herlangga juniarko

Powered By Blogger

Friday, November 30, 2012

Mata Penyair

oleh: Subagio Sastrowardoyo

Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kota. "Apa saja yang sudah kuberikan kepadamu," kata penyair, "kecuali nyawaku ini yang teraniaya."
Rakyat yang miskin merangsak kemuka. "Kami ingin matamu!" teriak mereka. "Kami ingin matamu, yang bisa merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi emas di jalan. Beri matamu, matamu!"
Ada yang masih mau membela penyair itu. "Ingat, tanpa mata penyair menjadi buta!"
Tetapi rakyat yang putusasa tidak peduli. Mereka renggut mata penyair dari lubang matanya, dan lewat kedua bola matanya mereka melihat dunia. Tetapi pasir yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka menjadi kecewa dan merebus dan melahap kedua bola mata itu. Dan tidak terjadi apa-apa.
Penyair yang buta itu duduk di jendela dan tertawa menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua begitu indahnya. Begitu indahnya!


*dari Antologi "Dan Kematian Makin Akrab"

Aku Tidak Bisa Menulis Puisi Lagi

oleh: Subagio Sastrowardoyo

Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Nazi Jerman berjuta Yahudi
di lempar ke kamar gas sehingga
lemas mati.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Afrika Selatan pejoang-pejoang
anti-apartheid disekap berpuluh tahun
tanpa diadili.
aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di Birma para pengunjuk rasa
bergelimpangan dibedili tentara
secara keji.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak di jalur Gaza serdadu-serdadu Israel
mematahkan lengan anak-anak Palestina
yang melawan dengan batu.
Keindahan punah dari bumi
ketika becak-becak dicemplungkan
ke laut karena bang becak melanggar
peraturan DKI
ketika rakyat berbondog-bondong
digusur dari kampung halamannya
yang akan disulap jadi real estate
dan pusat rekreasi
ketika petani dipaksa tanam tebu
buat pabrik-pabrik,sedang hasil
padi dan kedelai lebih mendatangkan
untung dari rugi
ketika truk-truk dijalan raya dicegat
penegak hukum yang langsung meminta pungli
ketika keluarga tetangga menangisi kematian
anaknya korban tabrak lari.
Aku tidak bisa menulis puisi lagi
sejak keindahan punah dari bumi.


*dari Antologi "Dan Kematian Makin Akrab"

Thursday, November 29, 2012

Celia

Celia, we know, is sixty-five,
Yet Celia's face is seventeen ;
Thus winter in her breast must live,
While summer in her face is seen.

How cruel Celia's fate, who hence
Our heart's devotion cannot try;
Too pretty for our reverence,
Too ancient for our gallantry!


Alexander Pope

Friday, November 23, 2012

Sajak Nopember

oleh: Sapardi Djoko Damono

Siapa yang akan berbicara untuk kami
siapa yang sudah tahu siapa sebenarnya kami ini
bukanlah rahasia yang mesti diungkai dari kubur
yang berjejal
bukanlah tuntutan yang terlampau lama mengental

tapi siapa yang bisa memahami bahasa kami
dan mengerti dengan baik apa yang kami katakan
siapa yang akan berbicara atas nama kami
yang berjejal dalam kubur

bukanlah pujian-pujian kosong yang mesti dinyanyikan
bukanlah upacara-upacara palsu yang mesti dilaksanakan
tapi siapa yang sanggup bercakap-cakap dengan kami
siapa yang bisa paham makna kehendak kami

kami yang telah lahir dari ibu-ibu yang baik dan sederhana
ibu-ibu yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
tanpa dicatat namanya
kepada Ibu yang lebih besar dan agung :
ialah Tanah Air

kami telah menyusu dari pada bunda yang tabah
yang rela melepaskan seluruh anaknya sekaligus
untuk pergi lebih dahulu

Wednesday, November 21, 2012

Balada Kematian

oleh: Ahasveros


Dia, seorang lelaki tangguh
Dari dunia kegelapan yang begitu kelam
Di tangannya tato kehidupan telah tergores kejam
Dan kerutan perkelahian waktu telah membekas di wajah
Sekarang dia terbaring lemah sendiri

Tiba-tiba Izrail datang dengan tiga ratus pedang
Menghujam ke arah lelaki itu
Menyobek-nyobek kulit itu
Hingga lebam
Hingga berdarah-darah

