insan
yang juga mengenal gembira, rindu dan luka
Mereka akan berhenti mengancam, malahan akan mencampakkan diri

ke bumi karena menyadari kekejian budi
Ibu, maafkan mereka. Mereka tidak sadar
apa yang mereka perbuat. Tidakkah kau dengar
mereka berkeluh dan mundur ke kota dengan teriak
penyesalan"?

- "Aduh anak,
Aduh putera bapak yang tunggal. Begitu banyak
pengorbanan yang dilakukan, begitu banyak sudah bunuh diri
buat keagungan martabat manusia. Tapi penindasan
terus menindih dan punah keindahan mimpi.
Lihatlah,
Keluh mereka adalah kutuk yang dilontarkan ke mukamu
Dan mundur ke kota adalah untuk berpesta menyambut kematianmu"
- "Bunda, penglihatanmu kabur oleh air mata"
- "Tidak, hanya hatimu yang lemah oleh cinta manusia
Cinta Tuhan lebih kejam. Ia meruntuhkan alam lata
untuk melahirkan manusia perkasa"

- "Demi Allah!
Berilah aku senjata. Beri aku gigi
dan kuku dan pedang untuk memerangi
kebengisan ini. akan kugigit dan robek
perut jahanam dan penggal setiap kepala
yang tunduk ke bumi. Beri aku hidup lagi.
serta pembalasan satu ini. Gusti!"


1962
*dari antologi "Dan Kematian Makin Akrab"

Malam Natal

oleh: Acep Zamzam Noor

Hanya dingin
Mengalir dalam diam

Ilusi hujan:

Lonceng gereja gemetaran
Angin gemetaran
Ilalang gemetaran

Siapa gerangan
Yang datang?

Hanya dingin
Mengalir dalam diam


1979
*dari https://www.facebook.com/acepzamzam.noorii/posts/523241711034287

Balada Penyaliban

oleh: W.S. Rendra

Yesus berjalan ke Golgota
disandangnya salib kayu
bagai domba kapas putih.

Tiada mawar-mawar di jalanan
tiada daun-daun palma
domba putih menyeret azab dan dera
merunduk oleh tugas teramat dicinta
dan ditanam atas maunya.

Mentari meleleh
segala menetes dari luka
dan leluhur kita Ibrahim
berlutut, dua tangan pada Bapa:
- Bapa kami di sorga
telah terbantai domba palling putih
atas altar paling agung.
Bapa kami di sorga
Berilah kami bianglala!

Ia melangkah ke Golgota
jantung berwarna paling agung
mengunyah dosa demi dosa
dikunyahnya dan betapa getirnya.

Tiada jubah terbentang di jalanan
bunda menangis dengan rambut pada debu
dan menangis pula segala perempuan kota.

- Perempuan!
mengapa kautangisi diriku
dan tiada kautangisi dirimu?

Air mawar merah dari tubuhnya
menyiram jalanan kering
jalanan liang-liang jiwa yang papa
dan pembantaian berlangsung
atas taruhan dosa.

Akan diminumnya dari tuwung kencana
anggur darah lambungnya sendiri
dan pada tarikan napas terakhir bertuba:
- Bapa, selesailah semua!


1957
*dari antologi puisi "Ballada Orang-orang Tercinta"

Sunday, December 23, 2012

(Tanpa Judul)

oleh: Soe Hok Gie

ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku

bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa


(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)

Thursday, December 20, 2012

Tanah Air Mata

oleh: Sutardji Calzoum Bachri

Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana

 bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata


1991

Wednesday, December 19, 2012

Nasihat Malin Kundang

oleh: Soni Farid Maulana

"betapa mudah jadi penyair di negeri ini,"
ujar Malin Kundang sambil mengunyah kacang goreng,
sebelum seteguk kopi di sebuah café yang ramai
dikunjungi calon penyair, yang berkali-kali
kiriman sajaknya ditolak oleh berbagai media massa cetak.

"siapa bilang? Kalau gampang, tolong beri tahu aku
bagaimana caranya?" tanya seorang calon penyair,
yang mulai mahir nenggak wine dan bergelas-gelas bir.

"bikin jurnal," jawab Malin Kundang
sambil terus berkata, "tarik sejumlah kritikus,
juga penyair senior sebagai redaktur. Tiap terbit
kau bisa memuat sajak-sajakmu di situ. Bukan
hanya sajak, tapi juga esaimu.

setiap orang yang mengritik dirimu, jangan ragu
kau tolak sajak dan esai mereka di jurnalmu,"
jelas Malin Kundang, diseling batuk tiga kali.