“Aku tak akan menyerah pada malaikat!”
Lelaki itu bangkit dari pembaringan
Dibawa tameng kegelapan yang disimpannya di neraka
Lalu ditahannya tiga ratus pedang Izrail
Namun angin waktu terus berhembus
Mengikis tameng itu, sedikit demi sedikit

“Dan Tuhanmu telah mengingatkan
bersiaplah akan kematian yang datang”
Kata Izrail sedikit mundur

Lelaki itu masih bersiaga dengan datangnya kembali
Tentang tiga ratus pedang kematian yang dibawa Izrail

Dan dalam sekejap tiga ratus pedang itu datang
Menghantam tameng lelaki itu
Dan retak telah tergambar di tameng kegelapan
Kemudian dengan sekali hantaman lagi
Izrail menghunuskan pedang-pedangnya ke arah lelaki itu

Setelah angin waktu berhembus sangat kencang
Lelaki itu terkapar
Dengan tiga ratus pedang yang melukainya
Kejam
Dan tanpa ampun

Jin-jin dalam tameng kegelapan itu
Kemudian pergi mencari majikan yang lebih kuat
Meskipun akhirnya akan remuk oleh tusukan Sang Izrail
Yang mengendalikan pedang-pedang kematian yang maha dahsyat


2012

Aku dan Rantai

oleh: Ciu Cahyono

Temanku yang bernama Tukas masih berkeliling negeri. Ia memburu seekor nyamuk pembunuh Kilah, teman baiknya.

Tetanggaku yang bernama Dalih belum selesai diinterogasi polisi. Ia mengatakan bahwa otak pembunuhan Kilah tak lain adalah Tukas, dengan seekor nyamuk sebagai eksekutornya.

Pacarku yang tak mau namanya kusebut mengabari pagi ini. Ia mengaku pernah melihat seekor nyamuk satu meja dengan ketonggeng, di sebuah kafe di ibu kota.

Aku terkesiap. Aku telah melamar kerja pada seekor ketonggeng. Dan pekan depan aku jadi sopirnya.


2011
*dari antologi puisi "Aku dan Rantai"

Monday, November 19, 2012

Senantiasa

oleh: Acep Zamzam Noor

Senantiasa kuhirup udara
Hembusan napasmu yang mesra
Lembut mengelus sukmaku
Yang letih dibakar dunia

Senantiasa kukobarkan cinta
Kepadamu. Terima kasih atas ruang dan waktu
Yang selalu engkau sediakan bagiku
Untuk bersujud mencium bumimu

Senantiasa kumaknai usia
Di belantara rahasiamu yang tak terkira
Aku jadi malu pada kebebasan
Kemerdekaan yang kini membelengguku


*dari antologi puisi "Tulisan Pada Tembok"

Sunday, November 18, 2012

Bilakah Kau Akan Melintas Di Depanku

oleh: Taufik Ismail

Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Begitu benarkah lamanya
Sangat ingin aku menegurmu dalam sapa
Tingkap angin makin ungu dalam nestapa

Fajar pun yang tak kunjung teraih
Begitu benarkah sukarnya
Kemarauku menggigil dalam nyala
Musim tempat berbagi yang perih

Tanganku inikah tangan dukana
menjulur-julur dari kemah berkibar badai
Suara tanah yang hama sepanjang bencana
Warna papa tergapai, sapuan tak sampai-sampai

Kutunggu-tunggu kau melintas di depanku
Begitu benarkah jarak zamannya
Sangat ingin aku menyapamu dalam tegur
Dan kau balas dengan senyum menghibur.


1963
*dari antologi puisi "Tirani dan Benteng"

Saturday, November 17, 2012

Rembulan di Matamu

oleh: Putu Gede Pradipta

masih erat kusimpan
begitu dengan ikhlasnya
sebuah kisah tentang
sepasang matamu itu

rembulan terbiasa
terbit disana


2011

Sajak Sebatang Pohon

oleh: Disa Tannos

Jika aku kehabisan daun, kau jangan berhenti berteduh. Ingatkan saja padaku bahwa di sini masih nyaman yang sama meski waktu tengah membuat semua hijauku luruh. Lalu biar kudengar kau berkata: musim-musim kering tak akan membuat nama yang terukir pada tubuhmu seperti remaja jatuh cinta kelak kehilangan pemiliknya.

Jika aku kehabisan daun, kau jangan ikut bersedih. Kuingatkan padamu bahwa di sini akan kembali rindang meski kini angin lebih mudah membikin matamu pedih. Lalu biar kaudengar aku berkata: musim-musim kering memang selalu membuatku cepat marah—bagaimana jika segala yang  tak lagi hinggap kelak membuatmu tak betah?