"Yes! Itu ide cemerlang. Aku mau
jadi pemrednya. Aku jadikan jurnalku
laboratorium sastra. Aku jadikan diriku
tukang kebun kata-kata di negeri ini," ujar
calon penyair sambil mengusap-ngusap
kepalanya, dengan potongan rambut
yang cepak ala tentara


2000
*dari Antologi "Variasi Parijs van Java"

Tuesday, December 18, 2012

Gunung Geulis

Kupandangi gunung geulis dengan mesra
Beserta ciuman panjang langit dan bumi

Kau tahu, kekasihku, mengapa mereka menyebutnya gunung geulis
Karena dahulu seorang bidadari telah tinggal di sana
Bersatu dan riang bersetubuh dengan alam

Dan kini, bidadari itu turun lagi dan menjelma kau
Tetapi bidadari itu hanyalah aku yang memilikinya


2012
Herlangga Juniarko

Ayat-ayat Kyoto

oleh: Sapardi Djoko Damono

/1/
segala yang mendidih dalam kepala
tidak nyata, kecuali sakura
dan kau — tentu saja

/2/
gerimis musim semi —
tengkorakku retak;
kau pun menetes-netes ke otak

/3/
kita sakura —
gugur sebelum musim semi
tak terlacak pula


*dari Antologi "Ayat-ayat Api"

Monday, December 17, 2012

Sebuah Tanya

oleh: Soe Hok Gie

Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.

kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi.
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin

Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat

lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tau dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita

apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu

manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru



Selasa, 1 April 1969

Perpisahan

oleh: Acep Zamzam Noor

Kau meninggalkanku dengan rambut
Yang terbungkus kabut
Langkahmu kunangkunang
Diantara kegelapan yang mengepung malam
Aku pun melepasmu tanpa kepak elang
Tanpa lolongan anjing di kejauhan


2003

Saturday, December 15, 2012

Lelucon Menjelang Kematian

: Gus Dur 

oleh: Agus Noor

1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.

Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan segera melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga. “Jangan gegabah. Kita mesti hati-hati, pada apa yang belum kita mengerti,” jawab Presiden. “Pasti saya akan ambil keputusan, tapi nanti.”

Dan kau, juga aku, pada akhinya tahu: seorang penyair pernah mengatakan, hidup hanya menunda kekalahan. Maka, bagi Presiden itu, hidup hanya menunda keputusan.


2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya, ruhmu.

“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, seperti pada bait puisi. “Tapi, bila boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember, bukan? Hari yang ranum dan bahagia. Saya tak ingin siapa pun yang merayakan kelahiran Tuhan, berduka karna kematian saya.”

Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.


3/
Seperti dalam puisi, gerimis pun mempercepat kelam. Langit penuh kesedihan. “Sebelum mati, ijinkan saya berpesan,” katamu. “Jangan Kau biarkan orang-orang saling dorong atau berdesakan saat pemakaman. Apalagi sampai ada yang mati terinjak atau pingsan.” 

Kenapa, kata-Ku.

“Karna nanti malah dikira orang antri rebutan sumbangan…”


4/
Ingin kutulis puisi, sesuatu yang kelak retak tetapi kuharap abadi, setelah kau mati. Kata-kata yang tak pudar di keramik waktu.
“Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya tak terlalu suka puisi. Kau tahu, penyair lebih rumit dari sopir bajaj. Di jalanan, kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya sopir bajaj dan Tuhan. Tapi kalau penyair menulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu, apa yang ditulisnya itu.”

Tapi aku ingin menulis puisi. Meski mungkin tak akan pernah menjadi abadi. Lihatlah, di matamu yang perlahan terkatup, seperti ada perih puisi.

Ya, katamu, selalu ada yang jauh lebih tak terduga dari puisi, melebihi mati.


5/
Seperti ada yang perlahan-lahan sampai. Seperti ada yang tugur di sisimu.

“Tuan Tuhan, bukan?”

Tunggu sebentar. Gus Dur lagi tidur 


2010

Friday, December 14, 2012

Belajar Membaca

oleh: Sutardji Calzoum Bachrie

kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku


1979
*dari Antologi puisi "Kapak"

0 Derajat

oleh: R. Abdul Aziz

Penguin yang mengajarkanku menulis puisi
mengajakku masuk kedalam kulkas

Di luar, api sudah berkobar pada cahaya
siap melepuhkan kulit irimu

melelehkan es krim coklat anakmu dan
menjemur celana dalam isterimu

Bersama sebotol sirup jeruk
dan berbutir telur milik induk ayam

yang ternyata diadopsi oleh isterimu
untuk membuatku kenyang

Kita berdiskusi tentang apa itu kutub selatan
yang terlalu gerah untuk menemukan salju


2012

Thursday, December 13, 2012

Adalah Bayang-bayang Bianglala yang Kita Tatap Dalam Gamang

oleh: Upita Agustine

Adalah bunga
Adalah bulan
Adalah bintang
Adalah angin
Adalah air
Adalah batu
Adalah mata
Adalah rambut
Adalah tangan
Adalah hati
Adalah bayang-bayang bianglala yang kita tatap dalam gamang


Padang, 1975

Wednesday, December 12, 2012

Envoi

oleh: Soni Farid Maulana

akhirnya kau temukan aku meninggal
dalam pangkuan malaikat maut yang menangis
di arah kiblat. Ingin aku bertanya, apa yang kau
temukan di kamar tidurku yang berantakan
diporak-porandakan badai minuman keras?
Keduniawian adalah minuman keras bagiku

aku tahu, hanya kebisuan yang menyemak
dalam rongga dadamu. Pada hematku aku merasa
lebih baik di tempat di mana aku berada sekarang
meski aku belum tahu arah mana yang akan kujelang,
kiri atau kanan.

ditinggalkan atau meninggalkan
adalah jam kematian yang tak bisa ditangguhkan
laju detiknya. Kopor-kopor doa yang kau siapkan
untukku; itu lebih baik -daripada kau- sibuk
menenggelamkan diri dalam palung airmata
yang kelam


2006
*dari antologi puisi "Angsana"

Dalam Kereta

oleh: Chairil Anwar

Dalam kereta.
Hujan menebal jendela

Semarang, Solo..., makin dekat saja
Menangkup senja.

Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa,

Sayatan terus ke dada.


15 Maret 1944

Tuesday, December 11, 2012

Konflik Antar Agama

            Belum lama ini telah terjadi peperangan di jalur Gaza antara Israel dan Palestina. Ini bukan pertama kalinya terjadi di wilayah itu, sejak dulu Israel dengan gencarnya selalu memperluas wilayahnya dan merebut sedikit demi sedikit wilayah Palestina. Sehingga pada akhirnya kini wilayah Palestina sebagian besar sudah jatuh ke tangan Israel.
            Perebutan wilayah disana pun telah menghabiskan banyak darah, nyawa dan materi. Sehingga berbagai macam cara telah dilakukan oleh pihak dunia untuk menghentikan peperangan itu dengan cara damai. Tetapi semua itu selalu saja kandas di tengah jalan.
            Sebenarnya, tanah hanyalah alasan bagi kedua belah pihak untuk saling berperang. Ada alasan paling inti yang sudah bukan menjadi rahasia umum lagi dan alasan itu adalah agama.
            Sejak zaman dahulu agama memang selalu menjadi hal paling sensitif karena sedikit saja menyentuhnya maka emosi bisa naik dan terjadilah bentrokan. Padahal tak seharusnya terjadi hal demikian yang hanya disebabkan oleh suatu hal khayalan seperti agama.
            Agama merupakan petunjuk yang diturunkan Tuhan untuk memuntun manusia, itulah definisi dari agama. Tetapi agama pulalah yang merupakan pemutus hubungan manusia. Hal itu

Pengakuan

oleh: Asrul Sani

Akulah musafir yang mencari Tuhan
Atas runtuhan gedung dan dada yang remuk
Dalam waktu tiada kenal berdiam dan samadi
Serta kepercayaan pada cinta yang hilang bersama
kabut pagi
Akulah yang telah berperi
Tentang kerinduan akan penyelesaian yang tamat,
Dari manusia, dari dunia dan dari Tuhan

Ah, bumi yang mati,
Lazuardi yang kering
Bagaimana aku masih dapat,
Menyayangkan air mata berlinang dari kembang
kerenyam yang kering
Sedang kota-kota dan rumah-rumah bamboo lebih
rendah dari wajah lautan