Maka jika aku kehabisan daun, kau jangan berhenti berteduh. Ingatkan saja padaku bahwa kita tak perlu begitu takut pada sepi.

Lalu biar kudengar kau bersuara tanpa henti:
perdengarkanlah apapun selain langkah-langkah kaki.


*dari http://disatannos.wordpress.com/2012/02/29/sajak-sebatang-pohon-2/

Friday, November 16, 2012

Perempuan Berkacamata Kecap Manis

oleh: R. Abdul Aziz

Aku sebilah jantung kujang
menatap kerudung ninja penuh dendam

Sebab engkau, perempuan mentah bermata kecap manis
telah diiris hatinya dengan samurai

rela sebagai tubuh sore yang sementara,
ditunggu setelah siang pulang, dipuja sebelum malam datang

lalu terbengkalai menjadi serakan kata kata pujangga, pergilah
dengan kecepatan 150cc menuju kampus tua Padjadjaran

Pergilah, maka aku akan merindukanmu
dalam tajamnya asahan dendam

Namamu, yang diberikan ibumu, hanyalah sebaris kata
yang membuat 10.000 puisiku tak selesai

Tiada yang lebih mencintaimu seperti airmata,
melainkan aku lelaki berjantung kujang


2012

Thursday, November 15, 2012

Mengikuti Langkah Kabut

oleh: Acep Zamzam Noor

Mengikuti langkah kabut dan jejak gerimis
Kulihat tanganmu menguraikan rambut musim semi
Dalam tarian paling sunyi. Dan matahari senja
Tenggelam dalam gerak paling inti
Dari pinggulmu. Ada yang hanyut dan tak tereja

Sepanjang pantai tubuhmu nampak berkilauan
Seperti lokan. Gaunmu yang tipis berkibaran
Mungkin pada cakrawala harus segera kukabarkan
Bahwa geliatmu meredakan gelombang dan eranganmu
Menahan topan. Ada yang luput dan tak terekam

Sedang angin yang kutangkap geraknya dan mega
Yang kuserap apinya dan kabut yang kuisap rahasianya
Tak kunjung paham. Pada bentangan langit malam
Kerling matamu menyelimuti bintang-bintang
Hingga padam. Ada yang gelap dan tak terungkapkan


*dari antologi puisi "Tulisan pada Tembok"

Nava

oleh: E.L Hadiansyah


Untuk Kekasihku

Perempuan -dengan- kerudung cinta

Kukunjungi kau di sela-sela hujan.

Aku tetap menebak-nebak rambutmu, berharap libidoku naik, dan aku mencumbumu sedini mungkin.

Dingin ini seperti setan, hidungku mendengus-dengus menelusup segala angin

(dimana bau rambutmu?)

Mampus! Penciumanku rentakah?

Tidak-tidak, kerudungmu mengajariku cinta nona, menghadang dengusan yang dulu kumanjakan.

Selalu begitu

Aku ingin merayakanmu lebih dini, bahkan penisku lupa akal, dan ingin kupagut kau di bawah hujan, di bawah gersang, di antara keduanya. Aku menginginkan__

Kerudungmu membentuk lafazd.

Kusaksikan malaikat menutup payudaramu, dan rambutmu disaksikan Tuhan!

Aku lemah saraf.

-kerudungmu nona, kelak tanggalkan saja agar kita bisa berzina!!!


Nava, aku rindu kerudungmu.


2011
(diambil dari novel "Hujan di Bawah Bantal")

Untuk Evie Aprilianty

Goresan kerudung coklat yang sering kau pakai itu, Evie
Tak pernah lebih indah dari wajahmu yang
seringkali membayang di kaca jendela
Kala senja benar-benar pernah mempertemukan kita
Di kaca jendela kereta api yang membawa pula

kenangan yang menyesakkanmu
Dan nanti, kau tak akan pernah melihatnya lagi

Karena itu sungguh membuat hatimu yang lembut itu mampu berair
Sedang aku mungkin akan berkali-kali datang

ke sana untuk menikmati sedikit
cinta yang pernah kau beri padaku
Dan ketika telah sampai pada titik stasiun akhir

maka kita pun berpisah
Aku tersenyum padamu seraya berkata
“Aku mencintaimu” (dalam hati tentu)
Dan kau tak memalingkan wajahmu lagi
sekedar untuk mengirimkan rembulan yang telah tersimpan di matamu


2012