Satu-satu masih terbayang antara pelupuk mata
telah hampir terkatup,
Karena murtad. karena tiada percaya
Karena lelah, karena tiada punya ingatan,
Suatu lukisan dari deru air berlayar atas lunas
berganti-ganti bentuk

Dari suatu lembah gelap dan suram
Menguapkan kabut mati dari suatu kerahasiaan,
Tuhan yang berkata
Akulah musafir yang mencari Tuhan,
Dalam negeri batu retak
Lalang dan api yang siap bertemu
Suatu kisah sedih dari sandiwara yang lucu,
Dari seorang pencari rupa,
Dari rupa yang tiada lagi dikenalmya

Perawan ringan, perawan riang
Berlagulah dalam kebayangan
Berupawarena
Berupa wareni,

Dan berlupalah sebentar akan kehabisan umur
Marilah bermain
Marilah berjalin tangan
Jangan ingat segala yang sedih,
Biarkanlah lampu-lampu kelip
Lebih samar dari sinar surya senja
Kita akan bermain,
Dan tidur pulas, sampai
Datang lagi godaan:
"Akulah musafir yang mencari Tuhan”


Bogor, 22 Februari 1949

Monday, December 10, 2012

Mozaik

oleh: Hasta Indriyana

Kita adalah pelangi, aku air kamu cahaya
Seperti hijau, aku kuning kamu biru. Lalu
Bidadari turun bumi pun mandi warna

Kita adalah anak-anak, melihat lengkung
Langit sambil bernyanyi. Aku nada kamu kata
Menjadi lagu dari pecahan kesedihan-kesedihan


*dari buku "Tuhan Aku Lupa Menulis Sajak Cinta"

Saturday, December 8, 2012

Dongeng Sebelum Tidur

oleh: Goenawan Mohamad

"Cicak itu, cintaku, berbicara tentang kita.
Yaitu Nonsens".

Itulah yang dikatakan baginda kepada
permaisurinya, pada malam itu. Nafsu diranjang
telah jadi teduh dan senyap merayap antara sendi
dan sprei

"Mengapa tak percaya? Mimpi akan meyakinkan
seperti matahari pagi".

Perempuan itu terisak, ketika Anglingdarma
menutup kembali kain ke dadanya dengan napas
yang dingin, meskipun ia mengecup rambutnya.
Esok harinya permaisuri membunuh diri dalam api.

"Batik Madrim, Batik madrim, mengapa harus, patihku?
Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih
dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?"


1971
*dari antologi puisi "Tonggak 3"

Friday, December 7, 2012

Kau

oleh: Soni Farid Maulana

angsana dan gandasoli
yang kau tanam di pekarangan hatiku
tumbuh sudah dengan daun-daunnya yang lebat.
kau bilang,
jika kedua tanaman itu tumbuh subur
itu artinya: cinta kita memuncak
mendaki puting gairah seindah bulan merah.

kini kau dimana? Hanya desir angin
dan guguran dedaunan di pekarangan hatiku
diiringi bebunyian serangga,
sebelum tiba
musim penghujan.

langit kosong dan sepi
seperti sumur tua yang ditinggalkan
dengan sisa air yang nyaris kering
diteguk garang kemarau
yang menghanguskan
akar rumputan.

lalu api sunyi berkobar
dari gerbang langit tak dikenal
menjilat dan membakar angsana
dan gandasoli,
yang dulu kau tanam
di pekarangan hatiku, pada sebuah pagi
yang diberkahi cahaya matahari
dan kicau burung dari syair attar,
hafiz dan sana'i. Cintaku,

kau dimana ketika rindu
menyemak di dada
ketika ajal melepas kata
dalam dadaku.


2002
*dari antologi puisi "Angsana"

Kangen

oleh: W. S. Rendra

Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayang wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.


1961
*dari Antologi Puisi "Empat Kumpulan Sajak"

Thursday, December 6, 2012

Menulis Sajak Romantis

oleh: Sulaiman Djaya

Aku jatuh cinta pada hijau musim di wajahmu yang matang,
Dua matamu seperti sebuah rumah
Di pegunungan, yang jauh dan kesepian.
Setiapkali senja mempermainkan rambutmu,
Kuda-kuda liar tersungkur seperti detik-detik yang gugur.

Langkahku panjang sekali ketika ingin menemukanmu
Di antara timbunan waktu.
Di pagi hari, bila keheningan berciuman dengan matahari,
Burung-burung yang terbang seperti setiap kalimat
Yang kauucapkan. Siang pun patah berkali-kali

Ketika butiran-butiran kristal matamu menjelma puisi.
Aku telah lama lupa di mana dulu
Rambutku pernah memutih. Lumut-lumut biru tumbuh
Di kedua tanganku. Sesaat terjaga, semua yang dulu kuletakkan
Tetap setia sebagai udara yang terhampar.


2011

Di Dalam Kereta

oleh: Yusran Arifin

Katamu, stasiun adalah isyarat keberangkatan dan kepulangan
bagi setiap perjalananmu
Tapi kau selalu datang dan pergi tanpa salam yang menyenangkan
hingga kabut selalu turun menyelimuti hangatnya percakapan
Melulu aku gelagapan meski telah kulengkapkan sejumlah perbekalan
doa-doa serta surat cinta warna merah muda
Tak ada tiket gratis di sini, desis masinis dengan wajah sedingin moncong senapan
Aku kian menggigil di ujung kepedihan bangku-bangku
Sedang gerimis yang mengantar langkahmu adalah bahasa lain
dari kekecewaan yang tak terucapakan
Lalu lengking peluit menjeritkan sebuah keberangkatan di hatiku
yang tak bisa ditahan
Sepanjang rel aku menghitung gerbong usia dengan lembar kalender
yang berjatuhan ke dasar jurang
Tak ada yang tersisa, kecuali gemuruh langkahmu membayangi ingatanku
sedang bangku-bangku dan pintu-pintu itu kian dingin dan membeku
tapi selau ada kunci lain bagi setiap rahasiamu
Aku terkejut ketika seorang perempuan tua terbakar kesia-siaan
dan itu yang paling kutakutkan
Dari lubang jendela hatiku ke arah langit masih sempat kubaca isyarat lain
Tapi masa depan tetaplah sebuah terowongan
Gelap dan dingin. 


Tasikamalaya, 2010

Tuesday, December 4, 2012

Nota Bene: Aku Kangen

oleh: WS Rendra

Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih,
indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana.
Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,
dan anak kita akan lahir di cakrawala.
Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.
Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan
untukmu hidupku terbuka.
Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan
Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku.
Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu
aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.


Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978

Monday, December 3, 2012

Tentang Hidup

oleh: Supriyati

Milik manusia yang paling berharga adalah hidupnya
Hidup hanya diberikan satu kali saja
Karena itu ia harus hidup
Tanpa harus merasa malu atau takut
Pada masa lalunya
Maka hiduplah sedemikian
Sehingga tak akan ada siksaan
Selama bertahun-tahun tanpa tujuan
Dan arah yang pasti
Sehingga pada saatnya dipanggil dapat berkata:
"Seluruh hidup dan kekuatan saya
telah saya berikan bagi tujuan utama dunia ini
Yaitu kebebasan manusia"


1992

Senandung Malam Dalam Kamar

:Jo

Malam sedikit saja berganti
Juga matahari yang belum sempat tersingkap dari balik Gunung Geulis
Dan senandungku menyertaimu dari balik kamar kenangan

Jo, disini pula
Kartukartu magis masih berserakan beserta
Jebakanjebakan yang sempat ditinggalkan sang waktu kala subuh
Monstermonster masih menghantui dari kotak pandora

Jo, disini pula
Kita sering beradu sengit bagaikan naganaga yang sering kau lepaskan
Melawan keegoisan dari manusia berjubah serangga ini
Beradu melawan waktu hingga senja menikam

Sayupsayup dari balik pintu kamar
Sang izrail kembali mengetuk pintu itu
Untuk kesembilanbelas kalinya


Bandung, 3 Desember 2012

Sunday, December 2, 2012

Di Stasiun Bandung

oleh: Dami N. Toda

inilah kota yang berlari untuk kita, Agneta
dengus kereta pulang untuk kembali berlari

inilah kebisuan licik mengintai tiap penumpang
pengantar hanya boleh sampai di mulut kereta
kembali pulang tersendat air mata perpisahan

kau tahu Agneta
dalam melupakan diri sendiri
buat menyebut namamu: Agneta, Agneta manis
kerongkonganku telah mereguk racun macam tuak
menyeringai pemabuknya?
kau bisu, Agneta
bisunya batu kuburan kepada angin
Agneta!

detik berkerumun dan kejaran di pintu
pengantin istirah, Agneta, Agneta manis
tempat dan waktu berpaling satu-satu
aku lelaki buru waktu sekarang
lepaskan pelukanku yang dingin
biarkan orang hidup melarikan dunianya ke Yogya, ke Surabaya

nah, Agneta, Agneta sayang
sudah jam berangkat
kubelai kemboja-kemboja rambutmu dengan kasih sayang
mengisahkan namamu di tiap persinggahan
kita mengatup tangan sekarang
sampai ketemu kembali
selamat tinggal
selamat berpisah


November 1964

Balada Andromeda dan Ahasveros

oleh: Ahasveros

Pengembaraan itu telah berakhir
Dengan sebuah hasrat dalam dada
Dan sebuah kembang berwarna di atas pohon keabadian
Sedang rumput-rumput terus bergoyang menunggu
Jam yang mendentangkan waktu
Selagi Ahasveros mencumbunya
Tanpa tatapan, sentuhan, dan pikiran
Hanya rasa di palung dada

Ahasveros mendatangi Andromeda dengan seribu kata
Sedang Andromeda masih mencari tenunan emas lampau yang telah rusak
Di balik ragu akhir pengembaraan
“Apakah ini yang tak sempat tergores dalam hidupku?”
—Ahasveros melayangkan simbol pada Andromeda—

Di mata Ahasveros terukir ragu
Dan Andromeda masih terjebak di sejarah lampau
Membatu mereka di atas besi rel yang panas
Dengan berbagai simbol muncul dari kepala mereka
“Apakah dia?”
Tuhan masih diam di atas batu ketidakpastian
Awan-awan cinta mulai menaungi besi yang memanas
Hujan turun menembus payung ragu mereka

Mereka saling berpandang, hanya sekali
Sudah itu tak ada lagi
Hanya sebuah suara yang ada
Dari dalam dada

Ahasveros meyakini akhir pengembaraan dunianya
Ia tahu, setelah dunia ia kelilingi
Untuk medapat rasa yang belum terjamah
Di balik palung dadanya

Andromeda masih memegang sisa tenunan emas lampau itu
Namun tak ingin terjebak dalam dunia kelam
Sedang dadanya sudah ingin menerima
Ragu masih ada di dadanya
“Apakah kau sungguh-sungguh?”
Ia memandang kembali mata Ahasveros
Di tangannya masih ada sebuah tenunan emas lampau
Dan segumpal awan harapan

Mata mereka bertemu kembali, lebih dalam
Sebuah cincin mulai melingkari jari Andromeda
Bersama sejuta harapan Ahasveros
Merangkai jemari Andromeda laksana kembang bermekaran
Senyum mereka mengembang dan tertanam dalam
Bagai akar di tanah gersang

Tuhan tersenyum dari langit
“Waktu belum sampai pada jam yang tepat”
Hujan berhenti seketika itu
Namun awan cinta semakin padat di atas sana

“Akankah kau menerimaku?”
—Ahasveros meragu kali itu—
Andromeda menerima sebuah cincin dengan sejuta makna
Sedang ragu mereka telah padam oleh hujan dari Tuhan

Waktu bergulir terus hingga jam tepat berdentang
Ahasveros menunggu sebuah tangan dari Andromeda
Dengan segumpal awan harapan


Bandung, 19 Mei 2012

Penyair Anwar

oleh: Afrizal Malna

Aku mengaji, anwar anwar
hidup dari pasar terbuka dalam tubuh
Orang tanah yang mengutip senja, anwar, anwar
Seperti kura, membuat cerita dari tiang-tiang pasir
Seperti telur, kalau langit adalah sebongkah batu

Aku tak pernah berjanji denganmu, untuk berkunjung

Di sebuah kota yang tak mengenal tubuhmu

Tersandar di sebuah tikungan, satu kilometer lebih cepat
Aku tak pernah berencana denganmu, anwar, anwar
Tapi kita di sini juga, sebuah foto menguning dalam dompet
Suara serdadu, bunyi ember, sisa-sisa rambut di kasur

Ucapanku telah jadi batu juga, anwar, anwar

Ada suara ibu

Seperti jalinan suara pada setiap benda
Anwar membuat kota asyik sendiri
Menyimpan diri dalam setiap kata
Jadi penyair di luar sana, anwar, anwar

Aku berlalu dari cerita

Seperti gumpalan tanah dalam mulutmu


1983